|
MEDIA
INDONESIA, 05 Juli 2013
MENJELANG perhelatan demokrasi, yaitu
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, setiap partai politik sibuk mengajukkan calon
anggota legislatif (caleg). Partai politik bersaing menawarkan namanama caleg
beken (populer) dengan segala kelebihan, baik dari kalangan politikus, artis,
maupun figur publik lainnya yang mumpuni untuk menarik pemilih.
Sayangnya, akhir-akhir ini di media massa, kita disuguhi
berita-berita tentang bias kebohongan para caleg. Kebohongan komunikasi politik
bergulir di depan mata kita kian nyata dengan terungkapnya beberapa kasus yang
menghebohkan. Misalnya terungkapnya seorang caleg DPR yang terindikasi
melakukan tindak pidana pemilu karena sebagian berkas syarat pencalonannya yang
diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) diduga tidak benar. Itu ditemukan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat mengklarifi kasi berkas persyaratan caleg
ke KPU (Media Indonesia, 24 Juni 2013).
Tak kalah hebohnya ialah terungkapnya 140 calon anggota
legislatif yang menyatakan menolak untuk mengisi formulir riwayat hidup.
Menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik, memang tidak ada sanksi bagi caleg yang
tidak mengikuti aturan publikasi riwayat hidup tersebut. Namun, hal itu
mengindikasikan adanya bias kebohongan komunikasi politik kepada publik.
Padahal untuk memenuhi asas transparansi agar publik bisa menilai, para caleg
seharusnya mau memublikasikan riwayat hidup mereka.
Kebohongan komunikasi politik sebenarnya bukan hal yang
baru, hampir semua elite politik di negeri ini melakukan dramaturgi. Peran di
depan panggung, yaitu apa yang dikomunikasikan kepada masyarakat baik langsung
maupun melalui media massa, akan sangat berbeda dengan saat berada di belakang
panggung. Di depan media massa dan publik, elite politik akan berbicara tentang
keberpihakan mereka terhadap rakyat, sedangkan di belakang panggung mereka dengan
kolega masing-masing kasak-kusuk mencari peluang bagaimana bisa menggasak uang
negara atau rakyat sebanyak-banyaknya. Kebohongan komunikasi politik itulah
yang membuat masyarakat kian hari makin muak melihat perilaku elite politik
bangsa ini.
Menurut David Buller dan Judee Burgon, pencetus teori
kebohongan interpersonal (interpersonal
deception theory), para pemasar telah lama mengetahui dan melakukan praktik
kebohongan terhadap konsumen mereka, dan para politikus sekarang menerapkannya,
yaitu pentingnya menambahkan dugaan pesan yang cukup rendah sehingga mereka
dapat menyimpangkannya secara positif.
Penyimpangan pesan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang
negatif. Caranya ialah dengan memastikan mereka cukup dihormati untuk memenuhi
persyaratan sebagai pelaku komunikasi yang sangat menyenangkan sehingga mereka
dapat menyimpangkan dugaan-dugaan pesan dengan aman.
Sayangnya, bangsa ini cenderung
mempunyai sikap permisif dan toleran pada perilaku kebohongan, terutama di
tingkat personal karena dianggap tidak berdampak sosial secara nyata. Namun,
dalam tataran elite politik terutama yang dilakukan para calon anggota
legislatif, kebohongannya jauh lebih kompleks. Kepiawaian dan kecanggihan cara
berbohong para caleg sesungguhnya suatu kejahatan karena selain berdampak luas,
juga mencederai kepercayaan publik.
Strategi mendeteksi kebohongan
Konsep pembohongan, menurut David
Buller dan Judee Burgon, adalah sebagai suatu pesan yang dengan sadar
disampaikan pengirim untuk menimbulkan kepercayaan atas kesimpulan palsu bagi
si penerima. Walau keberhasilan teori kebohongan tampaknya baru sebatas
pengonseptualisasian fenomena pembohongan dalam proses komunikasi, teori
kebohongan bisa dipakai untuk mendeteksi kebohongan baik di tingkat personal
maupun publik. Kemampuan kita berbohong atau mengetahui kebohongan,
pertama-tama, dipengaruhi tuntutan yang kita alami saat berkomunikasi.
Rasa penasaran kita mengenai kebohongan para calon anggota
legislatif ialah modal besar menelanjangi kebohongan yang ada. Namun, dengan
banyaknya isu yang dikembangkan, perhatian publik menjadi terpecah. Jika
beberapa hal terjadi bersamaan, atau jika komunikasinya kompleks dan melibatkan
banyak tujuan, publik bisa kehilangan kendali atau tidak bisa mencermati dengan
saksama.
Elite politik negeri ini rupanya juga sangat lihai
memainkan perannya dalam melakukan kebohongan politik, yaitu dengan cara
menggulirkan berbagai macam pengalihan isu, agar konsentrasi publik terpecah
sehingga kebohongan mereka tak terdekteksi. Sebagai contoh, ketika kasus dugaan
korupsi Bank Century dan Hambalang yang melibatkan partai berkuasa seolah
penyelesaiannya jalan di tempat, isu tentang korupsi daging sapi yang
melibatkan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, bergulir.
Tentunya dengan berbagai adegan dramaturgi para elite politik
yang saling menuding dan membantah. Bahkan saat ini ruang publik bising oleh
isu adanya reshuffle kabinet, di tengah persoalan pascapenaikan harga BBM dan
penggelontoran dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang dianggap
kacau balau. Kasus-kasus tersebut merupakan produk dari pemilihan caleg yang
kurang selektif, yang akhirnya menimbulkan masalah-masalah yang merugikan
rakyat di kemudian hari.
Sebenarnya para penegak hukum yang benar-benar mau serius
membongkar kejahatan serta publik yang benarbenar ingin mengetahui siapa yang
suka berbohong selalu punya jalan mengenali tanda-tanda yang patut dicurigai
sebagai tindakan berbohong. Perilaku pembohong antara lain suka memanipulasi
informasi, para caleg biasanya akan berusaha menutupi kekurangan atau kesalahan
mereka dengan memberikan berkas persyaratan yang tidak benar. Misalnya caleg
yang menggunakan ijazah palsu, dugaan korupsi, pernah ditahan atau melakukan
tindak kriminal, dan pernah mengubah perundang-undangan. Namun, biasanya mereka
juga pandai mengontrol perilaku, yaitu untuk menekan sinyal yang mungkin
mengindikasikan bahwa mereka berbohong. Para caleg pembohong cenderung
menampilkan wajah yang tenang dan bahkan tersenyum pura-pura tak tahu
masalahmasalah tersebut ketika diliput media massa.
Kebohongan para caleg juga bisa dideteksi dengan
memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan saat berkampanye atau
menyosialisasikan program-program mereka dalam menarik massa, misalnya pesan
tidak mengandung kepastian, dalam penyampaian pesan itu mereka tidak segera
menjawab. Pesan yang disampaikan itu tidak relevan dengan topik atau suka
melakukan pengalihan isu. Mereka cenderung berupaya menjaga citra diri.
Publik seharusnya menyadari bahwa elite politik negeri ini
sangat lihai memainkan kebohongan untuk kepentingan individual dan kelompok
atau partainya. Mereka biasanya melakukan strategi atau cara dalam melakukan
kebohongan komunikasi politik misalnya dengan memalsukan pesan, menyamarkan
atau menyembunyikan kebenaran serta mengaburkan pesan.
Sebenarnya melakukan kebohongan pasti menciptakan perasaan
bersalah dan keraguan, yang akan terlihat dari tindak tanduk pelakunya.
Keberhasilan dari pembohongan dalam komunikasi politik itu bergantung juga pada
kecurigaan penerima pesan dalam hal ini ialah publik. Publik biasanya punya
kecurigaan yang sayangnya sering kali dapat dengan mudah dirasakan si pelaku.
Walaupun demikian, si pelaku pasti merasa bersalah dan hidup dalam tekanan.
Jadi, sesungguhnya yang terbaik bagi para caleg dalam
menyampaikan komunikasi politiknya kepada masyarakat luas ialah dengan
melakukan kejujuran sehingga masyarakat akan simpati terhadap pesanpesan
politik mereka. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah masih adakah kejujuran
dalam komunikasi politik yang dilakukan para caleg? Seharusnya publiklah yang
harus lebih kritis dan peduli mengawasi sepak terjang mereka, sebelum
menjatuhkan pilihan yang tepat.
Di samping itu, parpol juga harus jujur dan mau menerima
laporan terkait dengan daftar caleg sementara (DCS) untuk Pemilu 2014. Jangan
menutup diri atau membela diri berlebihan. Semua masukan harus dijadikan
pertimbangan untuk proses berikutnya. Kalau kita memilih caleg yang bermasalah,
ketika mereka nanti terpilih menjadi anggota legislatif, mereka pasti akan
membuat masalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar