|
KOMPAS,
17 Juli 2013
Peringatan Hari Koperasi
berlangsung dalam bulan Juli ini, setelah sepanjang tahun 2012 ditetapkan
sebagai tahun koperasi dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setidaknya ada
empat hal penting dari kontribusi gerakan koperasi yang diakui PBB, yaitu
efektif mengurangi kemiskinan, mengkreasi pekerjaan, mendorong integrasi
sosial, dan mewujudkan globalisasi.
Koperasi
dianggap turut mengurangi kemiskinan karena memampukan orang-orang di sektor
informal, seperti petani, nelayan, dan perajin, untuk hidup lebih sejahtera. Mereka
dapat menjadi pemilik dari perusahaan koperasi dengan mudah.
Koperasi
setidaknya telah melayani 3 miliar orang di seluruh dunia dan beranggotakan
lebih dari 1 miliar orang. Gerakan koperasi secara keseluruhan telah
menciptakan lapangan kerja bagi 100 juta orang lebih, berarti 20 persen di atas
perusahaan multinasional.
Dekade koperasi
Tidak ingin
kehilangan momentum, organisasi koperasi dunia International Co- operative
Alliance (ICA) menyusun kertas kebijakan untuk pengembangan koperasi
selanjutnya dalam proyek Cetak Biru Dekade Koperasi. Dalam cetak biru itu,
koperasi ingin membuktikan diri sebagai perusahaan dengan pertumbuhan tercepat
dunia pada tahun 2020.
Empat pilar
penting dari proyek kebijakan tersebut adalah menumbuhkan partisipasi dan
pengendalian anggota di koperasi, menumbuhkan kekuatan permodalan anggota
dengan swadaya, mendorong kerangka hukum yang baik, dan menjamin keberlanjutan
dari koperasi.
Dengan
kebijakan Dekade Koperasi, koperasi di seluruh dunia dapat segera menumbuhkan
pengertian masyarakat tentang koperasi yang benar dan membangun kesadaran akan
manfaat koperasi sebagai bentuk dari demokrasi ekonomi.
Kesadaran
tinggi tersebut juga diharapkan akan mampu mendorong partisipasi swadaya
anggota untuk berbagi risiko bersama dan membangun kekuatan modal dalam model
bisnis kolektif koperasi. Sementara itu perjuangan yang tak kalah penting
adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya
ruang lingkup hukum yang memadai.
Kondisi Indonesia
Secara
statistik, koperasi di Indonesia terlihat hebat, meliputi jumlah anggota kurang
lebih 192.000 dan jumlah anggota 33 juta orang (Menegkop dan UKM, 2012). Namun,
kontras dengan kenyataan, hasil penelitian Lembaga Studi Pengembangan
Perkoperasian Indonesia (LSP2I)menunjukkan, 70 persennya adalah koperasi
fiktif, 23 persen koperasi mati suri, dan hanya kurang lebih 7 persen yang
mandiri dan tak mengandalkan bantuan pihak luar.
Kenyataan yang
tidak dapat disangkal, selain kehidupan sehari-hari masyarakat yang kembang
kempis menghadapi tekanan ekonomi, Indeks Rasio Gini kita 0,43 tercatat sebagai
terburuk setelah Indonesia merdeka, adalah sinyal kuat bahwa kesenjangan
sosial-ekonomi itu semakin menganga lebar. Artinya, koperasi juga belum
berjalan sebagaimana mestinya. Ini sinyal bahwa ada yang salah dengan
pembangunan koperasi kita.
Salah satu
bentuk misalnya adalah produk regulasi kita. Pada 30 November 2012, pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Namun,
seperti mengulang kesalahan, UU ini ternyata tidak menangkap aspirasi sehingga
susunannya tidak menciptakan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan
koperasi yang baik. Bahkan oleh sebagian pihak saat ini sedang
diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena isinya
merusak tatanan demokrasi koperasi.
Isi dari UU
Perkoperasian yang baru bukan saja telah cacat secara epistimologi, melainkan
juga merusak jati diri koperasi dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Secara
mendasar UU ini juga telah mengubah kaidah dasar koperasi sebagaimana
kesepakatan gerakan koperasi dunia. Sebut saja, misalnya, pasal mengenai
definisi yang ngawur (pasal 1 ayat (1)), mengenai intervensi kekuatan
modal penyertaan dari luar (pasal 1 angka 11, pasal 66 ayat (2) huruf b, pasal
75, pasal 76, pasal 77), struktur kepengurusan yang dirancang secara tidak
demokratis (pasal 50 ayat (1) huruf a, pasal 50 ayat (2) huruf e, pasal 55 ayat
(1), pasal 56 ayat (1), pasal 63, pasal 65), dan juga subordinasi gerakan
koperasi terhadap pemerintah dengan penegasan Dewan Koperasi Indonesia
(Dekopin) sebagai wadah tunggal (pasal 1 angka 18, pasal 115, pasal 16, pasal
117, pasal 118, pasal 119).
Sepertinya,
kebijakan Dekade Koperasi yang telah ditetapkan oleh International Cooperative Alliance tidak bergaung karena
pembangunan koperasi di Indonesia justru akan menjadi perjuangan keras
masyarakat. Bukan karena koperasi tidak dibutuhkan, melainkan karena pemerintah
dan parlemen kelihatan lebih dominan sebagai perusak otonomi koperasi. Satu doa
untuk mereka yang sedang berjuang ke MK, semoga kebenaran yang menang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar