Sabtu, 06 Juli 2013

Mendeteksi Kebohongan Caleg

Mendeteksi Kebohongan Caleg
Hadiono Afdjani ;  Dekan Fikom Universitas Budi Luhur Jakarta,
Doktor Ilmu Komunikasi Unpad
MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2013


MENJELANG perhelatan demokrasi, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, setiap partai politik sibuk mengajukkan calon anggota legislatif (caleg). Partai politik bersaing menawarkan namanama caleg beken (populer) dengan segala kelebihan, baik dari kalangan politikus, artis, maupun figur publik lainnya yang mumpuni untuk menarik pemilih.

Sayangnya, akhir-akhir ini di media massa, kita disuguhi berita-berita tentang bias kebohongan para caleg. Kebohongan komunikasi politik bergulir di depan mata kita kian nyata dengan terungkapnya beberapa kasus yang menghebohkan. Misalnya terungkapnya seorang caleg DPR yang terindikasi melakukan tindak pidana pemilu karena sebagian berkas syarat pencalonannya yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) diduga tidak benar. Itu ditemukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat mengklarifi kasi berkas persyaratan caleg ke KPU (Media Indonesia, 24 Juni 2013).

Tak kalah hebohnya ialah terungkapnya 140 calon anggota legislatif yang menyatakan menolak untuk mengisi formulir riwayat hidup. Menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik, memang tidak ada sanksi bagi caleg yang tidak mengikuti aturan publikasi riwayat hidup tersebut. Namun, hal itu mengindikasikan adanya bias kebohongan komunikasi politik kepada publik. Padahal untuk memenuhi asas transparansi agar publik bisa menilai, para caleg seharusnya mau memublikasikan riwayat hidup mereka.

Kebohongan komunikasi politik sebenarnya bukan hal yang baru, hampir semua elite politik di negeri ini melakukan dramaturgi. Peran di depan panggung, yaitu apa yang dikomunikasikan kepada masyarakat baik langsung maupun melalui media massa, akan sangat berbeda dengan saat berada di belakang panggung. Di depan media massa dan publik, elite politik akan berbicara tentang keberpihakan mereka terhadap rakyat, sedangkan di belakang panggung mereka dengan kolega masing-masing kasak-kusuk mencari peluang bagaimana bisa menggasak uang negara atau rakyat sebanyak-banyaknya. Kebohongan komunikasi politik itulah yang membuat masyarakat kian hari makin muak melihat perilaku elite politik bangsa ini.

Menurut David Buller dan Judee Burgon, pencetus teori kebohongan interpersonal (interpersonal deception theory), para pemasar telah lama mengetahui dan melakukan praktik kebohongan terhadap konsumen mereka, dan para politikus sekarang menerapkannya, yaitu pentingnya menambahkan dugaan pesan yang cukup rendah sehingga mereka dapat menyimpangkannya secara positif.

Penyimpangan pesan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Caranya ialah dengan memastikan mereka cukup dihormati untuk memenuhi persyaratan sebagai pelaku komunikasi yang sangat menyenangkan sehingga mereka dapat menyimpangkan dugaan-dugaan pesan dengan aman.

Sayangnya, bangsa ini cenderung mempunyai sikap permisif dan toleran pada perilaku kebohongan, terutama di tingkat personal karena dianggap tidak berdampak sosial secara nyata. Namun, dalam tataran elite politik terutama yang dilakukan para calon anggota legislatif, kebohongannya jauh lebih kompleks. Kepiawaian dan kecanggihan cara berbohong para caleg sesungguhnya suatu kejahatan karena selain berdampak luas, juga mencederai kepercayaan publik.

Strategi mendeteksi kebohongan

Konsep pembohongan, menurut David Buller dan Judee Burgon, adalah sebagai suatu pesan yang dengan sadar disampaikan pengirim untuk menimbulkan kepercayaan atas kesimpulan palsu bagi si penerima. Walau keberhasilan teori kebohongan tampaknya baru sebatas pengonseptualisasian fenomena pembohongan dalam proses komunikasi, teori kebohongan bisa dipakai untuk mendeteksi kebohongan baik di tingkat personal maupun publik. Kemampuan kita berbohong atau mengetahui kebohongan, pertama-tama, dipengaruhi tuntutan yang kita alami saat berkomunikasi.

Rasa penasaran kita mengenai kebohongan para calon anggota legislatif ialah modal besar menelanjangi kebohongan yang ada. Namun, dengan banyaknya isu yang dikembangkan, perhatian publik menjadi terpecah. Jika beberapa hal terjadi bersamaan, atau jika komunikasinya kompleks dan melibatkan banyak tujuan, publik bisa kehilangan kendali atau tidak bisa mencermati dengan saksama.

Elite politik negeri ini rupanya juga sangat lihai memainkan perannya dalam melakukan kebohongan politik, yaitu dengan cara menggulirkan berbagai macam pengalihan isu, agar konsentrasi publik terpecah sehingga kebohongan mereka tak terdekteksi. Sebagai contoh, ketika kasus dugaan korupsi Bank Century dan Hambalang yang melibatkan partai berkuasa seolah penyelesaiannya jalan di tempat, isu tentang korupsi daging sapi yang melibatkan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, bergulir.

Tentunya dengan berbagai adegan dramaturgi para elite politik yang saling menuding dan membantah. Bahkan saat ini ruang publik bising oleh isu adanya reshuffle kabinet, di tengah persoalan pascapenaikan harga BBM dan penggelontoran dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang dianggap kacau balau. Kasus-kasus tersebut merupakan produk dari pemilihan caleg yang kurang selektif, yang akhirnya menimbulkan masalah-masalah yang merugikan rakyat di kemudian hari.

Sebenarnya para penegak hukum yang benar-benar mau serius membongkar kejahatan serta publik yang benarbenar ingin mengetahui siapa yang suka berbohong selalu punya jalan mengenali tanda-tanda yang patut dicurigai sebagai tindakan berbohong. Perilaku pembohong antara lain suka memanipulasi informasi, para caleg biasanya akan berusaha menutupi kekurangan atau kesalahan mereka dengan memberikan berkas persyaratan yang tidak benar. Misalnya caleg yang menggunakan ijazah palsu, dugaan korupsi, pernah ditahan atau melakukan tindak kriminal, dan pernah mengubah perundang-undangan. Namun, biasanya mereka juga pandai mengontrol perilaku, yaitu untuk menekan sinyal yang mungkin mengindikasikan bahwa mereka berbohong. Para caleg pembohong cenderung menampilkan wajah yang tenang dan bahkan tersenyum pura-pura tak tahu masalahmasalah tersebut ketika diliput media massa.

Kebohongan para caleg juga bisa dideteksi dengan memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan saat berkampanye atau menyosialisasikan program-program mereka dalam menarik massa, misalnya pesan tidak mengandung kepastian, dalam penyampaian pesan itu mereka tidak segera menjawab. Pesan yang disampaikan itu tidak relevan dengan topik atau suka melakukan pengalihan isu. Mereka cenderung berupaya menjaga citra diri.

Publik seharusnya menyadari bahwa elite politik negeri ini sangat lihai memainkan kebohongan untuk kepentingan individual dan kelompok atau partainya. Mereka biasanya melakukan strategi atau cara dalam melakukan kebohongan komunikasi politik misalnya dengan memalsukan pesan, menyamarkan atau menyembunyikan kebenaran serta mengaburkan pesan.

Sebenarnya melakukan kebohongan pasti menciptakan perasaan bersalah dan keraguan, yang akan terlihat dari tindak tanduk pelakunya. Keberhasilan dari pembohongan dalam komunikasi politik itu bergantung juga pada kecurigaan penerima pesan dalam hal ini ialah publik. Publik biasanya punya kecurigaan yang sayangnya sering kali dapat dengan mudah dirasakan si pelaku. Walaupun demikian, si pelaku pasti merasa bersalah dan hidup dalam tekanan.

Jadi, sesungguhnya yang terbaik bagi para caleg dalam menyampaikan komunikasi politiknya kepada masyarakat luas ialah dengan melakukan kejujuran sehingga masyarakat akan simpati terhadap pesanpesan politik mereka. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah masih adakah kejujuran dalam komunikasi politik yang dilakukan para caleg? Seharusnya publiklah yang harus lebih kritis dan peduli mengawasi sepak terjang mereka, sebelum menjatuhkan pilihan yang tepat.

Di samping itu, parpol juga harus jujur dan mau menerima laporan terkait dengan daftar caleg sementara (DCS) untuk Pemilu 2014. Jangan menutup diri atau membela diri berlebihan. Semua masukan harus dijadikan pertimbangan untuk proses berikutnya. Kalau kita memilih caleg yang bermasalah, ketika mereka nanti terpilih menjadi anggota legislatif, mereka pasti akan membuat masalah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar