Senin, 01 Juli 2013

Kinerja Merosot, Polri Harus Blusukan

Kinerja Merosot, Polri Harus Blusukan
Edi Saputra Hasibuan ;  Anggota Kompolnas RI
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2013


KEPOLISIAN Negara Republik Indonesia (Polri) kini memasuki usia ke-67 awal pekan depan. Dalam usia yang terbilang tidak muda itu, sejujurnya kita melihat Polri sudah banyak melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Keberhasilan polisi juga cukup banyak, khususnya dalam pem berantasan terorisme dan narkoba serta kejahatan lainnya. 

Namun di balik itu, kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri dalam upaya penegakan hukum, pelindung, dan pengayom bagi masyarakat tampaknya masih saja terus merosot. Wujud kemerosotan kepercayaan tersebut bisa dilihat dari masih maraknya warga yang nekat merusak dan membakar kantor dan fasilitas Polri. Alasannya, mereka menilai Polri belum maksimal melakukan tugas secara profesional. Lebih ironis lagi, pembakaran dan perusakan kantor serta fasilitas Polri tidak hanya dilakukan masyarakat. Di Sumatra Selatan, misalnya, belasan oknum TNI turut membakar dan merusak kantor Polres OKU.

Aksi pembakaran dan perusakan kantor fasilitas Polri oleh anggota masyarakat dalam tiga tahun terus meningkat. Kecenderungan itu, kalau tidak direspons dengan cepat oleh polisi, sangat mungkin masih akan terjadi. Terlebih tahun depan situasi terbilang panas karena menghadapi pemilu.

Fungsi Polri selama ini dipahami masyarakat sebagai institusi penegak hukum yang melin dungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Masyarakat menggunakan acuan tersebut dalam menilai sikap dan perilaku Polri baik sebagai institusi maupun personal.
Hanya, sebagai penegak hukum, masih banyak anggota Polri dinilai belum menjalankan fungsi dan tugas secara taat asas. Sebagian masyara kat melihat sebagian anggota Polri bukan menegakkan hukum, melainkan menggunakan hukum demi kepentingan ekonomis. Tidak sedikit kasus hukum yang ditangani polisi dijadikan alat penekan untuk men dapatkan keuntungan sehingga masyarakat sering kali menjadi frustrasi bila berhubungan dengan polisi. dengan polisi.

Banyak pengaduan

Akibatnya, slogan yang dikampanyekan Polri bersama jajarannya masih bagus di atas spanduk saja. Masya rakat justru merasa tidak mendapat perlindungan yang semestinya manakala tersandung kasus hukum. Sebagian masyarakat menilai sikap dan perilaku selama penanganan hukum jauh dari mengayomi, apalagi memberi pelayanan prima.

Kecenderungan itu juga tecermin dari surat pengaduan masyarakat kepada Kompolnas periode Januari hingga Mei 2012. Dari 200 surat yang layak, sebanyak 176 surat mengeluhkan ki nerja fungsi reserse, 17 surat berkaitan fungsi lain di luar fungsi teknis kepolisian, 5 surat tentang fungsi lalu lintas, 1 surat berkaitan fungsi samapta, dan 1 surat mengenai fungsi intelkam.

Namun bila ditilik dari jenis keluhan, sebanyak 123 surat mengeluhkan pelayanan polisi yang dikirim masyarakat ke Kompolnas dalam katego ri buruk. Kemudian diikuti dengan dugaan penyalahgunaan wewenang sebanyak 70 surat dan tindakan diskriminasi sebanyak 7 surat. Keluhan tersebut dapat juga dikelompokkan berdasarkan kesatuan atau kewilayahan.

Sekitar 80% pelayanan yang paling banyak dikeluhkan masyarakat ialah pelayanan reserse di kantor polres dan polda. Pada umumnya, masyarakat yang berhubungan dengan pelayanan reserse melihat polisi belum bisa memberikan pelayanan yang profesional kepada masyarakat. Penegakan hukum dalam stigma masyarakat itu cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Sikap dan tindakan aparat penegakan hukum yang seperti itu tentu saja tidak sejalan dengan tugas dan fungsi Polri. Akumulasi tindakan disfungsional itulah yang menjatuhkan kredibilitas institusi Polri secara keseluruhan. Lebih celaka lagi, berbagai tindakan menyimpang tersebut terus berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari pimpinan Polri. Akibatnya, sebagian anggota masyarakat menggunakan cara mereka sendiri untuk melawan. Kiranya itulah penyebab kenekatan sebagian masyarakat membakar dan merusak kantor serta fasilitas Polri.

Polisi demokrasi

Banyaknya keluhan terhadap kinerja polda, polres dan polsek, terutama di bagian reserse, bisa jadi bukan keinginan mereka semata. Anggota reserse yang menangani kasus-kasus hukum sangat mungkin juga frustrasi sebagaimana yang dialami anggota masyarakat.

Bukan rahasia lagi, penanganan kasus-kasus di kepolisian tidak semata berdasarkan pertimbangan hukum. Tidak sedikit pejabat Polri masih cenderung mengintervensi ke bawah. Dalam pengamatan kami ke seluruh polda di seluruh Indonesia, penulis memperkirakan sekitar 50% kasus yang ditangani reserse dengan mudah mendapat intervensi dari berbagai pihak.

Intervensi itu bisa datang dari pejabat Polri, anggota dewan, dan juga pemerintah daerah serta ditambah dengan pihak-pihak lainnya. Akibatnya, tidak sedikit kasus yang ditangani Polri sengaja dibelokkan karena intervensi tersebut. Lebih ironis lagi, penyidik di bawah banyak yang terpaksa memenuhi intervensi tersebut karena takut dimutasi. Kasus yang paling banyak mendapat intervensi belakangan ini ialah kasus korupsi yang ditangani polisi.

Selain masalah intervensi, persoalan penempatan membuat anggota Polri banyak yang frustrasi. Banyak anggota Polri menginginkan sistem pembinaan karier di kepolisian lebih terbuka. Banyak anggota yang sebenarnya bagus tidak mendapat tempat yang tepat karena tidak memiliki jaringan yang baik kepada pimpinan Polri.

Sebaliknya, banyak pula anggota Polri yang bermasalah sebelumnya, tapi justru mendapat tempat nyaman. Semua itu membuktikan bahwa di tubuh Polri belum berjalan democratic policing (polisi demokrasi).

Sistem jabatan terbuka

Untuk mewujudkan polisi demokrasi, kiranya Polri dapat mencontoh ide Gubernur DKI Jakarta Jokowi dengan membuka jabatan secara terbuka kepada lurah dan camat. Walau namanya bukan lelang jabatan, jenjang karier dan penempatan setiap anggota Polri diharapkan lebih demokratis. Peluang melakukan pendekatan tidak terpuji dengan sendirinya dapat diminimalkan.

Melalui sistem jabatan terbuka itu diharapkan, akan diperoleh juga pimpinan Polri di semua level yang berkualitas. Para perwira yang melamar untuk mendapatkan jabatan tidak lagi kasak-kusuk.
Perwira itu diminta membuat program kerjanya agar bisa membangun Polri dan meningkatkan kinerjanya di tengah masyarakat. Saatnya polisi selalu berada di tengah masyarakat. Polisi yang dimimpikan masyarakat saat ini ialah polisi yang blusukan dan polisi yang mendengar semua keluhan masyarakatnya.

Kalau hal itu dapat diwujudkan, Kompolnas hanya mengawasi pelaksanaan sistem jabatan terbuka, termasuk tentunya mengawasi semua sikap dan perilaku polisi saat menjabat atau ditempatkan di setiap bidang. Dengan begitu, polisi sebagai penegak hukum yang berfungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan lebih mudah diwujudkan. Selamat HUT Polri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar