Senin, 01 Juli 2013

Mengkritik dan Memaklumi Mahfud

Mengkritik dan Memaklumi Mahfud
Baharuddin Aritonang ;  Anggota DPR RI (1999–2004), dan anggota BPK (2004–2009 
KORAN SINDO, 29 Juni 2013


Setelah membaca tulisan M Mahfud MD di KORAN SINDO tanggal 1 Juni 2013, ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini. Judul tulisan itu ”Mengkritik dan Memaklumi KPK”. 

Hemat saya isi tulisan itu lebih tepat: memuji, mengkritik, dan memaklumi KPK. Karena bagian awal dari tulisan itu benarbenar memuji KPK. Di antaranya dia menulis: di pengadilan bukti yang ditunjukkan KPK selalu lebih banyak daripada yang diberitakan media massa. Lantas dilanjutkan ”Jika KPK mempersangkakan, apalagi menangkap seseorang, semua rekaman pembicaraan, jadwal pertemuan, foto pertemuan, mereka yang hadir, dan materi pembicaraan selalu lengkap ditunjukkan KPK di persidangan”. 

Terus terang, saya bertanyatanya tentang catatan ini. Terutama yang menyangkut kasus yang saya hadapi, tentang ”Cek Miranda”. Di persidangan, rasanya bukti yang ditunjukkan KPK amat jauh dari yang dihebohkan media massa. Tidak ada rekaman pembicaraan, jadwal pertemuan, foto pertemuan, dan materi pembicaraan yang ditunjukkan oleh KPK. KPK memulai tuntutan dengan adanya rapat poksi (kelompok fraksi Partai Golkar di komisi) yang membuat saya sekelompok dengan empat tersangka lainnya (dengan tuduhan menerima gratifikasi antara Rp150 juta sampai Rp550 juta. 

Apa tujuannya untuk menjumlahkan nilainya lebih dari Rp1 miliar, sehingga menjadi tugas KPK?). Rapat yang selalu saya sanggah. Akan tetapi, para hakim Tipikor tidak peduli. Dalam sidang peninjauan kembali (PK), tuduhan ini dibuktikan oleh jaksa dari KPK dalam bentuk Risalah Sidang Komisi. Sebagai mantan anggota DPR, tentu Pak Mahfud tahu membedakan antara rapat poksi yang dihadiri anggota fraksi, dengan sidang komisi yang dihadiri semua fraksi di komisi. 

Artinya, rapat poksi itu sesungguhnya tidak pernah ada, tapi diada-adakan oleh penyidik KPK. Sama halnya diadaadakannya penerimaan 10 lembar cek (senilai Rp500 juta) yang dikarang oleh Hamka Yandhu. Sementara kesaksian Drs H Amidan yang menjelaskan bahwa pada hari yang diceritakan itu kami sedang mengikuti rapat PAH I BP MPR di tempat lain, tidak diperhatikan oleh para hakim.

Yang menarik, KPK menetapkan saya sebagai tersangka dengan menerima tujuh lembar cek (senilai Rp350 juta). Namun, oleh jaksa KPK sendiri dituduh menerima tiga lembar cek (senilai Rp150 juta). Itu pun tidak dapat dibuktikan di pengadilan Tipikor. Akhirnya para hakim Tipikor memutuskan, terlepas dari berapa pun jumlahnya, saya disebut menerima gratifikasi. Padahal, Pasal 12b UU No 20 Tahun 2001 tentang KPK sendiri menjelaskan bahwa gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap dengan batasan nilai sebesar Rp10 juta. 

Penetapan jumlah Rp10 juta menunjukkan adanya angka atau jumlah yang pasti. Tentu masih banyak cerita yang dapat saya uraikan di dalam kasus saya ini untuk menunjukkan apa yang Pak Mahfud tulis itu jauh dari kenyataannya. Yang jelas, saya memandang putusan hakim Tipikor ini menyesuaikan dengan tuntutan jaksa KPK, walaupun logika hukumnya tidak nyambung. 

Saya merasa aneh mereka tidak bisa keluar dari pakem itu. Terkadang saya berpikir, untuk apa dilakukan pengadilan? Langsung saja diputus, seperti Mahmilub dulu. Dengan pertimbangan yang beragam, saya melihat para hakim lain, para pengamat, pers, mereka yang suka membangun citra, dan mereka yang merasa sebagai pejuang antikorupsi juga akan seperti itu. Terus terang, saya amat kecewa dengan putusan hakim Tipikor itu, karena itulah yang membuat saya tidak melanjutkannya ke tingkat pengadilan banding dan kasasi. 

Percuma, pikir saya. Saya hanya menempuh langkah peninjauan kembali (PK). Mudah-mudahan Mahkamah Agung (MA) menerima PK yang saya ajukan. Rasanya tugas-tugas membangun penyelenggaraan negara yang bersih dan baik selama lima tahun melalui BPK tidak memberi makna apa-apa. Bukan saja saya dimasukkan dalam daftar koruptor di negeri ini, program doktor di bidang hukum yang telah saya rintis lebih dari lima tahun di UGM pun menjadi tidak jelas. 

Mungkin kampus biru itu merasa tidak pantas melayani seseorang yang sudah ”tercemar”. Tragis bukan? Nah, bagaimana Pak Mahfud menilai kasus seperti itu, apalagi harus dikaitkan dengan pembelaan pada tulisan di atas. Untunglah Pak Mahfud menyebut kekuatan pembuktiannya 90%. Artinya masih ada cadangan 10%. Kalau tidak, mereka sudah menjadi malaikat. Saya amat senang jika kasus tentang saya ini dibuka kembali. 

Tentang yang lain saya tidak memberi komentar. Untunglah yang mengalaminya bukan Pak Mahfud sendiri. Jika Pak Mahfud mengalaminya barangkali akan bersikap lain. Padahal, kita semua adalah manusia biasa, yang memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan. Termasuk Pak Mahfud. Termasuk mereka-mereka yang bertugas di KPK. Jika ada yang berpacaran dengan tersangka, tentu ada yang terlalu gegabah dengan yang lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar