|
MEDIA
INDONESIA, 05 Juli 2013
KARNAVAL
pada 30 Juni memperingati HUT ke486 Ibu Kota dimeriahkan dengan pesta
ondel-ondel, ciri khas budaya Jakarta. Bahkan Gubernur DKI mengenakan kostum
dan topi ondel-ondel yang disambut gembira ribuan penduduk Jakarta yang
berkerumun di depan Balai Kota. Dengan menunggang kuda, Gubernur Joko Widodo
ibarat sang kaisar yang dikerubuti rakyatnya.
“Seru banget,” komentar salah seorang yang menyaksikannya.
Ada sambung rasa antara Jokowi dan penduduk Jakarta, tersirat di sana.
Sebagai pendatang baru yang memimpin pemerintahan DKI,
sikap Jokowi cepat menarik perhatian bukan hanya masyarakat DKI, melainkan juga
rakyat di seluruh negeri. Hasil berbagai pengumpulan pendapat menunjukkan
namanya paling unggul di antara mereka yang dianggap cocok menjadi capres.
Mungkin antara lain karena kuatnya pancaran kepedulian dan semangat
pengabdiannya bagi rakyat, dilandasi empati dan sikap rendah hati. Kita tunggu akhirnya
nanti.
Namun, Jokowi berulang kali menolak kemungkinan terlibat
dalam pencalonan capres. Lebih delapan bulan memimpin pemerintahan DKI, dia
mengenali betapa beratnya tantangan persoalan-persoalan DKI yang terus bergulir
tak kenal henti. Jika ditinjau baik dari jumlah, komposisi, maupun penyebaran
penduduknya, Jakarta ibarat air yang mengalir berputar-putar, yang ditentukan
daya tariknya sebagai sumber baik kekuasaan maupun sumber penghidupan. Fakta
itu tak pelak menimbulkan ketimpangan yang tecermin pada wajah kota:
daerah-daerah mewah yang disisipi permukiman-permukiman kumuh, jalanjalan riuh
dengan lalu lalang kendaraan pribadi diselingi kendaraan umum, dan tata kota
yang makin tidak mampu mengatur perpindahan penduduk. Belum lagi kalau bicara
soal keamanan dan ketertiban bagi penduduk tetap yang jumlahnya mendekati 10
juta. Mengurus Ibu Kota merupakan tantangan besar.
Tantangan nasional
Setahun
menjelang pergantian ke pemerintahan nasional yang baru, kita sekarang
disibukkan persiapan memilih dan menentukan komposisi jajaran pimpinan
Indonesia di masa depan, Di legislatif dan khususnya untuk RI-1. Media
elektronik ramai menampilkan debat tentang dan antartokoh yang berpotensi
menjadi pemimpin. Siapa-siapa di antara mereka yang menjawab aspirasi rakyat?
Siapa-siapa yang memberi inspirasi? Rasanya para pemimpin diharapkan memiliki
sambung rasa dengan rakyat agar timbul berbagai inspirasi untuk membuat Indonesia
lebih baik daripada sekarang. Bukan untuk kepentingan politik praktis,
melainkan antara lain untuk menjawab: mungkinkah Indonesia bisa semaju
negara-negara industri baru di Asia (NIC) seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan,
Korea, dan bahkan Jepang; sementara persoalan-persoalan konkret seputar ekonomi
dan politik terus menghantui?
Bertahun-tahun
yang lalu pernah diadakan diskusi kecil mengenai topik itu, dihadiri beberapa
tokoh Indonesia dan sejumlah tokoh negara industri baru di Asia. Seorang dari
Korea membuka diskusi dengan mengatakan bila sistem pendidikan dan sistem
manajemen di Indonesia masih seperti yang dia amati waktu itu, mungkin baru
satu generasi lagi akan terjadi perubahan. Perombakan sistem perlu strategi.
Pernyataan tersebut tentu mengecewakan pihak Indonesia yang
merasa negaranya lebih loh jinawi dan tenaga kerjanya lebih melimpah. Berbagai
sangkalan disampaikan baik dalam bentuk argumen maupun gugatan yang mengacu ke
berbagai ilmu--sosial, politik, maupun ekonomi. Namun, orang-orang dari NIC
bersikap pragmatis. Menurut mereka, falsafah memang bisa muluk-muluk, tetapi
fakta-seperti gambar--bisa berbicara seribu bahasa.
Konsekuensi manajemen atas-bawah
Mengenai
manajemen, dalam forum diskusi itu pendapat orang-orang NIC dapat disimpulkan
sebagai berikut: top-down management, yang bisa sukses di sejumlah negara,
termasuk di Korea, tidak akan sukses di kita
karena kurangnya disiplin nasional. Akibatnya, berbagai peraturan tentang
jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
sewenang-wenang dilanggar semua jajaran, dari tingkat atas sampai bawah. Yang
parah menimpa tertib hukum hingga banyak pihak merasa kehilangan perlindungan;
tetapi sebaliknya memungkinkan sebagian orang mengambil keuntungan dari
kerancuan.
Dalam lingkungan tidak sehat, manajemen atas-bawah tidak
memungkinkan tumbuhnya kreativitas dari bawah. Motivasi menjadi mati karena
lingkungan tidak memberi dorongan. Yang diperintahkan dari atas menjadi slogan.
Padahal, pendidikan formal angkatan muda umumnya lebih tinggi dan luas daripada
yang diperoleh yang tua-tua. Pendidikan nonformal, antara lain lewat media
massa, telah membawa kaum muda ke konsep-konsep modern yang berjalan pesat.
Selain dua faktor itu, system manajemen atas-bawah tidak
memungkinkan dialog, apalagi argumentasi; maka dapat dipastikan perbedaan visi
makin tidak terjembatani sampai akhirnya meledakkan suatu inspirasi untuk
melepaskan diri dari tradisi sosial, politik, maupun ekonomi.
Tentang
manajemen pendidikan, pertanyaannya: bagaimana mendidik anak supaya siap
menghadapi masa depan? Masyarakat industri minimal memerlukan pendidikan
mendasar tentang teknologi. Menyimak keadaan sekarang, apa yang menjadi
prioritas? Apakah pendidikan sekarang bisa menjadi modal bagi kebangkitan
masyarakat industri? Ataukah, seperti yang lalu-lalu, mayoritas kita tetap
berkutat menjadi masyarakat nelayan dan petani tradisional yang berproduksi
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan komunitasnya, sekalipun mengerti falsafah
bangsa dan mempelajari ilmu-ilmu sosial lainnya?
Untuk menjadi semaju
negara-negara maju, kita dituntut menentukan pilihan dan strategi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar