|
MAJALAH
TEMPO, 15-21 Juli 2013
isis Mesir
pasca-kudeta atas Presiden Muhammad Mursi, 3 Juli 2013 lalu, tampaknya kian
rumit dan mulai berdarah-darah. Kerumitan ini hanya bisa dipahami jika kita
mampu menelusuri pangkal masalahnya. Bagi saya, ini soal transisi yang tidak
mudah dari otokrasi menuju demokrasi. Sejak menegara 6000 tahun silam, Mesir
sudah mapan dengan kepemimpinan “raja separuh dewa” (al-malik al-ilah) yang
menghadirkan rasa gentar, sakral, dan menuntut kepatuhan. Musim Semi Arab
menggoyang kemapanan itu. Sejak 2011 lalu, tembok-tembok ketakutan, kesakralan,
dan kepatuhan rakyat Mesir telah goyah (Saad Eddin Ibrahim, 2013).
Namun, di kancah
politik Timur Tengah, Mesir terlalu penting untuk berubah secara radikal.
Menjelang Husni Mubarak tumbang, aspirasi rakyat yang terkuat adalah
berakhirnya otokrasi dan tegaknya demokrasi. Husni Mubarak secara salah kaprah
terlanjur dilabeli, mengutip peneliti Timur Tengah dari Universitas Durhan,
Khalil al-Anani, “otokrat liberal”, bukan sosok otoriter yang absolut.
Celakanya, mitos “otokrasi liberal” Mubarak itulah yang dianggap paling pas
untuk negara sepenting Mesir. Dalam sistem otokrasi itu, politik tetap
didominasi penguasa tunggal yang selalu pandai melakukan manipulasi. Doktrin
utamanya: katakan saja apa yang kau suka, aku (penguasa) akan mengerjakan apa
yang aku mau.
Selama 3 dekade, itulah
yang ditempuh Mubarak. Sang otokrat terus mengkhianati rakyatnya sembari menipu
dunia dengan pilihan ganda: terima otokrasiku atau demokrasi akan membawa Mesir
jatuh ke pangkuan fundamentalisme! Sang otokrat menyembunyikan fakta bahwa dari
rahimnyalah fundamentalisme dibuahi dan alternatifnya—seperti gerakanKifayah yang
telah menyemai benih-benih kaum demokrat lintasfaksi—berguguran mati. Namun apa
daya, ramalan Mubarak sahih dan kini menjadi semacam kutukan. Alternatif
dirinya adalah fundamentalisme al-Ikhwan al-Muslimun selaku kekuatan politik
tergigih selama dia memerintah.
Peran Amerika
sebagai broker politik masa transisi menjadi relevan di titik ini. Yang saya
pahami, kepentingan Amerika di masa peralihan Mesir ini cuma dua. Pertama,
Mesir tetap menjadi penyeimbang kawasan agar radikalisme menentang Israel tidak
menguat. Kedua, Mesir tetap serta dalam perang global melawan terorisme. Di
luar dua kepentingan itu, seperti pemenuhan tuntutan para pejuang Tahrir,
hampir pasti bersifat sekunder belaka.
Dari dua kepentingan
itulah muncul ide reformasi terkendali (orderly reform) yang
disuarakan Presidan Amerika, Barack Obama tatkala Mubarak sudah tak tertolong
lagi. Ketika itu, kudeta dianggap aksi penyelamatan negara. Mandat perubahan
dititipkan kepada tentara sebagai partner jangka panjang Amerika. Dan
berbekal platform itulah Dewan Tinggi Militer Mesir
bekerjasama dengan faksi-faksi konservatif dalam melucuti tuntutan revolusi
Tahrir. Kisah pengkhianatan itu berlanjut ke era Mursi yang diharapkan menyingkirkan
otokrasi lewat jalur demokrasi. Abang Sam kini lebih pusing lagi. Lalu muncul
ilusi: otokrasi mungkin saja dipertahankan dengan wajah yang lebih agamis.
Setelah menolak
hasil demokrasi di Gaza, Amerika justru dihadapkan pada leluhur Hamas di Negeri
Kinanah Mesir. Para Ikhwan ini terlalu besar untuk ditolak walau tak terlalu
hebat untuk gagal. Pilihan logis adalah memberi mereka peluang memerintah
sembari menitipkan dua agenda: amannya hubungan Mesir dengan Israel dan
penanggulangan terorisme. Bagi kaum muda Tahrir, kedua agenda itu berhasil
dijalankan Mursi dengan tangkasnya.
Konstelasi global
ini penting disebut meski bukan faktor terpenting kejatuhan Mursi. Sejak Mursi
memerintah, semua mafhum bahwa warisan otokrasi Mesir jauh lebih parah dari
Tunisia, bahkan Libya. Yang paling mencolok misalnya misalnya, 40% penduduk
masih buta huruf. Authoritarian legacy yang parah itulah yang
memungkinkan faksi-faksi politik paling konservatif, seperti Ikhwan dan Salafi,
naik tahta. Namun kekuasaan tak selamanya berkah, bahkan dapat menjadi kutukan
dalam situasi-situasi yang payah. Rasa gentar, sakralitasasi, dan ketaatan
rakyat Mesir terhadap penguasanya kini sudah tak ada lagi.
Saat memerintah,
Presiden Mursi tak lagi diperkenankan berdalih tentang buruknya warisan era
otokrasi. Terlebih, kekuasaan ini juga dipandang sebagai doa mustajab para
pejuang Ikhwan dari balik jeruji penjara (Shadi Hamid, 2012). Namun karena
perubahan menaruh ekspektasi tinggi, minimnya visi adalah bom waktu yang bisa
meledak kapan saja. Dan Mursi membuat begitu banyak blunder sehingga dijuluki
sebagai sosok paling piawai dalam seni menghimpun musuh (Fawaz Gerges, 2013).
Arogansi dan ketidakmampuan menjalin koalisi justru menumpuk tanggungjawab era
transisi di pundak Ikhwan yang sesungguhnya lemah.
Kesediaan dan
kepandaian berbagi tanggungjawab (power sharing) itulah yang
membedakan Ikwan Mesir dengan an-Nahdlah Tunisia. Di Tunisia, an-Nahdlah punya
sosok Rashid al-Ghannushi yang dianggap sedikit berkaliber Nelson Mandela (Noah
Feldman dan Fareed Zakaria, 2013). Sadar akan beratnya tantangan memerintah,
al-Ghannushi justru memelopori rekonsiliasi nasional dengan konsesi-konsesi
yang menyakitkan. Dia misalnya meyakinkan elit partai dan konstituennya untuk
tidak bermain-main dengan isu syariah dan atau mengutak-utik Undang-Undang
Perkawinan Tunisia yang sangat progresif.
Itulah yang tak
dilakukan Mursi dan Ikhwani. Relatif mulusnya langkah Tunisia menjalankan masa
transisi, antara lain, karena sudah terjalinnya kesepahaman antar berbagai
faksi politik Tunisia. Di Mesir, tingginya polarisasi dan kecurigaan antar elit
politik justru mengukuhkan persepsi bahwa demokrasi bukanlah the only
game in town dan kudeta absah saja untuk membendung munculnya apa yg
disebut Abdurrahman al-Qardlawi sebagai firaun-firaun belia.
Ironisnya, kudeta
justru memupus peluang Mesir untuk “menghukum” inkompetensi Ikhwan pada pemilu
berikutnya. Ikhwan kini bisa berdalih bahwa mereka bukannya gagal dalam uji
coba “Islam adalah solusi”, melainkan dirongrong konspirasi tentara sebagai
pemegang mandat pokok Amerika. Narasi palsu ini akan berdengung dalam waktu
yang lama dan itu sulit disanggah kaum muda Tahrir. Fakta bahwa Gedung Putih
sampai kini enggan menyebut ini sebagai kudeta memberi dalih tambahan bagi Ikhwan
untuk berapologia.
Dampak krisis Mesir
ini hampir pasti meradikalisasi kelompok Ikwan. Tapi yang paling mematikan
adalah krisis legitimasi politik yang akan berkepanjangan. Pemerintahan interim
pasca-kudeta takkan mudah menyusun roadmap transisi tanpa
tercapainya kompromi antar semua faksi politik yang bertikai. Dan jika kudeta
diniatkan untuk menyingkiran Ikhwan dari dunia politik, itu tentu hanya ilusi.
Saya yakin, jika dalam waktu dekat Ikhwan kembali ikut pemilu, mereka akan
tampil sebagai pemenang lagi.
Jika itu yang
terjadi, Mesir akan kembali lagi ke titik nol demokrasi, bahkan bisa balik ke
otokrasi. Kemajuan demokrasi Mesir hanya akan tercapai bila pemilu menghasilkan
kekuatan yang makin imbang, atau Ikhwan tampil dengan kubu reformis yang
menggantikan faksi pragmatisme konservatif saat ini. Ikhwan perlu meninggalkan
romantisisme islamis Turki era Erbakan, lalu beranjak ke reformisme ala Erdogan.
Manuver tentara tentu penting juga dalam menentukan nasib demokrasi Mesir ke
depan. Tapi yang lebih vital lagi adalah kemampuan kekuatan-kekuatan non-Ikhwan
dan non-Salafi dalam menjungkalkan mereka lewat korak suara. Sungguh misi yang
tidak mudah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar