Rabu, 03 Juli 2013

Etika Demokrasi Politisi

Etika Demokrasi Politisi
Salahudin ;  Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA KARYA, 02 Juli 2013


Akhir-akhir ini terdapat fenomena menarik yang ditunjukkan oleh politisi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Politisi yang kalah dalam pilkada beralih berkompetisi pada pemilihan legislatif (pileg) atau, ikut berkompetisi pada pilkada di daerah lain. Selain itu, tidak sedikit politisi yang sedang menjabat sebagai menteri, kepala daerah, dan kepala desa ikut berkompetisi dalam pileg.

Pemilihan umum hanya dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Karena itu, bagi politisi, momen pemilihan umum adalah kesempatan berharga untuk diikuti guna mendapatkan kekuasaan. Politisi menentukan strategi dan langkah politik yang dianggap dan dinilai jitu untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak jarang, politisi melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan seperti mengabaikan peraturan hukum dan etika politik. Sulit bagi politisi menerima kekalahan dalam pemilihan umum. Ketika politisi kalah dalam kompetisi, beragam reaksi ditunjukkan, seperti ikut kompetisi politik di tempat lain dan beralih ikut kompetisi dari pilkada ke pileg.

Beberapa nama berikut ini adalah sedikit dari banyak nama mantan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kalah pada pilkada beralih maju pada pileg di sejumlah daerah, yaitu Yopi di Tebo, Syafrial di Tanjung Jabung Barat, Ami Taher di Kerinci, Dade Angga di Pasuruan, Anwar Sadad di Pasuruan, Surya Jaya Purnama ST pada pilgub NTB, dan Johan Rosihan ST pada wagub NTB.

Langkah para politisi di atas tidak ada yang salah karena bagian dari kebebasan individu (politisi) yang dijamin demokrasi. Kebebasan berpolitik, memilih dan dipilih serta menentukan sikap politik adalah hak politisi yang tidak dapat dibatasi dan dihalangi oleh siapa pun. Karena itu, sah-sah saja bagi politisi bersikap seperti itu.

Selain itu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2013 memperbolehkan para politisi yang sedang ikut kompetisi pada pilkada atau sedang menjabat sebagai kepala daerah ikut mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg). Jaminan demokrasi akan kebebasan memberikan peluang kepada siapa pun untuk berkompetisi dalam politik. Peraturan hukum dikeluarkan memperkuat eksistensi politisi dalam mencari dan meraih kekuasaan politik. Pemahaman akan demokrasi seperti ini sangat memungkinkan terciptanya politik aristokrasi.

Menurut Carlton Clymer, politik aristokrasi adalah kekuasaan yang dikuasi oleh sekelompok elite masyarakat yang mempunyai status sosial, kekayaan dan kekuasaan politik yang besar. Dalam politik aristokrasi, kekuasaan politik hanya dinikmati oleh satu generasi ke generasi aristokrat yang lain. Bukan tidak mungkin, di tengah sikap politisi seperti ini, Indonesia sebagai negara demokrasi beralih menjadi negara aristokrasi seperti yang didefinisikan Carlton tersebut. Secara langsung, aristokrasi adalah politik yang diharamkan di dalam demokrasi. Karena itu, untuk membangun demokrasi sebaiknya sikap politisi dalam berpolitik perlu dibatasi dalam memanfaatkan momen politik.

Kebebasan demokrasi bukan dalam arti memberikan kebebasan politisi untuk memanfaatkan segala momentum politik. Sikap politisi yang memanfaatkan segala momentum politik dalam waktu yang sama adalah bentuk arogansi politik para politisi yang tidak diajarkan dalam demokrasi, di mana kebebasan politik terikat oleh etika politik yang dilandasi nilai keadilan. Nilai keadilan dalam etika politik demokrasi adalah nilai yang mengharuskan politisi mengedepankan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan dengan baik sehingga regenerasi politik dapat dipertanggungjawabkan secara nyata. Kegagalan politik politisi dalam pilkada kemudian dalam waktu yang sama beralih kepada pileg memungkinkan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan di tempat. Kekuasaan hanya dapat dikuasi oleh sekolompok elite masyarakat.

Dalam perspektif etika politik demokrasi, langkah pemerintah memberi legitimasi hukum kepada politisi untuk memanfaatkan kompetisi politik dalam waktu yang sama, adalah bentuk upaya pemerintah menghancurkan demokrasi. Pemerintah berupaya menghidupkan oligarki, aristokrasi dan dinasti politik dalam negara demokrasi. Selain itu, politisi legislatif, baik pusat maupun daerah sengaja membentuk aturan hukum untuk memperlancar dan mempertahankan kekuasaan pada lingkaran sekelompok elite. Pemerintah (KPU) dan politisi sedang berselingkuh untuk mengkhianati demokrasi. Pemerintah dan politisi menjadikan demokrasi sekadar retorika dan wacana untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Sebaiknya, pemerintah dan politisi berintropeksi diri untuk memahami dosa-dosa politik akan demokrasi. Sudah saatnya politisi menempatkan demokrasi pada tempat yang sebenarnya guna mencapai nilai-nilai ideal yang terkandung di dalamnya.

Politisi harus menjaga kewibawaan, integritas, etika dan moralitas berdemokrasi dengan cara menghindari arogansi dalam mencari kekuasaan. Kekalahan pada pilkada harus diterima baik dengan menunjukkan sikap kedewasaan dan penghormatan terhadap segala nilai ideal demokrasi. Kekalahan harus dipandang sebagai kesempatan untuk menentukan strategi dalam meraih kemenangan pilkada pada periode berikutnya.


Para politisi yang sedang menjabat kekuasaan politik baik sebagai kepala dan wakil kepala daerah, anggota legislatif, dan sebagai kepala desa harus bersabar untuk menjalankan amanah hingga tuntas masa periode kepemimpinan. Beralih meraih kekuasaan lain di tengah menjabat adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Amanah rakyat harus dijalankan dengan tuntas dan penuh tanggung jawab sesuai masa periode yang ditentukan. Dengan seperti ini, demokrasi akan terwujud dengan baik dan dapat dirasakan oleh masyarakat akan eksistensinya sebagai sistem politik dan pemerintahan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar