Selasa, 04 Desember 2012

Welcome Negara Palestina


Welcome Negara Palestina
Chusnan Maghribi ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 03 Desember 2012


PERJUANGAN bangsa Palestina untuk mewujukan cita-cita mendirikan sebuah negara Pelestina merdeka tak pernah kenal lelah. Secara militer, baru saja publik dunia untuk kali ke sekian menyaksikan kegigihan perjuangan Palestina (Hamas) di Jalur Gaza melawan agresi militer Israel selama sepekan (14-21/11). Perang sepekan berakhir dengan perjanjian gencatan senjata yang oleh sejumlah pihak dipandang sebagai ’’kemenangan’’ Palestina. Argumen itu mendasarkan pada salah satu butir perjanjian yang menyebutkan Israel bersedia melonggarkan blokade atas Gaza.

Lalu, secara politik, sepanjang November 2012 pemerintah Palestina di bawah Presiden Mahmoud Abbas (Abu Mazen) berjuang all-out untuk meningkatkan status Palestina di PBB: dari pemantau tetap menjadi negara nonanggota (non-member state). Perjuangan ini berbuah manis seiring pengesahan Resolusi PBB Nomor 67/A/L28 dalam sidang paripurna Majelis Umum (MU) PBB pada 29 November 2012, yang menyebutkan Palestina sah sebagai negara bukan-anggota di PBB. Dengan demikian, seperti Vatikan, Palestina di PBB sebagai pengamat non-member. Palestina resmi lahir sebagai negara yang diakui PBB. Inilah kemenangan diplomasi terpenting sejauh ini.

Pengesahan itu dicapai lewat voting dengan perbandingan suara 138 negara anggota mendukung, 9 menolak, dan 41 negara abstain.  Dukungan tersebut didominasi negara berkembang dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun, lumayan banyak  negara ang-gota Uni Eropa berpartisipasi mendukung. Di antaranya Prancis, Austria, Belgia, Finlandia, Irlandia, Siprus, Yunani, Spanyol, Malta, Slovenia, Luxemburg, Norwegia, Portugal, Swiss, dan Denmark.

Pengakuan tersebut menimbulkan dampak hukum dan politik. Di ranah hukum, pengakuan itu membuat Palestina secara de jure sah disebut negara di tengah pergaulan komunitas internasional. Dalam kegiatan resmi seperti konferensi Gerakan Nonblok misalnya penyebutan negara Palestina tak bisa lagi dipersoalkan. Palestina bisa leluasa bergabung dengan organisasi regional/ global mana pun, termasuk Mahkamah Kriminal Internasional. Di Mahkamah Internasional tak ada halangan lagi baginya menyeret para pihak di Israel yang pernah melakukan kejahatan perang atas Palestina, untuk diadili.

Fakta itu diperkirakan membuat para pemangku kebijakan garis keras di Tel Aviv berpikir seribu kalí untuk memerintahkan pemukim Yahudi ataupun aparat keamanan kembali bertindak sewenang-wenang terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, baik dengan represivitas sehari-hari semisal pemukulan dan penyiksaan maupun agresi masif sebagaimana terjadi 14-21 November 2012 dan akhir Desember 2008 hingga Januari 2009 lalu. Inilah salah satu dampak politik dari pengakuan tadi.

Donatur Lain

Apakah perjuangan Palestina ke depan akan lebih ringan? Tentu saja tidak. Perjuangan mereka masih tetap berat. Selain militer Israel masih bercokol di Tepi Barat, dan untuk mengakhirinya hampir pasti harus dilakukan lewat negosiasi, bukan melalui perang karena kemampuan militer Palestina jauh di bawah Israel. Sementara, perundingan Palestina-Israel diyakini tak akan mudah dilakukan akibat  (berdasarkan pengalaman selama ini) objek perundingan kompleks, rumit, sulit, dan sensitif (termasuk isu Jerusalem), serta kedua pihak sulit memberi konsesi.

Juga, perjuangan Palestina tidak ditopang kemampuan ekonomi dan keuangan memadai. Perekonomian Palestina sejauh ini lebih mengandalkan bantuan asing ketimbang potensi domestik. Bantuan asing yang paling diandalkan adalah bantuan keuangan dari Amerika Serikat (AS).

Sejak Perjanjian Damai Oslo ditandatangani pada 13 September 1993, pemerintah AS sudah mengucurkan dana bantuan kepada Palestina 3,5 miliar dolar AS, euivalen dengan Rp 33,7 triliun. Saat ini Kongres AS menahan 200 juta dolar (Rp 1,9 triliun) yang mestinya diberikan kepada Palestina tahun ini.

Celakanya, bantuan tersebut berpotensi dihentikan jika status Palestina di PBB ditingkatkan menjadi negara bukan anggota. Juru bicara Kemenlu AS Victoria Nuland mengatakan pemerintah AS akan menghentikan bantuan finansialnya apabila Palestina memperoleh pengakuan sebagai negara bukan anggota di PBB.

Amerika menginginkan kemerdekaan negara Palestina dicapai bukan lewat langkah unilateral di PBB melainkan via perundingan langsung dengan Israel sebagaimana diprakarsainya sejak Putaran Madrid 1991. Sialnya, perundingan Palestina-Israel sejak 2010 menemui jalan buntu akibat pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat terus berlangsung dan Tel Aviv cenderung menolak membahas masa depan status Jerusalem Timur.  

Apabila AS konsisten dengan ancamannya, pemerintahan di bawah Presiden Mahmoud Abbas bisa kalang kabut membiayai perawatan Negara ’’Bayi’’ Palestina. Presiden Abbas bisa kembali kesulitan menggaji ribuan pegawai negeri misalnya. Untuk mengatasinya tentu ia harus mencari donatur tetap lain, di samping AS. Negara-negara petrodolar di kawasan Teluk, semisal Arab Saudi dan Kuwait diharapkan mau berperan menjadi donatur tetap bagi Palestina bila AS benar-benar menghentikan bantuan keuangannya kepada negara baru tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar