|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan mengamanatkan kemandirian pangan. Kemandirian pangan
didefinisikan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang
beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan
yang cukup sampai tingkat perseorangan. Tentu dengan memanfaatkan potensi
sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal.
Yang dimaksud pangan dalam UU
tersebut adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang
dikonsumsi manusia. Termasuk di dalamnya bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan,
dan pembuatan makanan atau minuman.
Mengacu pada definisi pangan di
atas, khusus untuk produk pertanian, jenis-jenis pangan antara lain beras,
jagung, kedelai, daging sapi, gula, sayuran, buah-buahan, cabai, bawang merah,
dan bawang putih.
Dalam konteks kemandirian pangan,
komoditas seperti disebutkan di atas harus diproduksi di dalam negeri. Bahkan,
bangsa/negara tidak sekadar memproduksi pangan yang cukup, tetapi menjamin
pemenuhan kebutuhan sampai tingkat perseorangan.
Apa yang terjadi sekarang? Negara
tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan warganya dari produksi dalam negeri.
Impor pangan Indonesia terus meningkat, baik terkait nilai maupun volume.
Pada tahun 2008/2009, Indonesia
sama sekali tidak mengimpor beras. Tiga empat tahun kemudian Indonesia
mengimpor 1 juta ton beras dari Vietnam dan Thailand.
Produksi kedelai pada tahun 1992
mencapai 1,9 juta ton, tetapi pada tahun 2013 hanya 800.000 ton. Setiap tahun
Indonesia harus mengimpor 2 juta ton kedelai untuk bahan baku tahu-tempe dan
industri berbasis kedelai.
Tahun lalu, impor jagung sebesar 3
juta ton. Tahun 2012, impor bawang putih 410.100 ton senilai 239,4 juta dollar
AS. Impor bawang merah rata-rata 100.000 ton per tahun.
Impor susu 75 persen dari kebutuhan
dalam negeri dan terus naik. Daging sapi impor 80.000 ton setara daging dan
masih ada tambahan 20.000 ton lagi.
Buah-buahan juga masih banyak yang
diimpor. Begitu pula sayuran, termasuk cabai. Gandum juga sepenuhnya impor.
Total impor pangan Indonesia pada
tahun 2012 mencapai Rp 81,5 triliun dan akan terus meningkat seiring
dengan pertambahan penduduk serta peningkatan pendapatan.
Indonesia memang masih
mengimpor grand parent stock atau
induk ayam pedaging dan petelur. Namun, setidaknya kebutuhan daging dan telur
ayam mampu dipenuhi dari produksi dalam negeri. Bahkan, dalam kondisi tertentu,
pasokan berlebih. Ada nilai tambah yang kita dapat di sana.
Dengan konsumsi pangan yang terus
meningkat, baik sebagai dampak pertambahan jumlah penduduk maupun dampak
positif adanya pertumbuhan kelas menengah-atas di Indonesia, kebutuhan Indonesia terhadap pangan
impor terus meningkat.
Utopia
kemandirian
Ada keinginan kuat dari para
pemangku kepentingan dan kita untuk untuk memproduksi pangan yang cukup.
Swasembada pangan terus disuarakan.
Menteri Pertanian Suswono
menerapkan program swasembada dan swasembada berkelanjutan. Sasarannya adalah
melanjutkan swasembada beras dan mendorong pencapaian swasembada daging sapi,
kedelai, gula, dan daging ayam.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
juga mengamanatkan perlunya mencapai surplus produksi beras 10 juta ton pada
tahun 2014 yang kemudian diundur menjadi tahun 2015. Hingga saat ini tidak satu
pun dari target swasembada itu yang tercapai.
Ratusan triliun rupiah uang negara
disalurkan. Anggaran peningkatan produksi pangan terus digelontorkan. Anggaran
sektor pertanian dilipatgandakan.
Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang?
Alokasi dana meningkat, impor pangan juga meningkat. Wakil Presiden Boediono
bahkan mengkritik ketidakefektifan penggunaan anggaran Kementerian Pertanian.
Itu baru anggaran di sektor
pertanian. Belum anggaran pertanian secara keseluruhan di sektor-sektor lainnya
yang tidak efektif penggunaannya dan bocor di sana-sini.
Alih-alih swasembada atau
kemandirian pangan tercapai, harga pangan malah melonjak. Saat ini harga daging
sapi bertengger di kisaran Rp 88.000 per kilogram (kg) dari sebelumnya di atas Rp
100.000 per kg. Jagung mencapai Rp 3.200 per kg dan gula sempat tembus Rp
13.000 per kg. Pemerintah pun harus turun tangan dan melakukan intervensi
dengan dana yang tidak sedikit. Belum lagi cabai, bawang merah, serta bawang
putih yang harganya melonjak dan menekan inflasi.
Persoalan fundamental
Masalah pangan merupakan persoalan
mendasar. Saking pentingnya gejolak pada harga pangan akan langsung berdampak
terhadap inflasi.
Karena masalah pangan merupakan
persoalan mendasar, penyelesaiannya juga harus dengan cara yang mendasar juga.
Pemerintah bukannya tidak paham
atau tidak tahu persoalan mendasar pangan nasional. Sudah sangat paham.
Misalnya terkait lahan. Konversi lahan pertanian/ pangan terus terjadi setiap
saat. Bahkan, alih konversi lahan mencapai 100.000 per tahun.
Hingga saat ini konversi lahan
tidak ditangani serius. Akibatnya, lahan pertanian, khususnya sawah, terus
menyusut. Pemerintah sangat bisa menghentikan konversi, tetapi tidak dilakukan.
Pelanggaran aturan soal konversi dibiarkan. UU Perlindungan Lahan Pertanian
Berkelanjutan tidak bisa diterapkan.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan
melalui peningkatan produksi, perlu tambahan lahan baru. Pemerintah sudah tahu
itu. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bahkan menyuarakan pentingnya reforma agraria, tetapi tidak
dijalankan.
Pemanfaatan lahan telantar tidak
dilakukan meski pemerintah dengan kewenangannya sesungguhnya bisa melakukan.
Revitalisasi industri gula dibiarkan terbengkalai. Aturan dibuat tumpang tindih
dan dipersulit sendiri oleh pemerintah sehingga revitalisasi macet.
Untuk meningkatkan produksi daging
sapi perlu pengembangan peternakan skala luas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan
Nusa Tenggara Barat. Itu juga tidak dilakukan sungguh-sungguh. Akibatnya, impor
daging sapi terus naik, populasi sapi potong diprediksi merosot tajam.
Pemerintah tidak pernah secara sungguh-sungguh menjadikan usaha ternak sapi
sebagai sumber pendapatan masyarakat, tetapi sekadar tabungan.
Di NTT tersedia 1 juta hektar lahan
pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya jagung hibrida. Masyarakat NTT
ingin menanam jagung hibrida, tetapi pemerintah tidak mau mengembangkannya.
Padahal dengan menanam jagung hibrida seluas 1 juta hektar, ada tambahan
produksi jagung 8 juta ton per tahun. Industri pakan tidak perlu impor,
pendapatan masyarakat NTT bisa melonjak. Namun, pemerintah tidak tertarik.
Peningkatan produksi kedelai juga
terkendala lahan. Akan tetapi, pemerintah lagi-lagi tidak mau merealisasikan.
Potensi peningkatan produksi pangan ada, berbagai peluang tersedia, tetapi
pemerintah tidak pernah serius melakukannya.
Kemandirian pangan hanya omong
kosong. Pangan hanya dijadikan proyek. Para penentu kebijakan dalam mewujudkan
kemandirian pangan di Indonesia lebih diuntungkan dengan masuknya pangan impor
dan proyek kemandirian pangan yang tanpa akhir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar