|
INDOPROGRESS,
15 Juli 2013
REVOLUSI
bukanlah drama satu babak dengan naskah yang sudah jadi dan tinggal dibacakan
dengan suara yang lantang. Mereka-mereka yang mengharapkan sebuah revolusi yang
ideal dan murni, pada akhirnya hanya akan menemukan kekecewaan. Revolusi Mesir
adalah satu contoh dari sekian banyak yang menunjukkan sebuah proses revolusi
yang dialektis, yang tidaklah bergerak dalam garis lurus dan sesuai dengan
skema kaku dari pikiran seseorang. Ia adalah sebuah proses yang hidup dan penuh
kontradiksi. Ia penuh kontradiksi – dan oleh karenanya hidup – karena revolusi
melempar jutaan orang yang sebelumnya tersisihkan dari kehidupan politik ke
dalam arena politik secara langsung. Jutaan rakyat jelata ini tidak hanya
membawa insting dan tenaga revolusioner mereka, tetapi juga segudang kenaifan,
kebingungan, dan prasangka mereka. Yang belakangan ini terus berbenturan dengan
fakta-fakta riil revolusi, dan terus mendorong, menarik, dan menghancurkan
semua paham lama. Inilah revolusi, dimana bukan hanya pot-pot bunga saja yang
pecah tetapi juga semua prasangka lama.
Untuk bisa memahami apa yang
terjadi di Mesir, dan, seperti yang diharapkan oleh kawan Ridha,
‘mengklarifikasikan apa yang sebenarnya kita maksud dengan peranan militer
dalam revolusi [Mesir] kini,’[1] kita
harus kembali lagi ke fakta, fakta, dan fakta. Hanya dengan mendasarkan diri
kita pada fakta – terlebih, fakta yang hidup dan mengalir secara historis –
maka kita bisa memulai analisa politik kita di jalur yang tepat.
Kekeliruan pertama dari
kawan Ridha adalah pemahamannya mengenai peran Ikhwanul Muslimin (IM) dan Morsi
dalam Revolusi Mesir yang pertama, dan dari situ maka kekeliruan Ridha mengenai
relasi antara Morsi dengan Militer. Morsi bukanlah ‘anak kandung dari revolusi
2011’ seperti yang dikatakan oleh Ridha. Revolusi yang menumbangkan Mubarak ini
tidak diorganisir ataupun dipimpin oleh IM. Semua yang terlibat aktif dalam
Revolusi Mesir tahu kalau para pemimpin IM menyeret kaki mereka pada
momen-momen penting Revolusi, dan, layaknya oportunis tulen, hanya meminta
Mubarak turun setelah situasi sudah menjadi jelas kalau Mubarak sudah tidak
mungkin lagi dapat mempertahankan kursinya. Bahkan IM sendiri tidak bisa – dan
tidak pernah – sesumbar mengatakan bahwa merekalah yang memimpin dan
mengorganisir pemberontakan 2011, apalagi mengaku sebagai ‘anak kandung dari
revolusi 2011.’ IM bisa terdorong ke depan hanya karena kelemahan pemberontakan
rakyat pada 2011, yang meledak dengan spontan dan tanpa organisasi ataupun
kepemimpinan revolusioner yang bisa membawanya ke tahapan yang lebih lanjut.
Kita melihat hal yang sama dengan spontanitas dari gerakan Occupy, Indignados, dan
Revolusi Arab secara keseluruhan.
Mendasari
kekeliruan ini sesungguhnya adalah kekurangpahaman kawan Ridha dan banyak orang
lainnya terhadap dialektika perkembangan revolusi, kontradiksi-kontradiksi yang
ada di dalamnya yang lalu memberikan ruang untuk peran IM dalam kasus Mesir.
Oleh karenanya sebelum kita bergerak lebih lanjut, kita harus kembali lagi ke
ABC dialektika revolusi, yakni masalah spontanitas dan kepemimpinan revolusi.
Di sini saya akan kembali ke Rosa Luxemburg. Saya harus meminta maaf karena
menyeret para pembaca ke masa lalu hampir 100 tahun yang lalu, tetapi konflik
antara aksi massa spontanitas dan kerja organisasi yang sadar (kepemimpinan)
terus menerus memunculkan kepalanya di setiap episode dan tahapan pergerakan.
Tanpa pemahaman akan hubungan dialektis antara keduanya, kita akan terlempar
dari satu sisi ke sisi yang lainnya, jadi korban impresionisme dan terlumpuhkan
secara politik.
Rosa Luxemburg dan Spontanitas
dalam Revolusi
Pada
fase awal, spontanitas adalah sebuah kekuatan yang memberikan pemberontakan
sebuah keunggulan yang besar. Spontanitas membuat sebuah pemberontakan menjadi
tidak terprediksi dan oleh karenanya sulit ditumpas secara langsung oleh kelas
penguasa. Spontanitas juga memberikan medan dan ruang yang teramat luas untuk
segala bentuk kreativitas politik jutaan massa yang sebelumnya tak pernah
terekspresikan. Spontanitas menghancurkan semua rutinitas lama yang merantai
mereka dalam kehidupan sehari-hari, rutinitas dalam tindakan dan juga rutinitas
dalam berpikir. Ia membuka lebar-lebar jendela pikiran massa yang sebelumnya
tertutup, dan dengan demikian memberikan jalan bagi gagasan-gagasan
revolusioner – yang sebelumnya mereka cibir, jauhi, dan tolak – untuk masuk dan
mencengkram pikiran mereka, dan menggoncangnya keras-keras.
Spontanitas
memainkan peran yang teramat positif terutama dalam periode hari ini ketika
organisasi-organisasi massa rakyat pekerja telah tenggelam dalam rawa
reformisme dan birokratisme, sehingga justru menjadi penghambat gerakan. Para
pemimpin organisasi massa raksasa – serikat-serikat buruh dan partai-partai
kelas pekerja – telah menjadi kerak dalam roda sejarah, sehingga spontanitas
massa dapat menjadi sebuah senjata kuat dalam melawan aparatus reformisme yang
kaku. Massa buruh bergerak dengan insting dan kekreatifan mereka tanpa menunggu
komando perangkat atau tanpa menggubris larangan mereka.
Namun
dalam dialektika kita pelajari bahwa apa yang menjadi terdahulu akan menjadi
terakhir, dan yang terakhir menjadi terdahulu. Spontanitas, yang awalnya adalah
sumber kekuatan, berubah menjadi titik terlemah dalam revolusi ketika revolusi
telah melangkah ke tahapan selanjutnya, yakni ke masalah kekuasaan. Di tahapan
inilah dibutuhkan sebuah organisasi dengan program yang jelas dan terdiri dari
bunga-bunga terbaik kelas buruh yang telah dikumpulkan dan ditempa dengan
seksama jauh sebelum revolusi meledak. Diperlukan sebuah organisasi yang bisa
mengumpulkan enerji dari ledakan-ledakan spontanitas and memusatkannya.
Dalam salah satu karya maha
besarnya, Pemogokan Massa, yang ditulis Rosa
Luxemburg menyusul Revolusi 1905 di Rusia, Rosa mengatakan:
‘Jika kemudian
Revolusi Rusia mengajarkan kita sesuatu, maka ia mengajarkan bahwa pemogokan
massa tidak “dibuat” secara artifisial, tidak “diputuskan” secara serampangan,
dan tidak “disebar-sebarkan,” tetapi ia adalah fenomena historis yang, pada
momen-momen tertentu, dihasilkan dari kondisi-kondisi sosial dengan keniscayaan
historis. … Bila seseorang ingin secara umum mengobarkan pemogokan massa,
sebagai sebuah bentuk dari aksi proletarian, dengan cara agitasi yang
metodikal, dan berkampanye dari rumah-ke-rumah dengan “gagasan” ini untuk
secara perlahan-lahan meyakinkan kelas buruh akan gagasan ini, ini akan menjadi
sebuah pekerjaan yang sia-sia dan tidak-berbuah dan konyol, seperti halnya
mencoba membuat gagasan revolusi atau perjuangan di barikade sebagai hasil dari
sebuah agitasi khusus.’[2]
Revolusi
tidaklah diciptakan oleh sekelompok kaum revolusioner. Ia tidak dapat
direncanakan seperti sebuah pesta makan malam. Usaha untuk mempercepat
datangnya revolusi, untuk mengobarkan revolusi, adalah ‘sebuah pekerjaan yang
sia-sia dan tidak-berbuah dan konyol.’ Kapitalisme-lah yang akan menciptakan
revolusi, seperti halnya ia menciptakan penggali kuburnya sendiri. Akan tetapi,
ini barulah paruh pertama dari persamaan revolusioner. Paruh keduanya adalah
bahwa tugas kaum revolusioner adalah untuk memenangkan revolusi yang telah
hadir di hadapannya. Disinilah peran organisasi dan kepemimpinan menjadi
krusial.
Akan tetapi, setelah
kematiannya, banyak sekali karya Rosa Luxemburg yang dicolek seenaknya oleh
para musuh Lenin dan Bolshevisme. Dosa terbesar Lenin dan kaum Bolshevik Rusia,
bagi para musuhnya, adalah bahwa Lenin dan kawan-kawannya dengan giat telah
mempersiapkan sebuah organisasi Marxis yang rapat, disiplin, dan tertempa
secara ideologi jauh sebelum revolusi meledak, dan oleh karenanya dapat merebut
kekuasaan ketika masalah kekuasaan terkedepankan di dalam revolusi. Dosa
‘peloporisme’ ini harus dibersihkan dari Marxisme. Oleh karenanya, Rosa
Luxemburg, setelah dia meninggal, dijadikan nabi ‘spontanitas revolusioner’
yang dipertentangkan dengan ‘peloporisme’ (vanguardism) Lenin.
Ini dilakukan oleh para kritikus Bolshevisme, karena orang yang sudah mati
tidak dapat lagi membela dirinya sendiri. Selain itu, dari Marxisme Jerman,
hanya Rosa tokoh yang masih memiliki kredensial revolusioner yang tidak
ternodai sama sekali.
Kaum
muda hari ini, yang mencari-cari gagasan Marxisme, lalu disuguhkan
kutipan-kutipan dari Rosa yang sudah dikoyak dari maksud dan konteks yang
sesungguhnya – sebuah tindakan yang tidak ada bedanya dengan yang dilakukan
oleh kaum Stalinis terhadap karya-karya Lenin – untuk mempertentangkan
Marxismenya Rosa dengan Lenin. Satu karya yang sering digunakan oleh para
pencolek vulgar ini adalah karya Rosa yang aslinya berjudul ‘Masalah-masalah
Organisasional Sosial Demokrasi Rusia’ dan lalu diganti – tentunya setelah yang
menulis sudah tidak ada lagi – menjadi ‘Leninisme atau Marxisme.’ Padahal
polemik yang ditulis Rosa pada 1904 ini sudah tidak pernah lagi diungkit
olehnya. Karya-karya Rosa dilihat sebagai sebuah monumen abadi, yang dipisahkan
dari perkembangan intelektual dan politik sang penulis itu sendiri. Pada
kenyataannya, Rosa sendiri dalam berbagai langkahnya melakukan kerja yang
disiplin dalam menempa sayap revolusioner di dalam Sosial Demokrasi Jerman dan
Polandia. Dia tidak serta merta menunggu mukjizat spontanitas massa untuk mencapai
sosialisme. Terutama setelah Revolusi Jerman pada November 1918, dia dengan
gigih mengumpulkan kader-kader komunis yang telah pecah dari pengkhianatan
Sosial Demokrasi Jerman untuk membentuk Partai Komunis Jerman, yang
diharapkannya dapat memimpin proletar Jerman ke kemenangan sosialisme.
Setelah
dibebaskan dari penjara, Rosa dan kamerad-kameradnya segera menyelenggarakan
Kongres pendirian Partai Komunis Jerman. Dalam sesi diskusi Program dan Situasi
Politik yang dipimpin oleh Rosa, dia jabarkan dengan jelas karakter spontanitas
dari Revolusi Jerman 1918:
‘Adalah karakteristik
dari kontradiksi-kontradiksi dialektis darimana revolusi [Jerman 1918], seperti
revolusi-revolusi lainnya, bergerak, dimana pada 9 November teriakan pertama
dari revolusi ini, seperti insting teriakan seorang bayi yang
baru lahir, adalah slogan yang akan membawa kita ke sosialisme: dewan
buruh dan tentara. Ini adalah seruan yang menyatukan semua orang – dan bahwa
revolusi ini secara instruktif menemukan slogan ini, walaupun pada 9 November slogan ini begitu tidak-memadai, begitu
lemah, begitu kekurangan inisiatif, begitu kurang-jelas akan tujuannya,
sehingga pada hari kedua revolusi hampir setengah instrumen-instrumen kekuasaan
yang telah direbut pada 9 November telah hilang dari cengkraman revolusi …
‘Aksi pertama ini, antara
9 November dan hari ini, telah dipenuhi dengan ilusi-ilusi dari berbagai sisi …
Apa lagi yang lebih karakteristik dari kelemahan internal Revolusi 9 November
daripada kenyataan bahwa di kepala gerakan tampak orang-orang yang beberapa jam
sebelum revolusi meledak telah mengganggap bahwa tugas utama mereka adalah
beragitasi melawannya – untuk membuat revolusi ini mustahil: yakni orang-orang
seperti Ebert, Scheidemann, dan Haase. …
Ada metode revolusioner
tertentu dimana rakyat bisa terobati dari ilusi, tetapi sayangnya, obat ini
harus dibayar dengan darah rakyat.’[3]
Revolusi Jerman November 1918
meledak dengan spontan, tanpa diorganisir terlebih dahulu oleh Rosa dan
kolega-koleganya, apalagi oleh para sosial demokrat yang ‘menganggap bawah
tugas utama mereka adalah beragitasi melawannya – untuk membuat revolusi ini
mustahil.’ Ia meledak dengan ‘insting teriakan seorang bayi yang baru lahir,’
dan dengan spontan meneriakkan slogan ‘dewan buruh dan tentara.’ Namun bahkan
slogan spontan yang sudah maju ini – bila dibandingkan dengan slogan-slogan
dari gerakan Occupy, Indignados, dan gerakan-gerakan spontan lainnya –
masihlah ‘begitu tidak-memadai, begitu lemah, begitu kekurangan inisiatif,
begitu kurang-jelas akan tujuannya’ sehingga dalam waktu singkat hampir
setengah dari pencapaian revolusi telah direbut kembali.
Ilusi
juga kental di dalam tahapan awal Revolusi ini, sampai-sampai orang-orang yang
beberapa jam sebelumnya menentang revolusi ini dan berusaha keras
membatalkannya terdorong ke depan menjadi pemimpin revolusi ini. Para reformis
dan sosial demokrat menjadi pemimpin revolusi yang tidak mereka inginkan, dan
kelas penguasa Jerman juga bermanuver mendorong mereka ke pucuk kepemimpinan
revolusi agar dapat meredamnya. Di karya yang sama, Rosa mengatakan bahwa kaum
borjuasi ‘percaya bahwa dengan kombinasi Ebert-Haase, dengan melalui
apa-yang-disebut pemerintahan sosialis, mereka sungguh-sungguh dapat mengekang
massa proletariat dan mencekik revolusi sosialis.’
Dalam situasi seperti inilah
Partai Komunis Jerman dibentuk dengan tujuan memimpin Revolusi yang sudah
bergulir ini ke kemenangan. ‘Liga Spartakus [Partai Komunis Jerman] adalah
bagian proletariat yang paling sadar dan punya tujuan, yang mengarahkan seluruh
massa luas kelas buruh menuju tugas-tugas historisnya di setiap langkah,’ tulis
Rosa[4].
Lalu pada 11 Januari 1919, pada momen-momen genting Revolusi Jerman, empat hari
sebelum dia ditangkap dan dibunuh, dia kembali menekankan pentingnya partai:
‘Tidak adanya kepemimpinan, tidak adanya sebuah pusat untuk mengorganisir kelas
buruh Berlin, ini tidak dapat berlanjut. Bila revolusi ini ingin maju, bila
kemenangan proletariat, kemenangan sosialisme, tidak hanya menjadi mimpi, para
buruh revolusioner harus membentuk sebuah organisasi kepemimpinan yang mampu
memandu dan menggunakan enerji perjuangan massa.’[5] ‘Peloporisme’nya
Rosa menjadi begitu nyata dalam praktek karena dia tidak mengurung dirinya
dalam teori “spontanitas revolusioner” yang kaku dan tidak dialektis. Leon
Trotsky menilai Rosa seperti berikut ini:
‘Teori spontanitas-nya
Rosa adalah sebuah senjata dalam melawan aparatus reformisme yang kaku. … Dia
terlalu realistis, dalam pemahaman revolusioner, untuk mengembangkan
elemen-elemen dari teori spontanitas menjadi sebuah metafisika sepenuhnya.
Dalam praktek, dia sendiri, seperti yang telah dikatakan, menyangkal teori ini
di setiap langkah.’[6]
Namun usaha Rosa untuk
mengorganisir partai komunis ini agak terlambat. Sementara Lenin telah
mengumpulkan kader-kader Marxis revolusioner sejak awal, sebagai faksi
Bolshevik di dalam Sosial Demokrasi Rusia yang dengan gigih melawan reformisme
(Menshevik), Rosa hanya melakukan ini setelah revolusi telah bergulir. Walaupun
Rosa sudah lama memimpin polemik tajam melawan tendensi-tendensi reformisme di
dalam Sosial Demokrasi Jerman, dia tidak pernah mengambil langkah selanjutnya
untuk membentuk sebuah faksi seperti Bolshevik, yang rapat, disiplin, tertempa,
dan profesional. Ke-amatiran-an Partai Komunis Jerman juga terpampang begitu
jelas oleh ketidakmampuannya untuk melindungi para pemimpinnya. Mereka tidak
mampu menyembunyikan Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht dari kejaran Freikorps (milisi anti-komunis). Revolusi Jerman
akhirnya kalah dan tenggelam dalam lautan darah.
Kasus Mesir
Tanpa
memahami dialektika perkembangan revolusi, yang digerakkan oleh
kontradiksi-kontradiksi di dalamnya, maka banyak orang yang mengambil
kesimpulan keliru mengenai peran Morsi (IM) dalam Revolusi 2011, dan lalu peran
militer dalam Revolusi Mesir babak kedua baru-baru ini. Lantas Morsi menjadi
‘anak kandung dari revolusi 2011,’ yang sama konyolnya dengan mengatakan bahwa
pemerintahan Ebert-Scheidemann – yakni para sosial demokrat yang beberapa jam
sebelum revolusi masih beragitasi menentang revolusi ini – adalah anak kandung
dari Revolusi Jerman 1918.
Spontanitas,
dan oleh karenanya ketidaksiapan organisasi dan kepemimpinan, adalah alasan
mengapa kekuasaan yang sudah ada di jalanan akhirnya dipungut oleh IM, seperti
halnya rakyat pekerja Jerman pada November 1918, terjebak dalam ilusi
demokratis pada para pemimpin sosial demokrat. Setelah berhasil menumbangkan
Mubarak dengan enerji yang meluap-luap, yang meledak spontan tanpa terikat oleh
satu partai atau organisasi manapun, spontanitas akhirnya kehilangan daya
enerjinya untuk tugas selanjutnya: perebutan kekuasaan ekonomi dan politik.
Seperti halnya kelas penguasa Jerman bermanuver – dan bukannya tanpa
kontradiksi-kontradiksinya sendiri – untuk menyerahkan kekuasaan kepada para
pemimpin reformis yang dapat dipercaya, begitu juga di Mesir, kelas penguasa
dan Militer melakukan berbagai manuver dengan elemen-elemen oposisi borjuasi
liberal dan IM, tetapi terutama dengan yang belakangan ini karena mereka adalah
kekuatan terorganisir yang dapat diandalkan untuk ‘mengekang massa proletariat
dan mencekik revolusi sosialis.’
Militer,
dengan cara Bonapartis dan dengan restu – yang tidak harus dengan sukarela
diberikan – dari kelas borjuasi Mesir secara keseluruhan dan imperialisme AS,
mengintervensi untuk menyelamatkan situasi yang sudah tidak terkendalikan ini.
Semakin lama Mubarak bercokol, akan menjadi semakin radikal massa rakyat di
jalanan dan bisa-bisa semua lapisan kelas penguasa akan tersapu. Ini juga
dipahami oleh imperialisme AS, dimana duta besar AS di Mesir saat itu, Frank
Wisner, menyampaikan pesan dari Obama kepada Mubarak bahwa sekarang adalah
saatnya bagi dia untuk turun dari singgasana. SCAF (Dewan Agung Militer) lalu
mengambil alih pemerintahan provisional.
Dalam
proses selanjutnya, rakyat Mesir dipenuhi dengan ilusi-ilusi dari berbagai sisi
yang saling bertabrakan. Sebagian berilusi bahwa SCAF akan dapat memberikan
mereka periode transisi ke demokrasi; sebagian berilusi pada kubu liberal,
sebagian lagi pada kubu Islamis; sebagian rakyat merindukan Nasser dan Sadat,
dan memimpikan kembalinya sosok perwira progresif seperti mereka yang dapat
menyelamatkan Mesir; sebagian, yang sangat kecil, terus hanya mempercayai
kekuatan mereka sendiri. Inilah proses yang terjadi dalam Revolusi Mesir 2011.
IM
sejak awal lebih memilih melakukan negosiasi di atas meja (dan di belakang
pintu) ketimbang aksi massa. Dan segera setelah SCAF mengambil alih kekuasaan
paska jatuhnya Mubarak, IM terlibat dalam negosiasi di belakang layar dengan
militer, sementara rakyat pekerja yang maju, terutama kaum muda, terus melawan
SCAF dengan demo-demo yang menelan puluhan korban jiwa. SCAF paham bahwa mereka
lebih bisa mempercayai IM daripada kaum muda revolusioner yang berperan aktif
dan sentral dalam Revolusi 2011, dan sebaliknya IM juga lebih mempercayai SCAF
daripada massa luas yang ada di jalanan. IM adalah oposisi yang loyal dan
terhormat, yang pada analisa terakhir punya kepentingan yang sama dengan
Mubarak dan SCAF, yakni mempertahankan kestabilan kapitalisme untuk lancarnya
laba dan profit mereka. Revolusi yang datang dari massa rakyat pekerja tidak
ada di agenda mereka.
Sameh Elbarqy, seorang
mantan anggota IM, mengatakan dengan cukup jelas: ‘Visi ekonomi Ikhwanul
Muslimum yang utama, bila kita ingin mengklasifikasinya secara klasik, adalah
kapitalis ekstrim.’[7] Basis
kelas IM adalah borjuasi. Inilah juga yang luput dari perhatian dan analisa
kawan Ridha, yakni basis kelas dari IM. Inilah mengapa Amerika tidak terlalu
khawatir dengan terpilihnya Morsi, karena ia dan partainya akan terus menjaga
keberlangsungan kapitalisme di Mesir. IM dipercaya dapat menjaga kestabilan
Mesir dan meredam gejolak revolusi di Mesir. Pada saat berada di bawah rejim
Mubarak, para kapitalis IM memang mengalami diskriminasi politik, dan bahkan
kadang-kadang diskriminasi ekonomi. Kelas kapitalis bukanlah satu blok yang
homogen. Bisa ada perpecahan dan persaingan di antara mereka. Mereka tersatukan
hanya oleh posisi mereka dalam relasi produksi, yakni sebagai pemilik modal,
dan oleh karenanya tersatukan dalam perlawanan mereka terhadap kelas buruh.
Rapuhnya dukungan rakyat
pada IM, ataupun pada seluruh proses pemilu dan kandidat-kandidat yang ada,
dapat dilihat dari potret pemilu presiden pada Mei 2012. Pertama, ada 54 persen rakyat yang tidak memilih
(golput). Insting mereka memberitahu mereka bahwa pemilu ini adalah sebuah
penipuan dan akal-akalan, bahwa tidak ada satupun kandidat yang benar-benar
mewakili revolusi ini. Sungguh tidak dapat dibandingkan dengan pemilu 1999 di
Indonesia paska Reformasi 1998, dimana 90 persen rakyat berbondong-bondong ke
TPS. Kedua, dari 46 persen yang memilih, Morsi hanya meraih
25persen, berarti hanya 11,5 persen dari seluruh populasi pemilih Mesir.
Padahal pada pemilu legislatif Nov 2011-Jan 2012 IM dapat meraih 37,5 persen
dari 54 persen populasi yang memilih, berarti total 20 persen dari seluruh
populasi. Dalam waktu beberapa bulan saja, dari Januari 2012 hingga Mei 2012,
mereka telah kehilangan hampir separuh dukungan mereka. Semakin dekat IM ke
kekuasaan, semakin terekspos mereka di mata rakyat. Ini tidak berbeda dengan
PKS di tanah air – tetapi dengan tempo yang lebih lambat, karena tidak ada
proses revolusi di Indonesia – dimana setelah meraih posisi-posisi di dalam
pemerintah, mereka terekspos sebagai sekelompok pencoleng dan jongos kaum
borjuasi.
Pada putaran kedua pemilu
Presiden, ketika pilihannya jatuh antara Morsi, kandidat Islamis, dan Shafik,
kandidat militer, rakyat melemparkan dukungan mereka ke kedua kandidat ini
hampir sama rata; sebagian (51,7 persen) memilih Morsi karena takut akan
kembalinya kubu Mubarak dan militer, sebagian (48,3 persen) memilih Shafik
karena takut akan masuknya sharia Islam ke dalam masyarakat Mesir. Yang ada di
pikiran hampir semua rakyat adalah mana yang ‘terbaik dari yang terburuk’ (lesser evil). Bahkan sejumlah Kiri revolusioner pun
terjebak dalam logika lesser evil.
IM naik
ke tampuk kekuasaan, tetapi dengan kesepakatan dengan SCAF bahwa pemerintahan
Morsi tidak akan menyentuh bisnis yang dikontrol militer dan melindungi mereka
dari pengadilan sipil atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan terhadap
rakyat. Sampai sekarang, tidak ada satupun petinggi militer yang dibawa ke
pengadilan untuk bertanggung jawab atas pembantaian terhadap rakyat demonstran.
Sementara Washington paham bahwa IM adalah rekan yang bisa diandalkan untuk
menjaga kestabilan iklim investasi dan juga kestabilan politik. Mesir adalah
negeri Arab yang sangat penting. Revolusi di sana dapat mengganggu kestabilan
seluruh Timur Tengah. Pada kunjungan John Kerry ke Mesir pada Maret lalu,
US$250 juta dolar dikucurkan untuk Mesir, yang merupakan tanda kepercayaan
Washington pada IM yang dulu dianggap sebagai ‘organisasi teroris.’
Militer, Negara, dan
Bonapartisme
Akan
keliru kalau kita berpikir bahwa hubungan IM dengan militer adalah sebuah
hubungan yang mesra. Tetapi akan lebih keliru lagi kalau kita lantas berpikir
bahwa IM dan militer adalah musuh secara prinsipil. IM dan militer tersatukan
oleh ketakutan mereka terhadap rakyat pekerja dan revolusi, dan bersama-sama
mereka bermanuver – sambil menjaga sebanyak mungkin kepentingan mereka
masing-masing – agar kestabilan dapat tercapai di Mesir.
Ridha,
oleh karenanya, sangatlah keliru mengenai relasi Morsi dan militer, yang
digambarkannya dengan apa-yang-disebut ‘logika persamaan:’
‘Keterlibatan Militer
terhadap kejatuhan Morsi … lebih banyak disebabkan oleh relasi yang tercipta
antara Militer dengan Morsi pasca pemilu … Sejak berkuasa, Morsi memang
telah melakukan penyingkiran sistematis terhadap Militer. … Situasi ini
kemudian menempatkan militer pada posisinya yang marjinal, seperti posisi
kekuatan politik lainnya yang sudah terlebih dahulu dimarjinalisasi oleh
kepresidenan Mursi dengan Ikhwanul Muslimin-nya, yakni kalangan liberal,
sekuler, dan juga kalangan kiri revolusioner. Konjungtur serta konstelasi
politik ini kemudian membuat apa yang saya sebut sebagai satu bentuk, mengutip
Laclau-Mouffe, logika persamaan (logic of equivalence) di
antara mereka yang telah termarjinalisasi oleh Morsi.’
Pertama, militer
tidak bisa disamakan begitu saja dengan kekuatan politik lainnya, ‘yakni
kalangan liberal, sekuler, dan juga kalangan kiri revolusioner.’ Militer adalah
bagian esensial dari Negara, sebagaimana yang dikatakan Marx dan Engels bahwa
Negara, pada analisa terakhir setelah dilucuti dari semua pernak-perniknya,
terdiri dari badan khusus orang-orang bersenjata yang melayani kepentingan
kelas yang berkuasa. Mereka-lah yang mengijinkan IM untuk bisa berkuasa, dan
oleh karenanya dapat juga menendang mereka keluar, seperti yang terjadi juga
pada Mubarak. Elit-elit militer tidaklah menyukai Ikhwanul Muslimin, dan bahkan
tidak terlalu mempercayainya. Tetapi IM adalah terbaik dari yang terburuk di
mata mereka, begitu juga di mata imperialisme AS, dimana yang terburuk adalah
rakyat pekerja merebut kekuasaan dengan tangan mereka sendiri.
Namun IM juga bukanlah
organisasi yang dipenuhi orang-orang bodoh. Menunggangi gelombang revolusi
dengan massa yang membenci kesewenang-wenangan militer, IM menghantarkan
beberapa pukulan jab pada militer, dengan
beberapa usaha retooling, guna memperkuat posisi
mereka. Tetapi beberapa pukulan jab yang saling
ditukarkan antara Morsi dan militer tidak mengubah hal-hal fundamental bahwa
keduanya berdiri di atas basis kelas borjuasi dan militer adalah badan khusus
orang-orang bersenjata dari Negara.
Pada situasi krisis di dalam
masyarakat, ketika perjuangan kelas menajam, dimana kelas borjuasi tidak mampu
lagi mengembalikan kestabilan sementara kelas pekerja walaupun bergejolak
tetapi tidak mampu merebut kekuasaan, maka Negara dapat meraih kemandirian
tertentu untuk bertindak guna menyelamatkan situasi. Sebuah masyarakat tidak
bisa terus menerus ada di dalam tungku panas perjuangan kelas. Negara, dalam
hal ini militer, mengintervensi. Di babak pertama revolusi Mesir, dengan
menendang keluar Mubarak ketika ia dan partainya NDP tidak dapat lagi
mengendalikan situasi dan menjadi liability; di babak
kedua, dengan menendang keluar Morsi dan IM, juga untuk alasan yang sama.
Inilah fenomena yang disebut Bonapartisme, yakni dimana, seperti yang
dipaparkan oleh Ted Grant, ‘antagonisme di dalam masyarakat sudah menjadi
begitu luar biasa sehingga mesin Negara, yang “meregulasi” dan “menertibkan”
antagonisme ini, sementara masih tetap merupakan instrumen dari kelas yang
berpunya, meraih kemandirian tertentu dari semua kelas. Seorang “hakim
nasional,” yang mengkonsentrasikan kekuatan di tangannya, secara pribadi “mengatur”
konflik-konflik di dalam bangsa, memainkan satu kelas melawan kelas yang lain,
meskipun demikian tetap merupakan alat dari kelas berpunya.’[8] Bonapartisme
adalah fenomena yang sering kita lihat di negeri-negeri Dunia Ketiga, karena,
di satu pihak, borjuasi yang relatif lemah dan, di lain pihak, karena situasi
krisis akut yang terus-menerus melanda negeri-negeri ini akibat kemiskinan dan
penindasan yang tidak tertanggungkan.
Bagi
kawan Ridha, militer terlibat dalam penumbangan Morsi karena ‘logika
persamaan,’ yakni karena mereka juga termarjinalisasi oleh Morsi, sehingga
bersama-sama dengan kaum liberal, sekuler, dan Kiri revolusioner mereka
bahu-membahu mengeluarkan Morsi. Ini adalah kekeliruan yang fatal. Militer
Mesir mengintervensi bukan dalam kapasitas ’sekutu’ atau ‘rekan’ dengan rakyat
yang sama-sama termarjinalisasi, tetapi sebagai Negara dalam kapasitas
Bonapartis seperti yang saya jelaskan di atas.
Dalam
artikel saya yang sebelumnya, telah saya jelaskan bahwa:
‘Hari ini rakyat Mesir
telah meraih satu kemenangan, tetapi perjuangan belumlah selesai. Tidak adanya
sebuah partai revolusioner memungkinkan militer untuk melakukan manuver dan
menyelamatkan situasi dengan menaruh Tuan Mansour sebagai kepala negara
sementara. Inilah kelemahan dari gerakan Mesir hari ini, dan tidak ada jalan
pintas selain terus membangun kekuatan sosialis revolusioner di dalam gerakan
ini.’[9]
Tidak
ada kesimpulan atau kecenderungan ke kesimpulan, seperti yang dituduhkan oleh
Ridha kepada saya, bahwa ‘militer Mesir kini sudah tersubordinasi di bawah
kepemipinan politik yang revolusioner.’ Bahkan tidak ada ‘kepemimpinan politik
yang revolusioner’ yang dapat kita bicarakan sama sekali! Hanya kelemahan dalam
gerakan, yakni ketidaksiapan organisasi dan kepemimpinan, yang memungkinkan
manuver dari militer ini. Perlu ditekankan sekali lagi kalau intervensi militer
ini datang bukan dari posisi yang kuat tetapi dari posisi yang lemah. Ini
terbukti dengan kenyataan bahwa Jendral Sisi, setelah menyingkirkan Morsi,
tidak bisa menaruh SCAF sebagai pemerintahan provisional, seperti yang
dilakukan oleh militer ketika Mubarak jatuh. Mereka sekarang bersandar pada
elemen-elemen borjuasi liberal di sekitar El Baradei, untuk mengarahkan
revolusi ini kembali ke jalur-jalur demokrasi yang aman.
Penutup
Majalah The Economist, yang merupakan majalah kelas penguasa
yang sangat jujur, karena ia adalah majalah perspektif untuk pemimpin-pemimpin
kapitalis, mengatakan dengan jelas apa bahaya dari jatuhnya Morsi:
‘Preseden dari
ditumbangkannya Morsi adalah sangat buruk bagi negara-negara demokrasi lainnya
yang goyah. Ini akan mendorong orang-orang yang tidak puas untuk mencoba
menumbangkan pemerintahan bukan dengan pemilu tetapi dengan mengganggu
kekuasaan mereka. Ini akan menciptakan insentif kepada kaum oposisi [baca rakyat]
di seluruh dunia Arab untuk mengejar agenda mereka lewat jalanan, dan bukan
lewat parlemen. Oleh karenanya ini akan mengurangi peluang perdamaian dan
kemakmuran di seluruh daerah ini.’[10]
Ilusi
demokrasi borjuasi harus kembali ditegakkan di Mesir.
Yang
ada di tangan militer dan El Baradei saat ini hanyalah bayang-bayang kekuasaan.
Perimbangan kekuatan hari ini ada di pihak rakyat pekerja Tetapi selama massa
rakyat tidak punya partai dan kepemimpinan yang dapat menyelesaikan masalah
perebutan kekuasaan, maka bayang-bayang ini akan mulai meredup. Massa luas
tidak bisa terus-menerus dalam keadaan bergejolak. Mereka tidak bisa
terus-menerus turun ke jalan selama berminggu-minggu tanpa adanya kemenangan
konkrit di akhir perjalanannya. Kelelahan akan memanifestasikan dirinya, dan
kekuatan konter-revolusi akan mengambil keuntungan dari kelelahan ini.
Tetapi pertanyaannya: apakah
pemerintahan selanjutnya di Mesir dapat menyelesaikan masalah-masalah
fundamental di Mesir, yakni masalah roti? Ini bukan hanya masalah demokrasi
belaka. Seperti kata Alan Woods: ‘Bagi massa, demokrasi bukanlah kata kosong
belaka. Ujian utama demokrasi adalah bisakah demokrasi mengisi perut-perut yang
kosong.’[11] Pada
periode krisis dunia yang sedang kita masuki ini, demokrasi borjuasi tidak akan
bisa mengisi perut-perut yang kosong. Pemerintahan yang selanjutnya di Mesir
hanyalah akan menjadi pemerintahan krisis. Tidak adanya kepemimpinan
revolusioner akan memberikan perjuangan rakyat Mesir sebuah karakter yang
berkepanjangan (protracted), dengan revolusi dan
konter-revolusi yang saling susul menyusul, dengan pasang naik dan pasang surut
yang terus menggoncang dan menggerakan kesadaran mereka. Ini adalah sebuah
proses pembelajaran bagi massa luas, sebuah proses yang sedihnya harus dibayar
dengan darah rakyat. Tetapi tidak ada jalan lain.
Sebuah
partai, sebuah kepemimpinan revolusioner, yang dapat memahami perimbangan
kekuatan kelas dan mengedepankan slogan dan program yang tepat, dan yang,
seperti yang dikatakan Rosa, ‘adalah bagian proletariat yang paling sadar dan
punya tujuan, yang mengarahkan seluruh massa luas kelas buruh menuju
tugas-tugas historisnya di setiap langkah;’ inilah yang perlu dibangun. Kita
tertarik pada masalah revolusi Mesir bukan hanya karena sentimentalitas
solidaritas belaka, tetapi karena masalah yang serupa juga akan kita hadapi
dalam revolusi Indonesia mendatang. Maka dari itu, partai demikian harus
dipersiapkan sedini mungkin sebelum revolusi menggedor pintu kita. Massa proletar
Indonesia – dan seluruh negeri – tidak bisa hanya mengandalkan spontanitas
revolusioner, mereka juga harus punya partai yang sudah siap merebut kekuasaan.
Pada akhirnya, seperti yang Leon Trotsky katakan, ‘Situasi politik dunia dalam
keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis historis kepemimpinan
proletariat.’[12] ●
Kepustakaan
[1] Muhammad
Ridha, Revolusi
Mesir Sekarang dan Pertanyaan Rumitnya, 8 Juli 2013.
http://indoprogress.com/revolusi-mesir-sekarang-dan-pertanyaan-rumitnya/
[5] Dikutip
dari Pierre Broue, “The German Revolution 1917-1923”. Rosa Luxemburg, Die Rote Fahne, 11
Januari, 1919.
[6] Leon
Trotsky, Luxemburg
and the Fourth International, 1935.
http://www.marxists.org/archive/trotsky/1935/06/lux.htm
[7] Suzy
Hansen, ‘The Economic Vision of Egypt’s Muslim Brotherhood Millionaires,’ Bloomberg
Businessweek, 19 April 2012. http://www.businessweek.com/articles/2012-04-19/the-economic-vision-of-egypts-muslim-brotherhood-millionaires
[8] Ted
Grant, Democracy
of Bonapartism in Europe – A Reply to Pierre Frank, August 1946.http://www.marxists.org/archive/grant/1946/08/frank.htm
[9] Ted
Sprague, Apakah
ada Kudeta Militer di Mesir?, 4 Juli
2013.http://militanindonesia.org/internasional/afrika/8430-benarkah-ada-kudeta-militer-di-mesir.html
[11] Alan
Woods, Revolusi
Mesir Kedua, 5 Juli 2013.http://militanindonesia.org/internasional/afrika/8431-revolusi-mesir-kedua-pernyataan-tendensi-marxis-revolusioner-imt.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar