DPR, BPK, dan
Hantu Century
Syamsuddin Haris ; Kepala
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
SINDO,
03 Desember 2012
Apakah kasus
bailout atas Bank Century akan memakan korban baru setelah Sri Mulyani
Indrayati, mantan menteri keuangan, dipaksa “lengser” dari Kabinet Indonesia
Bersatu jilid II?
Adakah peluang bergulirnya hak menyatakan pendapat di DPR? Sejak Panitia Khusus Angket Century dibentuk DPR pada awal Desember 2009, kasus pemberian dana talangan atas bank bermasalah tersebut tak kunjung tuntas. Puluhan orang telah diundang pansus untuk memberi keterangan di DPR, sejumlah orang lainnya sudah diperiksa KPK, namun kasus besar yang menghebohkan di awal periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut terus menggantung. Kasus Century bahkan cenderung berkembang menjadi komoditas politik bagi berbagai pihak sesuai kepentingan politik masing-masing. Semula beberapa parpol di DPR sepakat menyerahkan penyelesaian kasus Century,baik tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, maupun tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab, melalui jalur hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun belakangan, Abraham Samad menyatakan KPK tidak memiliki otoritas untuk memeriksa Wakil Presiden Boediono, mantan gubernur Bank Indonesia, yang diduga melakukan pelanggaran saat mengucurkan dana haram bagi Century. Di sisi lain, beberapa politisi parpol di DPR masih berusaha mengusulkan penggunaan hak menyatakan pendapat jika KPK “tidak berani” memeriksa Boediono. Itu artinya, balik lagi ke proses politik, padahal sudah berhenti dengan pembentukan pansus dan juga Tim Pengawas (Timwas) Century yang tugasnya memantau implementasi rekomendasi yang pernah dikeluarkan oleh Pansus Century. Karena itu, agak aneh juga jika kasus Century dikembalikan lagi ke DPR. Antara Politik dan Hukum Secara teoretis, pada dasarnya penyelesaian setiap kasus besar seperti skandal bailout Bank Century dapat diselesaikan melalui dua jalur, proses politik di satu pihak,dan proses hukum di pihak lain. Proses politik dilalui apabila suatu kasus muncul akibat kesalahan kebijakan, sedangkan proses hukum harus ditempuh jika ada pelanggaran hukum, baik dalam bentuk tindak pidana korupsi, pidana umum, maupun pidana perbankan. Karena itu, proses politik dan proses hukum tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain.Proses hukum bisa saja merupakan kelanjutan dari proses politik jika suatu kasus mencakup kesalahan kebijakan,sekaligus pelanggaran hukum, atau kesalahan kebijakan menghasilkan pelanggaran hukum. Terkait skandal Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan sikap politik bahwa pemberian dana talangan bagi Century dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian nasional di tengah ancaman krisis keuangan global pada 2008. Namun melalui pemungutan suara DPR,menyatakan pemerintahanSBY bersalah serta menyebut mantan Gubernur BI Boediono dan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani sebagai pejabat paling bertanggung jawab dalam skandal tersebut. Sebenarnya secara politik kasus Century dapat dianggap ”selesai” karena presiden dan DPR telah menyatakan sikap, meskipun berbeda dan bahkan saling berlawanan. Konstelasi politik di DPR tidak memungkinkan terwujudnya keinginan sebagian politisi untuk melanjutkan penyelesaian proses politik pada tahap penggunaan hak menyatakan pendapat dalam rangka ”pengadilan” bagi Boediono. Tata Tertib DPR mengatur untuk kuorum pengambilan keputusan DPR diperlukan kehadiran dua pertiga (2/3) dari seluruh anggota dewan. Sementara untuk menyetujui hak pernyataan pendapat tersebut diperlukan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota yang hadir dalam Rapat Paripurna DPR. Sementara itu, Pasal 7B UUD 1945 mengatur proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden yang sangat sulit, sehingga hampir mustahil diwujudkan karena penilaian atas “pelanggaran hukum” yang dilakukan oleh presiden/wakil presiden merupakan otoritas Mahkamah Konstitusi. Belum lagi soal kriteria pelanggaran hukum oleh presiden/wakil presiden yang harus berupa “pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela”, sebagaimana diamanatkan Pasal 7A konstitusi kita. Dukungan Politik Oleh karena itu, terkait pelanggaran hukum, dukungan dan kepercayaan perlu diberikan sepenuhnya kepada KPK yang saat ini masih terus menyidik skandal bank yang kini bernama Bank Mutiara tersebut. Beberapa waktu lalu KPK mengumumkan tersangka baru kasus Century, yakni BM dan SCF, dua orang deputi BI yang diduga terlibat dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Century. Apakah KPK hanya berhenti pada pejabat setingkat deputi, barangkali sangat bergantung pada seberapa besar dukungan politik bagi komisi antikorupsi ini. Dalam kaitan ini, fokus para politisi parpol di Senayan semestinya adalah pemberian dukungan politik bagi KPK, bukan mengganggu, menghambat, dan bahkan mencoba mempreteli kekuasaan KPK. Dukungan politik DPR dan para politisi parpol terhadap KPK sudah tentu tidak cukup dengan pernyataan publik belaka, tetapi juga dukungan dalam bentuk kebijakan yang benar-benar berpihak pada agenda pemberantasan korupsi. Dilema para politisi parpol di DPR kita saat ini adalah, di satu pihak menuntut KPK bekerja serius dalam membongkar skandal Century, namun di pihak lain dengan berbagai cara hendak mempreteli berbagai kewenangan yang dimiliki KPK. Terakhir, Komisi III DPR mengundang para mantan penyidik KPK tanpa berupaya mengonfirmasi keterangan para penyidik dari komisioner lembaga antikorupsi tersebut. Karena itu, sebelum “hantu” Century menelan korban yang salah sasaran, ada baiknya kita memberi kesempatan kepada KPK menyelesaikan tugasnya membongkar skandal besar tersebut. Untuk itu, jelas diperlukan dukungan politik DPR. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar