|
KORAN
SINDO, 02 Juli 2013
Counting down di kantor saya
menunjukkan 477 hari waktu yang tersisa menjelang 20 Oktober 2014. Kalender
yang sengaja kami buat untuk mengingatkan kerja keras, sprint, harus dilakukan untuk mendorong perbaikan, tanpa henti
menorehkan perjuangan antikorupsi.
Minggu (30/6) malam, saya bertemu dengan salah satu tokoh politik yang juga pengusaha senior serta seorang pakar dan guru besar ilmu hukum. Kami kebetulan datang dalam resepsi pernikahan putra dari Ibu Sri Mulyani. Undangan yang datang tidak banyak sehingga kami punya kesempatan berbincang sambil menikmati hidangan yang ada. Tercetus tiga isu strategis yang sempat kami diskusikan hangat.
Pertama, soal pengaturan bisnis rokok; kedua, pentingnya etika dalam bernegara, di samping soal hukum semata; dan ketiga, soal lumpuhnya penegakan hukum. Pembicaraan pertama mengenai perang melawan rokok. Ini tentu isu yang sensitif secara politik dan tentunya secara ekonomi. Bukan hanya tipikal Indonesia sebenarnya, tetapi juga di banyak negara, persoalan pembatasan rokok selalu menjadi isu panas.
Di kita, pertarungan soal rokok menjadi isu yang kembali menghangat seiring dengan bergulirnya RUU yang mengatur tata niaga ataupun pembatasannya. Saya pernah ditawari menjadi bintang iklan antirokok. Saya tentu saja setuju meski memilih untuk wait and see. Posisi sebagai wakil menteri tidak menghalangi saya untuk meneriakkan lantang kebijakan antirokok, tetapi kepada Bung Imam Prasodjo yang memberikan tawaran saya sampaikan, ”Saya siap, tetapi mungkin dicoba figur lain dulu.”
Bagaimanapun, selaku wakil menteri, saya tetap harus menyampaikan rencana tersebut kepada menteri dan tentu saja Presiden. Dalam satu kesempatan, sehubungan dengan regulasi bisnis rokok tersebut, Presiden memberikan arahan agar tetap mencarikan solusi terbaik dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang concern dengan dampak buruk rokok sekaligus tidak melupakan beberapa kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari tembakau.
Pertarungan ketat soal pembatasan rokok tergambarkan jelas dalam ikhtiar almarhumah Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang hingga akhir hayat beliau berpegang teguh atas perlunya pengaturan yang jauh lebih ketat dalam bisnis rokok. Upaya yang diteruskan dengan tidak kalah gigih oleh menteri kesehatan yang sekarang dan banyak tokoh yang melihat alangkah berbahayanya kecanduan rokok. Pertarungan itu akan terus ketat, hangat, dan tidak jarang ajaib.
Seajaib dengan pernah hilangnya norma-norma yang membatasi rokok di dalam UU Kesehatan. Maka, dalam 477 hari waktu kami yang tersisa, menjelang 20 Oktober 2014, perjuangan untuk melahirkan aturan soal rokok yang bermanfaat bagi bangsa ini akan menjadi pertaruhan yang sangat penting. Kalau ini diibaratkan sebagai pertarungan, kalah sudah jelas bukan pilihan. Saya ingat kata-kata Bung Imam Prasodjo, tanpa bermaksud mengecilkan bahaya narkoba tentunya, dia mengatakan rokok sudah merambah banyak sekali warga kita, termasuk anak-anak di bawah umur yang kecanduan.
Daya rusaknya tentu juga sangat mengkhawatirkan. Isu kedua disampaikan dengan penuh semangat oleh pakar dan guru besar ilmu hukum, soal pentingnya membangun infrastruktur rule of ethics. Saya sangat setuju. Rule of law kita sudah jauh lebih baik dibandingkan pra-Reformasi 1998, tetapi rule of ethics masih perlu banyak pembenahan. Maka, mindset dan budaya taat etika juga harus ditegakkan, bukan hanya taat hukum.
Nah, menurut profesor itu, kita butuh pengadilan etika yang lebih tersistem, untuk mengadili persoalan pelanggaran etika yang marak dan akan sangat lambat serta menguras energi jika dilakukan dengan pendekatan hukum semata. Saya ingat kutipan yang cukup terkenal dari Ronald D Dworkin, ”Moral Principle is the foundation of law.” Tepat sekali, etika-moral adalah fondasi dari tegaknya hukum.
Penegakan hukum tidak akan dapat dilakukan tanpa dasar fondasi etika yang kokoh. Karena itu, UUD 1945 menegaskan pentingnya lembaga Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim. Bayangkan, yang diawasi adalah perilaku. Itu artinya standar etika seorang hakim harus sangat-sangat tinggi. Perihal penegakan hukum itu pulalah yang menjadi pembicaraan singkat tapi serius saya dengan tokoh politik dan pengusaha senior di acara resepsi Mbak Sri Mulyani, tokoh antikorupsi yang saya kagumi.
Dia mengatakan, semua persoalan jika diperas jadi satu intinya ada pada penegakan hukum. I cannot agree more. Itu sebabnya lebih dari puluhan tahun, sejak menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM, saya memfokuskan diri pada upaya menghilangkan praktik mafia peradilan dari dunia hukum kita. Pada 30 April 2000, saya dengan beberapa rekan di Yogya, termasuk mengajak Pak Busyro Muqoddas, Mas Bambang Widjojanto dan Pak Moh Mahfud MD, mendirikan Indonesian Court Monitoring.
LSM yang kami dedikasikan untuk bergerak di bidang pemberantasan mafia peradilan. Ketika bergabung dengan Istana, pemikiran antimafia peradilan itu pula yang saya bawa dan perjuangkan hingga Presiden SBY menyetujui dibentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Dalam waktu kerja dua tahun, target yang kami canangkan tidak banyak. Saya katakan Satgas harus mampu membangun kesadaran dan ”kemarahan” publik kepada praktik haram mafia peradilan.
Dengan kewenangan terbatas, lebih pada advokasi, tanpa eksekusi, kesadaran itu kami bangun melalui pengungkapan beberapa kasus mafia hukum. Dalam konteks kekinian, penegakan hukum yang beretika artinya hilangnya praktik judicial corruption, enyahnya praktik mafia peradilan. Itu sebabnya KPK tidak boleh lemah, apalagi dihilangkan. Karena KPK(bersama PPATK dan LPSK) adalah lembaga-lembaga yang diberi amanat untuk menjaga etika para penegak hukum agar tidak terjebak dalam kubangan praktik mafia hukum. KPK sebagai eksekutor, PPATK sebagai supplier data transaksi, dan LPSK sebagai pelindung bagi para pelapor dan pelaku yang bekerja sama.
Hari ini, Selasa, 2 Juli di Denpasar, saya kembali akan menutup satu acara LPSK yang menegaskan arti pentingnya perlindungan bagi justice collaborator (pelaku yang bekerja sama). Satu konsep perlindungan yang tidak bisa ditawar lagi. Karena penegakan hukum yang koruptif pastilah kolutif. Terdapat jalinan saling melindungi di antara para pelakunya. Maka, pecah kongsi adalah salah satu jalan paling efektif untuk memecah praktik mafioso dalam penegakan hukum ataupun dalam perilaku korupsi lainnya.
Dan, di dalam pecah kongsi tersebut, perlindungan bagi yang keluar dari jejaring mafioso harus dipastikan. Karena taruhannya bukan hanya harta, tetapi tidak jarang nyawa. Akhirnya, di pesta sederhana ananda Mbak Ani, saya kembali diingatkan bahwa perjuangan masih panjang. Mulai dari masalah menghadapi Goliath bisnis rokok, penguatan etika bernegara—bukan hanya hukum––hingga soal menguatkan lagi penegakan hukum tanpa praktik mafia peradilan.
Waktu kami di pemerintahan makin pendek, tinggal 477 hari menjelang 20 Oktober 2014. Harus diakui, tidak cukup untuk menyelesaikan semua agenda besar di atas. Namun kerja telah dan terus harus dilakukan. Keyakinan harus terus diteguhkan bahwa upaya baik pasti akan menghadirkan kemenangan, bagi Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Minggu (30/6) malam, saya bertemu dengan salah satu tokoh politik yang juga pengusaha senior serta seorang pakar dan guru besar ilmu hukum. Kami kebetulan datang dalam resepsi pernikahan putra dari Ibu Sri Mulyani. Undangan yang datang tidak banyak sehingga kami punya kesempatan berbincang sambil menikmati hidangan yang ada. Tercetus tiga isu strategis yang sempat kami diskusikan hangat.
Pertama, soal pengaturan bisnis rokok; kedua, pentingnya etika dalam bernegara, di samping soal hukum semata; dan ketiga, soal lumpuhnya penegakan hukum. Pembicaraan pertama mengenai perang melawan rokok. Ini tentu isu yang sensitif secara politik dan tentunya secara ekonomi. Bukan hanya tipikal Indonesia sebenarnya, tetapi juga di banyak negara, persoalan pembatasan rokok selalu menjadi isu panas.
Di kita, pertarungan soal rokok menjadi isu yang kembali menghangat seiring dengan bergulirnya RUU yang mengatur tata niaga ataupun pembatasannya. Saya pernah ditawari menjadi bintang iklan antirokok. Saya tentu saja setuju meski memilih untuk wait and see. Posisi sebagai wakil menteri tidak menghalangi saya untuk meneriakkan lantang kebijakan antirokok, tetapi kepada Bung Imam Prasodjo yang memberikan tawaran saya sampaikan, ”Saya siap, tetapi mungkin dicoba figur lain dulu.”
Bagaimanapun, selaku wakil menteri, saya tetap harus menyampaikan rencana tersebut kepada menteri dan tentu saja Presiden. Dalam satu kesempatan, sehubungan dengan regulasi bisnis rokok tersebut, Presiden memberikan arahan agar tetap mencarikan solusi terbaik dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang concern dengan dampak buruk rokok sekaligus tidak melupakan beberapa kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari tembakau.
Pertarungan ketat soal pembatasan rokok tergambarkan jelas dalam ikhtiar almarhumah Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang hingga akhir hayat beliau berpegang teguh atas perlunya pengaturan yang jauh lebih ketat dalam bisnis rokok. Upaya yang diteruskan dengan tidak kalah gigih oleh menteri kesehatan yang sekarang dan banyak tokoh yang melihat alangkah berbahayanya kecanduan rokok. Pertarungan itu akan terus ketat, hangat, dan tidak jarang ajaib.
Seajaib dengan pernah hilangnya norma-norma yang membatasi rokok di dalam UU Kesehatan. Maka, dalam 477 hari waktu kami yang tersisa, menjelang 20 Oktober 2014, perjuangan untuk melahirkan aturan soal rokok yang bermanfaat bagi bangsa ini akan menjadi pertaruhan yang sangat penting. Kalau ini diibaratkan sebagai pertarungan, kalah sudah jelas bukan pilihan. Saya ingat kata-kata Bung Imam Prasodjo, tanpa bermaksud mengecilkan bahaya narkoba tentunya, dia mengatakan rokok sudah merambah banyak sekali warga kita, termasuk anak-anak di bawah umur yang kecanduan.
Daya rusaknya tentu juga sangat mengkhawatirkan. Isu kedua disampaikan dengan penuh semangat oleh pakar dan guru besar ilmu hukum, soal pentingnya membangun infrastruktur rule of ethics. Saya sangat setuju. Rule of law kita sudah jauh lebih baik dibandingkan pra-Reformasi 1998, tetapi rule of ethics masih perlu banyak pembenahan. Maka, mindset dan budaya taat etika juga harus ditegakkan, bukan hanya taat hukum.
Nah, menurut profesor itu, kita butuh pengadilan etika yang lebih tersistem, untuk mengadili persoalan pelanggaran etika yang marak dan akan sangat lambat serta menguras energi jika dilakukan dengan pendekatan hukum semata. Saya ingat kutipan yang cukup terkenal dari Ronald D Dworkin, ”Moral Principle is the foundation of law.” Tepat sekali, etika-moral adalah fondasi dari tegaknya hukum.
Penegakan hukum tidak akan dapat dilakukan tanpa dasar fondasi etika yang kokoh. Karena itu, UUD 1945 menegaskan pentingnya lembaga Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim. Bayangkan, yang diawasi adalah perilaku. Itu artinya standar etika seorang hakim harus sangat-sangat tinggi. Perihal penegakan hukum itu pulalah yang menjadi pembicaraan singkat tapi serius saya dengan tokoh politik dan pengusaha senior di acara resepsi Mbak Sri Mulyani, tokoh antikorupsi yang saya kagumi.
Dia mengatakan, semua persoalan jika diperas jadi satu intinya ada pada penegakan hukum. I cannot agree more. Itu sebabnya lebih dari puluhan tahun, sejak menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM, saya memfokuskan diri pada upaya menghilangkan praktik mafia peradilan dari dunia hukum kita. Pada 30 April 2000, saya dengan beberapa rekan di Yogya, termasuk mengajak Pak Busyro Muqoddas, Mas Bambang Widjojanto dan Pak Moh Mahfud MD, mendirikan Indonesian Court Monitoring.
LSM yang kami dedikasikan untuk bergerak di bidang pemberantasan mafia peradilan. Ketika bergabung dengan Istana, pemikiran antimafia peradilan itu pula yang saya bawa dan perjuangkan hingga Presiden SBY menyetujui dibentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Dalam waktu kerja dua tahun, target yang kami canangkan tidak banyak. Saya katakan Satgas harus mampu membangun kesadaran dan ”kemarahan” publik kepada praktik haram mafia peradilan.
Dengan kewenangan terbatas, lebih pada advokasi, tanpa eksekusi, kesadaran itu kami bangun melalui pengungkapan beberapa kasus mafia hukum. Dalam konteks kekinian, penegakan hukum yang beretika artinya hilangnya praktik judicial corruption, enyahnya praktik mafia peradilan. Itu sebabnya KPK tidak boleh lemah, apalagi dihilangkan. Karena KPK(bersama PPATK dan LPSK) adalah lembaga-lembaga yang diberi amanat untuk menjaga etika para penegak hukum agar tidak terjebak dalam kubangan praktik mafia hukum. KPK sebagai eksekutor, PPATK sebagai supplier data transaksi, dan LPSK sebagai pelindung bagi para pelapor dan pelaku yang bekerja sama.
Hari ini, Selasa, 2 Juli di Denpasar, saya kembali akan menutup satu acara LPSK yang menegaskan arti pentingnya perlindungan bagi justice collaborator (pelaku yang bekerja sama). Satu konsep perlindungan yang tidak bisa ditawar lagi. Karena penegakan hukum yang koruptif pastilah kolutif. Terdapat jalinan saling melindungi di antara para pelakunya. Maka, pecah kongsi adalah salah satu jalan paling efektif untuk memecah praktik mafioso dalam penegakan hukum ataupun dalam perilaku korupsi lainnya.
Dan, di dalam pecah kongsi tersebut, perlindungan bagi yang keluar dari jejaring mafioso harus dipastikan. Karena taruhannya bukan hanya harta, tetapi tidak jarang nyawa. Akhirnya, di pesta sederhana ananda Mbak Ani, saya kembali diingatkan bahwa perjuangan masih panjang. Mulai dari masalah menghadapi Goliath bisnis rokok, penguatan etika bernegara—bukan hanya hukum––hingga soal menguatkan lagi penegakan hukum tanpa praktik mafia peradilan.
Waktu kami di pemerintahan makin pendek, tinggal 477 hari menjelang 20 Oktober 2014. Harus diakui, tidak cukup untuk menyelesaikan semua agenda besar di atas. Namun kerja telah dan terus harus dilakukan. Keyakinan harus terus diteguhkan bahwa upaya baik pasti akan menghadirkan kemenangan, bagi Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar