|
SUARA
KARYA, 05 Juli 2013
Dalam menentukan awal Ramadhan,
satu Syawal dan awal Dzulhijah, syariat Islam mempunyai aturan tersendiri.
Metode yang digunakan adalah, melihat hilal dengan mata kepala (rukyatul hilal bilfi'li ).
Cara inilah yang sudah diwariskan
dari Rasulullah SAW yang kemudian dilestarikan oleh para sahabat, ulama salaf,
khalaf dan menjadi pendapat mayoritas ulama, termasuk Madzahibul Arba'ah.
Pada masa Rasulullah SAW, para
sahabat dan tabi'in tidak pernah terjadi perbedaan di dalam penetapan awal
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah.
Semua didasarkan atas rukyatul hilal bil fi'li atau istikmal (menggenapkan bulan Syaban dan
Ramadhan menjadi 30 hari) jika rukyatul
hilal tidak berhasil disebabkan karena adanya cuaca mendung atau faktor
lainnya.
Rasulullah SAW bersabda,
"Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal, dan berbukalah (berhari
raya) kalian sebab telah melihatnya pula. Jika (hilal) terhalang (awan) hingga
kalian tidak dapat melihatnya, maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi
30 hari" (HR Bukhari).
Dewasa ini sering sekali terjadi
perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan puasa. Hal ini salah satunya
disebabkan karena adanya faktor tempat. Satu daerah melihat hilal dan daerah
lain tidak melihat hilal. Polemik semacam ini sering membuat awal bulan puasa
berbeda-beda. Terkadang selisihnya satu hari, dua hari bahkan sampai tiga hari.
Sehingga, seolah-olah umat Islam
di Indonesia ini tidak bersatu dalam menjalankan ibadahnya padahal ini masih
dalam satu wilayah negara.
Untuk meredam kemelut awal bulan
puasa, karena hal ini masih dalam koridor ijtihad, maka turun tangan dari
waliyul amri atau imam (dalam hal ini adalah Kementerian Agama) sangat dominan
untuk menentukan kemaslahatan bagi umatnya supaya mereka tidak berselisih
antara satu dengan yang lain.
Ironisnya, meskipun Kementerian
Agama sudah ikut campur dalam masalah menentukan awal bulan Ramadhan, masih
saja ada fraksi yang tidak menyetujui karena mereka mengamalkan metode sendiri
yang dinamakan hisab. Metode ini diusung oleh Mutharif bin Asy Syahr, Ibnu
Suraij, Ibnu Qutaibah, Rasyid Ridha, Ahmad Muhammad Syakir, Mustofa Zarqo dan
Dr Yusuf Qordowy.
Statement menggunakan
metode ilmu hisab (ilmu falak) baginya bertujuan agar penentuan awal Ramadhan
atau awal Syawal terjadi serempak, tidak terjadi perbedaan meskipun berbeda
dalam segi mathlaknya (tempatnya).
Ulama-ulama pengusung metode hisab
ini berdalih salah satunya dengan hadis, "Sesungguhnya sebulan itu lamanya
29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal, dan janganlah
kalian berlebaran sehingga melihat hilal. Maka, apabila hilal tertutup oleh
awan sehingga kalian tidak dapat melihatnya, maka perkirakanlah untuknya (faqduruu lahu).” (HR Muslim dari Ibnu
Umar ra)
Lafal faqduruu lahu
dalam hadis Ibnu Umar di atas, menurutnya mempunyai arti maka kira-kirakanlah
dengan ilmu hisab atau hisablah dengan hisabul manzilah (hitunglah dengan
perjalanan bulan).
Tentunya jika kita mau menelaah
lebih mendalam tentang arti hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
secara gamblang, maka kita akan mendahulukan rukyatul hilal dibandingkan dengan hisab meskipun Lafal faqduruu lahu dipaksa untuk
digiring kepada ilmu hisab. Sebab, perintah rukyah
datangnya lebih dahulu dibandingkan dengan faqduruu lahu (hisab) yang menjadi alternatif jika tidak bisa
rukyah sebab adanya penghalang seperti awan atau mendung.
Jadi, lafal fain ghumma 'alaikum faqduruu lahu (maka apabila hilal
tertutup oleh awan sehingga kalian tidak dapat melihatnya, maka perkirakanlah
untuknya) masih bersifat general sehingga membutuhkan indikasi dari hadis lain
supaya maknanya akan menjadi lebih terarah. Seperti indikasi dari hadis,
"Sebulan itu adalah sekian
dan sekian. Kemudian Rasulullah SAW ibu jarinya pada perkataan yang ketiga,
maka berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah (mengakhiri puasa)
kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan, maka pastikanlah
bilangan hari pada bulan itu lamanya menjadi 30 hari" (HR Muslim dari Ibnu Umar ra).
Dari pengusung metode hisab, ada
juga yang berdalih kalau umat Islam yang hidup di zaman menggunakan rukyatul
hilal itu disebabkan mereka adalah umat yang ummi (buta huruf), yang tidak bisa
ilmu tulis dan menghitung. Sehingga, jika alasan ummi sudah bisa ditanggulangi,
maka mereka menggiring menggunakan metode hisab. Hisab baginya lebih eksak dan
empiris. Sedangkan syahadah atau khabar masih bersifat dhan (hipotesis).
Mereka bertendensi dengan hadis,
"Kita adalah umat buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pandai
berhitung. Sebulan itu adalah sekian dan sekian (maksudnya kadang-kadang 29
hari dan kadang-kadang 30 hari)," (HR Bukhari).
Perlu diketahui, bahwa kata ummi
jika disandarkan dengan Rasulullah SAW, itu merupakan sebuah mukjizat yang luar
biasa. Apabila disandarkan pada umatnya di zaman itu, tidak semua sahabat
Rasulullah SAW itu ummi.
Buktinya, ada sebagian dari sahabat
yang bisa menulis, seperti katibnya (juru tulisnya) Rasulullah SAW yang terdiri
dari beberapa sahabat telah diberi kepercayaan untuk menulis Al-Quran dan
surat-surat yang akan diberikan kepada para raja.
Juga, banyak ajaran Islam yang
disandarkan pada hitungan yang sudah diimplementasikan mulai dari zaman sahabat
ketika menyertai Rasulullah SAW seperti jumlah hitungan nisab zakat, iddahnya
seorang wanita, bilangan salat dan pembagian ghanimah (harta rampasan perang) yang sesuai dengan kadar
bagiannya.
Akhirnya, dapat dikatakan metode rukyatul hilal merupakan suatu cara yang
mutawatir (turun temurun) dari
Rasulullah SAW hingga diamalkan oleh mayoritas ulama yang mendapatkan legalitas
dari shahibus syariah (Rasulullah
SAW). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar