Senin, 22 Juli 2013

Krisis Pangan Mengintai

Krisis Pangan Mengintai
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Unika Santo Thomas, Medan
KORAN JAKARTA, 17 Juli 2013

  
Krisis pangan dan kasus kelaparan yang sering terulang serta kerap berujung kematian seseorang menjadi bukti empiris bahwa kedaulatan pangan belum terwujud. Persoalan klasik ini sesungguhnya disebabkan pemerintah tidak komit menyediakan lahan pertanian tanaman pangan dan peternakan.

Indonesia kini dibayangi ancaman krisis ketahanan pangan yang kian masif seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Krisis pangan ditandai dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok sehingga memberi beban psikologis bagi masyarakat, terutama kalangan bawah.

Hidup dan kehidupan wong cilik semakin suram setelah kenaikan harga BBM bersubsidi. Dari perspektif ekonomi-politik global yang berjiwa liberalis, pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa kenaikan harga BBM merupakan dampak langsung tekanan ekonomi dunia. Argumentasi seperti itu acap dikemukakan sebagai pandangan yang logis dan dianggap benar. Bahkan para ekonom liberal ramai-ramai melindungi pemerintah dengan bermacam justifikasi ilmiah. Mereka memberi rumusan, tidak ada pilihan lagi bagi pemerintah selain harus menaikkan harga BBM bersubsidi.

Persoalannya sekarang, dengan memakai teori "hati nurani", apakah tepat momen pemerintah menaikkan harga BBM hanya karena tekanan ekonomi global? Pemerintah patut becermin pada kondisi warga. Di tengah keadaan masyarakat yang kian mengalami proses pemiskinan dan semakin menderita dengan tanggungan hidup yang berat, tidak patut pemerintah menambah beban dengan menaikkan harga BBM.

Dengan harga BBM bersubsidi yang baru, biaya kebutuhan mendasar makin meroket, sedangkan pendapatan tidak bertambah, malahan peluang untuk kehilangan pekerjaan semakin besar. Pada saat yang sama, masyarakat harus menyediakan dana besar untuk biaya sekolah menyongsong tahun ajaran baru, memasuki puasa, dan merayakan Lebaran.

Berangkat dari beban hidup yang semakin berat itu, aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu berlangsung secara serempak di seluruh Tanah Air, khususnya kota-kota besar. Setidaknya, sejumlah wartawan yang meliput demonstrasi dan mahasiswa menjadi korban pemukulan aparat, dipentung, dan ditembaki dengan peluru karet. Serikat-serikat buruh menyerukan pemogokan massal sebagai protes terkait kenaikan biaya hidup.

Mereka menyadari dampak kenaikan BBM akan menjalar pada krisis pangan yang segera menyusul. Kenaikan harga BBM, meski ada niat baik pemerintah mengurangi beban rakyat dengan memberi BLSM selama empat bulan, benar-benar menusuk dan menjadi tragedi pemiskinan yang memengaruhi stabilitas kesejahteraan warga.

Sesungguhnya, dalam beberapa bulan terakhir, sudah ada lampu kuning terkait krisis pangan di Tanah Air. Tragedi kelaparan yang menewaskan 95 jiwa penduduk di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, waktu itu harus dilihat sebagai alarm atas rapuhnya kemandirian pangan nasional. Di negeri yang disebut sebagai lumbung pangan dunia ini, sebagian warganya harus meregang nyawa karena kelaparan.

Salah Arah

Tidak kalah menyedihkan, sekitar lima juta anak bangsa ini tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena kelaparan dan kekurangan gizi. Korban meninggal dunia karena kelaparan lebih banyak ketimbang AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Gagal hidup prematur seperti itu pertanda kelalaian negara melindungi warganya karena terjebak dalam kebijakan pangan yang salah arah.

Secara perlahan namun pasti, masyarakat dari kalangan ekonomi lemah tidak mampu membeli pangan karena daya beli yang kian rendah. Mereka menjerit karena harga pangan dasar, mulai dari beras, kedelai, jagung, gula, hingga cabai tak terjangkau. Jangan bicara daging.

Peringatan serius telah disampaikan petinggi Dana Moneter Internasional (IMF) terkait dampak krisis ekonomi global yang akan memicu harga bahan pangan yang makin mahal. Lembaga multilateral itu menyatakan kenaikan harga berbagai komoditas, terutama pangan, dapat menimbulkan konsekuensi mengerikan bagi dunia, termasuk risiko perang saudara dan antarnegara. Harga pangan saat ini telah mengalami kenaikan 100-200 persen dibanding dua-tiga tahun lalu. Apabila tidak ada antisipasi secara komprehensif, persoalan ini bakal mendorong jatuhnya korban nyawa manusia yang semakin banyak karena kelaparan, yang kemudian mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-bangsa juga mengingatkan dan memberi sinyal agar tetap waspada bahwa lonjakan harga pangan bisa mencetuskan konflik di berbagai negara karena berpotensi menghancurkan hasil pembangunan selama 5-10 tahun dengan biaya cukup besar dan menjadi masalah dunia untuk beberapa tahun ke depan.

Peringatan PBB, Bank Dunia, serta IMF harus dicermati, tapi jangan membuat kecemasan berlebihan. Bangsa ini memiliki potensi untuk menangkal dan meminimalkan dampak krisis pangan dunia. Namun, kewaspadaan dan langkah-langkah antisipatif harus segera dirumuskan agar tidak berhenti sebatas mengonsep di atas kertas.

Pemerintah patut belajar dari pengalaman menangani krisis pangan yang terjadi pada tahun 2008. Sejarah mengajarkan bangsa ini bahwa krisis pangan bisa menjadi bola liar yang dengan mudah menggelinding ke berbagai krisis, termasuk bidang sosial dan politik, apalagi menjelang pelaksanaan pesta demokrasi pileg dan pilpres 2014.

Krisis pangan dan kasus kelaparan yang sering terulang serta kerap berujung kematian seseorang menjadi bukti empiris bahwa kedaulatan pangan belum terwujud. Persoalan klasik ini sesungguhnya karena pemerintah tidak komit menyediakan lahan pertanian tanaman pangan dan peternakan (sapi).

Penyelamatan lahan pertanian dan peternakan tidak lagi menjadi prioritas. Sebaliknya, "penjarahan dan perampasan" lahan untuk perluasan perkebunan sawit dan areal pertambangan terus berlangsung di berbagai daerah. Belum lagi lahan-lahan berganti untuk perumahan. Ini akan menyusutkan lahan pertanian pangan. Di sisi lain, kebutuhan pangan kian meningkat karena penduduk terus bertambah.

Kehidupan petani di negeri agraris ini selalu menjadi potret buram kemiskinan. Mereka acap dirugikan hegemoni pembangunan industri dan hanya menarik dibicarakan dalam beragam seminar di hotel-hotel berbintang. Kesejahteraan hidup pahlawan kedaulatan pangan ini terus dibalut lingkaran kesedihan. Meski suatu daerah dikenal sebagai lumbung beras, petaninya tetap miskin. Kemiskinan struktural menggilas hidup mereka sepanjang waktu.

Pemerintah patut membuat model solusi yang lebih elegan untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi agar tidak terjadi krisis pangan. Pembangunan pertanian harus lebih serius agar berdaulat. Kesadaran ini tentu mengandung implikasi ekonomi bahwa seluruh energi dan sumber daya harus diarahkan untuk menyelamatkan sektor pertanian guna meningkatkan produksi berbagai jenis pangan, tidak hanya beras, sehingga terjangkau daya beli.

Berbagai janji pemerintah dalam teks revitalisasi pertanian tahun 2005 perlu segera diwujudkan, dimulai yang sederhana seperti pembangunan dan perbaikan irigasi dan jalan desa. Pemerintah juga harus menjamin pemenuhan berbagai sarana produksi yang diperlukan petani, seperti benih unggul, pupuk, obat-obatan tanaman dan ternak yang murah, termasuk membantu distribusi pemasaran hasil pertanian atau pascapanen. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar