|
SUARA
KARYA, 02 Juli 2013
Akhir-akhir ini terdapat fenomena
menarik yang ditunjukkan oleh politisi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Politisi yang kalah dalam pilkada beralih berkompetisi pada pemilihan
legislatif (pileg) atau, ikut berkompetisi pada pilkada di daerah lain. Selain
itu, tidak sedikit politisi yang sedang menjabat sebagai menteri, kepala
daerah, dan kepala desa ikut berkompetisi dalam pileg.
Pemilihan umum hanya dilaksanakan
sekali dalam lima tahun. Karena itu, bagi politisi, momen pemilihan umum adalah
kesempatan berharga untuk diikuti guna mendapatkan kekuasaan. Politisi
menentukan strategi dan langkah politik yang dianggap dan dinilai jitu untuk
mendapatkan kekuasaan. Tidak jarang, politisi melakukan segala cara untuk
mendapatkan kekuasaan seperti mengabaikan peraturan hukum dan etika politik.
Sulit bagi politisi menerima kekalahan dalam pemilihan umum. Ketika politisi
kalah dalam kompetisi, beragam reaksi ditunjukkan, seperti ikut kompetisi
politik di tempat lain dan beralih ikut kompetisi dari pilkada ke pileg.
Beberapa nama berikut ini adalah
sedikit dari banyak nama mantan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang kalah pada pilkada beralih maju pada pileg di sejumlah daerah, yaitu Yopi
di Tebo, Syafrial di Tanjung Jabung Barat, Ami Taher di Kerinci, Dade Angga di
Pasuruan, Anwar Sadad di Pasuruan, Surya Jaya Purnama ST pada pilgub NTB, dan
Johan Rosihan ST pada wagub NTB.
Langkah para politisi di atas
tidak ada yang salah karena bagian dari kebebasan individu (politisi) yang
dijamin demokrasi. Kebebasan berpolitik, memilih dan dipilih serta menentukan
sikap politik adalah hak politisi yang tidak dapat dibatasi dan dihalangi oleh
siapa pun. Karena itu, sah-sah saja bagi politisi bersikap seperti itu.
Selain itu, Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2013 memperbolehkan para politisi yang
sedang ikut kompetisi pada pilkada atau sedang menjabat sebagai kepala daerah
ikut mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg). Jaminan demokrasi akan
kebebasan memberikan peluang kepada siapa pun untuk berkompetisi dalam politik.
Peraturan hukum dikeluarkan memperkuat eksistensi politisi dalam mencari dan
meraih kekuasaan politik. Pemahaman akan demokrasi seperti ini sangat
memungkinkan terciptanya politik aristokrasi.
Menurut Carlton Clymer, politik
aristokrasi adalah kekuasaan yang dikuasi oleh sekelompok elite masyarakat yang
mempunyai status sosial, kekayaan dan kekuasaan politik yang besar. Dalam
politik aristokrasi, kekuasaan politik hanya dinikmati oleh satu generasi ke
generasi aristokrat yang lain. Bukan tidak mungkin, di tengah sikap politisi
seperti ini, Indonesia sebagai negara demokrasi beralih menjadi negara
aristokrasi seperti yang didefinisikan Carlton tersebut. Secara langsung,
aristokrasi adalah politik yang diharamkan di dalam demokrasi. Karena itu,
untuk membangun demokrasi sebaiknya sikap politisi dalam berpolitik perlu
dibatasi dalam memanfaatkan momen politik.
Kebebasan demokrasi bukan dalam
arti memberikan kebebasan politisi untuk memanfaatkan segala momentum politik.
Sikap politisi yang memanfaatkan segala momentum politik dalam waktu yang sama
adalah bentuk arogansi politik para politisi yang tidak diajarkan dalam
demokrasi, di mana kebebasan politik terikat oleh etika politik yang dilandasi
nilai keadilan. Nilai keadilan dalam etika politik demokrasi adalah nilai yang
mengharuskan politisi mengedepankan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan dengan
baik sehingga regenerasi politik dapat dipertanggungjawabkan secara nyata.
Kegagalan politik politisi dalam pilkada kemudian dalam waktu yang sama beralih
kepada pileg memungkinkan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan di tempat.
Kekuasaan hanya dapat dikuasi oleh sekolompok elite masyarakat.
Dalam perspektif etika politik
demokrasi, langkah pemerintah memberi legitimasi hukum kepada politisi untuk
memanfaatkan kompetisi politik dalam waktu yang sama, adalah bentuk upaya
pemerintah menghancurkan demokrasi. Pemerintah berupaya menghidupkan oligarki,
aristokrasi dan dinasti politik dalam negara demokrasi. Selain itu, politisi
legislatif, baik pusat maupun daerah sengaja membentuk aturan hukum untuk memperlancar
dan mempertahankan kekuasaan pada lingkaran sekelompok elite. Pemerintah (KPU)
dan politisi sedang berselingkuh untuk mengkhianati demokrasi. Pemerintah dan
politisi menjadikan demokrasi sekadar retorika dan wacana untuk mencari dan
mempertahankan kekuasaan. Sebaiknya, pemerintah dan politisi berintropeksi diri
untuk memahami dosa-dosa politik akan demokrasi. Sudah saatnya politisi
menempatkan demokrasi pada tempat yang sebenarnya guna mencapai nilai-nilai
ideal yang terkandung di dalamnya.
Politisi harus menjaga kewibawaan,
integritas, etika dan moralitas berdemokrasi dengan cara menghindari arogansi
dalam mencari kekuasaan. Kekalahan pada pilkada harus diterima baik dengan
menunjukkan sikap kedewasaan dan penghormatan terhadap segala nilai ideal demokrasi.
Kekalahan harus dipandang sebagai kesempatan untuk menentukan strategi dalam
meraih kemenangan pilkada pada periode berikutnya.
Para politisi yang sedang menjabat
kekuasaan politik baik sebagai kepala dan wakil kepala daerah, anggota
legislatif, dan sebagai kepala desa harus bersabar untuk menjalankan amanah
hingga tuntas masa periode kepemimpinan. Beralih meraih kekuasaan lain di
tengah menjabat adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Amanah rakyat
harus dijalankan dengan tuntas dan penuh tanggung jawab sesuai masa periode
yang ditentukan. Dengan seperti ini, demokrasi akan terwujud dengan baik dan
dapat dirasakan oleh masyarakat akan eksistensinya sebagai sistem politik dan
pemerintahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar