|
MEDIA
INDONESIA, 29 Juni 2013
KEPOLISIAN Negara Republik
Indonesia (Polri) kini memasuki usia ke-67 awal pekan depan. Dalam usia yang
terbilang tidak muda itu, sejujurnya kita melihat Polri sudah banyak melakukan
berbagai terobosan dan inovasi dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Keberhasilan polisi juga cukup banyak, khususnya dalam pem
berantasan terorisme dan narkoba serta kejahatan lainnya.
Namun di balik itu,
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri dalam upaya penegakan hukum,
pelindung, dan pengayom bagi masyarakat tampaknya masih saja terus merosot. Wujud kemerosotan kepercayaan tersebut bisa
dilihat dari masih maraknya warga yang nekat merusak dan membakar kantor dan
fasilitas Polri. Alasannya, mereka menilai Polri belum maksimal melakukan tugas
secara profesional. Lebih ironis lagi, pembakaran dan perusakan kantor serta fasilitas Polri tidak
hanya dilakukan masyarakat. Di Sumatra Selatan, misalnya, belasan oknum TNI
turut membakar dan merusak kantor Polres OKU.
Aksi
pembakaran dan perusakan kantor fasilitas
Polri oleh anggota masyarakat dalam tiga tahun terus meningkat. Kecenderungan
itu, kalau tidak direspons dengan cepat oleh polisi, sangat mungkin masih akan
terjadi. Terlebih tahun depan situasi terbilang panas karena menghadapi pemilu.
Fungsi Polri selama ini dipahami masyarakat sebagai
institusi penegak hukum yang melin dungi, mengayomi, dan melayani masyarakat
dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Masyarakat
menggunakan acuan tersebut dalam menilai sikap dan perilaku Polri baik sebagai
institusi maupun personal.
Hanya, sebagai penegak hukum, masih banyak anggota Polri
dinilai belum menjalankan fungsi dan tugas secara taat asas. Sebagian masyara
kat melihat sebagian anggota Polri bukan menegakkan hukum, melainkan
menggunakan hukum demi kepentingan ekonomis. Tidak sedikit kasus hukum yang
ditangani polisi dijadikan alat penekan untuk men dapatkan keuntungan sehingga
masyarakat sering kali menjadi frustrasi bila berhubungan dengan polisi. dengan
polisi.
Banyak pengaduan
Akibatnya, slogan yang dikampanyekan Polri bersama
jajarannya masih bagus di atas spanduk saja. Masya rakat justru merasa tidak
mendapat perlindungan yang semestinya manakala tersandung kasus hukum. Sebagian
masyarakat menilai sikap dan perilaku selama penanganan hukum jauh dari
mengayomi, apalagi memberi pelayanan prima.
Kecenderungan itu juga tecermin dari surat pengaduan
masyarakat kepada Kompolnas periode Januari hingga Mei 2012. Dari 200 surat
yang layak, sebanyak 176 surat mengeluhkan ki nerja fungsi reserse, 17 surat
berkaitan fungsi lain di luar fungsi teknis kepolisian, 5 surat tentang fungsi
lalu lintas, 1 surat berkaitan fungsi samapta, dan 1 surat mengenai fungsi
intelkam.
Namun bila ditilik dari jenis keluhan, sebanyak 123 surat
mengeluhkan pelayanan polisi yang dikirim masyarakat ke Kompolnas dalam katego
ri buruk. Kemudian diikuti dengan dugaan penyalahgunaan wewenang sebanyak 70
surat dan tindakan diskriminasi sebanyak 7 surat. Keluhan tersebut dapat juga
dikelompokkan berdasarkan kesatuan atau kewilayahan.
Sekitar 80% pelayanan yang paling banyak dikeluhkan
masyarakat ialah pelayanan reserse di kantor polres dan polda. Pada umumnya,
masyarakat yang berhubungan dengan pelayanan reserse melihat polisi belum bisa
memberikan pelayanan yang profesional kepada masyarakat. Penegakan hukum dalam
stigma masyarakat itu cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sikap dan tindakan aparat penegakan hukum yang seperti itu
tentu saja tidak sejalan dengan tugas dan fungsi Polri. Akumulasi tindakan
disfungsional itulah yang menjatuhkan kredibilitas institusi Polri secara
keseluruhan. Lebih celaka lagi, berbagai tindakan menyimpang tersebut terus
berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari pimpinan Polri. Akibatnya, sebagian
anggota masyarakat menggunakan cara mereka sendiri untuk melawan. Kiranya
itulah penyebab kenekatan sebagian masyarakat membakar dan merusak kantor serta
fasilitas Polri.
Polisi demokrasi
Banyaknya keluhan terhadap kinerja polda, polres dan
polsek, terutama di bagian reserse, bisa jadi bukan keinginan mereka semata. Anggota
reserse yang menangani kasus-kasus hukum sangat mungkin juga frustrasi
sebagaimana yang dialami anggota masyarakat.
Bukan rahasia lagi, penanganan kasus-kasus di kepolisian
tidak semata berdasarkan pertimbangan hukum. Tidak sedikit pejabat Polri masih
cenderung mengintervensi ke bawah. Dalam pengamatan kami ke seluruh polda di
seluruh Indonesia, penulis memperkirakan sekitar 50% kasus yang ditangani
reserse dengan mudah mendapat intervensi dari berbagai pihak.
Intervensi itu bisa datang dari pejabat Polri, anggota
dewan, dan juga pemerintah daerah serta ditambah dengan pihak-pihak lainnya. Akibatnya,
tidak sedikit kasus yang ditangani Polri sengaja dibelokkan karena intervensi
tersebut. Lebih ironis lagi, penyidik di bawah banyak yang terpaksa memenuhi
intervensi tersebut karena takut dimutasi. Kasus yang paling banyak mendapat
intervensi belakangan ini ialah kasus korupsi yang ditangani polisi.
Selain masalah intervensi, persoalan penempatan membuat
anggota Polri banyak yang frustrasi. Banyak anggota Polri menginginkan sistem
pembinaan karier di kepolisian lebih terbuka. Banyak anggota yang sebenarnya
bagus tidak mendapat tempat yang tepat karena tidak memiliki jaringan yang baik
kepada pimpinan Polri.
Sebaliknya, banyak pula anggota Polri yang bermasalah sebelumnya,
tapi justru mendapat tempat nyaman. Semua itu membuktikan bahwa di tubuh Polri
belum berjalan democratic policing (polisi demokrasi).
Sistem jabatan
terbuka
Untuk mewujudkan polisi demokrasi, kiranya Polri dapat
mencontoh ide Gubernur DKI Jakarta Jokowi dengan membuka jabatan secara terbuka
kepada lurah dan camat. Walau namanya bukan lelang jabatan, jenjang karier dan
penempatan setiap anggota Polri diharapkan lebih demokratis. Peluang melakukan
pendekatan tidak terpuji dengan sendirinya dapat diminimalkan.
Melalui sistem jabatan terbuka itu diharapkan, akan
diperoleh juga pimpinan Polri di semua level yang berkualitas. Para perwira
yang melamar untuk mendapatkan jabatan tidak lagi kasak-kusuk.
Perwira itu diminta membuat program kerjanya agar bisa
membangun Polri dan meningkatkan kinerjanya di tengah masyarakat. Saatnya
polisi selalu berada di tengah masyarakat. Polisi yang dimimpikan masyarakat
saat ini ialah polisi yang blusukan dan polisi yang mendengar semua keluhan
masyarakatnya.
Kalau hal itu dapat diwujudkan, Kompolnas hanya mengawasi
pelaksanaan sistem jabatan terbuka, termasuk tentunya mengawasi semua sikap dan
perilaku polisi saat menjabat atau ditempatkan di setiap bidang. Dengan begitu,
polisi sebagai penegak hukum yang berfungsi melindungi, mengayomi, dan melayani
masyarakat dengan keikhlasan lebih mudah diwujudkan. Selamat HUT Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar