Upah Buruh,
Produktivitas, dan Hubungan Kerja
Soemarso S Rahardjo ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 08 Desember 2012
Jokowi
baru saja menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 2,2
juta per bulan. Angka ini merupakan kenaikan sebesar 43 persen dibandingkan
dengan upah minimum tahun sebelumnya. Suatu kenaikan yang sangat besar.
Namun,
toh belum memuaskan semua pihak. Buruh yang diwakili serikat pekerja menuntut
kenaikan upah yang lebih besar lagi. Di lain pihak, para pengusaha, yang
diwakili Apindo, berteriak atas kenaikan yang dianggap akan mencekik leher
tersebut.
Padahal,
kebijakan upah minimum itu akan memicu kenaikan tingkat upah yang juga
spektakuler di daerah-daerah lain. Ingat, Jakarta adalah barometer. Kalau
sudah demikian, persoalan akan meluas dengan dampak yang sulit diperkirakan.
Kita semua harus menjaga agar hal tersebut tidak terjadi.
Saat-saat
penentuan upah minimum memang selalu menjadi ajang tarik ulur antara
pengusaha dan buruh. Dasarnya saling curiga. Di satu sisi, buruh menuntut
agar upah yang mereka terima dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang layak.
Di
sisi lain, pengusaha selalu mengaitkan upah yang mereka bayar dengan
produktivitas yang dihasilkan. Suatu debat yang tidak pernah berujung
pangkal. Ancam-mengancam pun selalu dilakukan. Pemutusan hubungan kerja,
relokasi pabrik dan penurunan investasi di satu sisi dibalas dengan pemogokan
dan penyegelan pabrik. Semua itu akan menimbulkan keresahan sosial. Bagaimana
cara mengatasinya?
Pola
Hubungan Kerja
Sebelumnya
perlu dicari titik temu terlebih dahulu; bahwa pengusaha dan buruh adalah dua
pihak yang saling membutuhkan. Hal ini akan lebih mudah kalau keduanya dapat
memahami makna hubungan kerja antara mereka.
Pengusaha,
sebagai penyedia modal, harus menganggap bahwa buruh adalah aset perusahaan.
Modal saja tidak cukup untuk menghasilkan nilai tambah. Mereka perlu
memperlakukan buruh (dan karyawan-karyawannya) sebagai suatu keluarga. Buruh
adalah modal sosial bagi perusahaan. Hubungan kerja dengan buruh seyogianya
tidak dianggap sebagai suatu transaksi ekonomi belaka.
Sebaliknya,
buruh juga harus menganggap perusahaan ibarat periuk nasi. Mereka harus
menjaga agar periuk itu jangan sampai tumpah. Kalau tumpah mereka tidak bisa
makan, membesarkan anak dan bersosialisasi dengan layak. Berbeda dengan
pegawai negeri.
Gaji/upah
mereka dibayar dari pajak yang ditarik dari rakyat dan dapat dipaksakan.
Buruh atau karyawan swasta, pada hakikatnya, harus menggaji diri sendiri,
dari keringat mereka sendiri.
Buruh
atau karyawan perlu meyakini diri sendiri bahwa keahlian mereka bukanlah
menyediakan modal. Bahkan, mungkin juga tidak mempunyai keahlian manajerial.
Hak kepemilikan modal dan keahlian manajerial yang dimiliki orang lain perlu
dihormati.
Upah
dan Produktivitas
Lingkaran
setan yang membelit antara upah dan produktivitas pada dasarnya disebabkan
anggapan bahwa sumber ketidakproduktifan itu berasal dari sifat dasar manusia.
Dari sononya memang sudah demikian. Unsur “dari sono” itu pada umumnya
dikaitkan dengan budaya, pendidikan dan lingkungan. Orang lupa bahwa
produktivitas juga dapat dipicu melalui upah.
Buruh
dengan upah yang tinggi (baca: layak) akan menghasilkan produktivitas yang
tinggi. Paling tidak mereka dapat dipicu untuk itu. Biaya oportunitas (opportunity cost) yang tinggi akan
membuat buruh merasa sangat rugi apabila mereka harus keluar dari pekerjaan
karena tidak produktif.
Siapa
yang dapat memicu produktivitas buruh? Manajemen! Melalui kebijakan-kebijakan
pengembangan sumber daya manusia yang tepat. Melalui pengembangan budaya dan
nilai perusahaan yang didasarkan atas penghargaan pada etos kerja.
Melalui
ketentuan pengupahan dan promosi yang didasarkan konsep reward–punishment.
Melalui penerapan teknologi dan metode produksi yang tepat guna. Perbaikan
metode kerja dan masih banyak untuk pemberdayaan buruh.
Bagaimana
kalau buruh tidak mau? Jika demikian, berlakulah seleksi alam. Serikat
pekerja mestinya rela jika (sebagian kecil) anggotanya dikeluarkan dari
lingkungan kerja karena tidak mau memperbaiki diri. Bahkan, mereka harus
membantu menumbuhkan etos kerja itu agar transformasi sikap dan perilaku di
kalangan buruh dapat terlaksana.
Peran
Pemerintah
Pemerintah,
yang pasti, tidak boleh memihak pada salah satu dari mereka. Pengusaha atawa
buruh. Lebih penting lagi, pemerintah, atawa siapa pun, tidak seyogianya
memolitisasi perselisihan pengusaha dan buruh itu demi kepentingan
masing-masing.
Setiap
dampak yang muncul akibat perselisihan berkepanjangan antara pengusaha dan
buruh akan menurunkan kinerja pemerintah. Rendahnya pertumbuhan investasi,
tingginya tingkat pengangguran dan maraknya keresahan sosial merupakan rapor
merah bagi pemerintah. Bukan buruh. Bukan pengusaha.
Pemerintah
wajib melindungi dan meningkatkan kesejahteraan buruh melalui
peraturan-peraturan jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kesehatan dan pesangon yang harus disediakan perusahaan.
Peraturan-peraturan
itu akan menciptakan rasa aman dan mengurangi risiko ketidakpastian masa
depan bagi buruh. Buruh yang dapat hidup layak, dapat membesarkan dan
mendidik anak dengan baik, merasa aman dan tidak menanggung beban
ketidakpastian tentang kehidupan masa datang akan menghindarkan diri dari
tindakan tercela di masyarakat.
Tidak
kalah pentingnya adalah upaya-upaya peningkatan efisiensi dan daya saing
usaha yang dapat dilakukan pemerintah. Selama ini dikeluhkan tingginya
biaya-biaya logistik, distribusi, energi dan birokrasi. Perbaikan
infrastruktur akan menurunkan biaya logistik. Selama ini infrastruktur yang
jelek selalu menjadi keluhan pengusaha.
Ketentuan
tentang pemangkasan jalur distribusi dapat mendatangkan efisiensi bagi
pengusaha. Beban energi sudah lama dipertanyakan sebagai penyebab
ketidakefisienan. Pemborosan di sektor penyedia energi tidak selayaknya
dibebankan kepada dunia usaha.
Last but not least,
semua orang tahu bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk birokrasi merupakan
salah satu komponen yang nilainya cukup tinggi dalam ber-“doing business in Indonesia”. Semua itu layak untuk diturunkan.
Insentif fiskal untuk sektor dan besaran usaha tertentu layak dipikirkan.
Jika hal-hal tersebut dapat dilaksanakan kenaikan upah buruh mungkin dapat
ditanggung perusahaan.
Perbaikan
Metode Penetapan
Penetapan
upah minimum dengan menggunakan konsep tripartit masih layak dipertahankan.
Penetapan upah bukanlah suatu transaksi ekonomi biasa yang dapat didasarkan
atas kekuatan tawar-menawar di pasar bebas. Perlu ada pihak ketiga yang mampu
dan berwibawa untuk menengahi, secara adil.
Pihak
itu adalah pemerintah. Silang sengketa yang mungkin timbul dalam penetapan
perlu diatasi dengan kepastian, keadilan keterbukaan dan kejujuran. Sikap
saling percaya perlu ditumbuhkan. Kepastian berkaitan dengan metode dan
taksiran yang digunakan.
Misalnya,
perlu ada kesepakatan tripartit untuk menentukan metode perhitungan Komponen
Hidup Layak (KHL). Metode itu perlu dicantumkan dalam pedoman yang disepakati
ketiga belah pihak.
Keadilan
bersangkutan dengan kenyataan bahwa kemampuan pengusaha berbeda antara
besaran usaha yang satu dengan yang lain. Antara pengusaha besar, pengusaha
menengah dan pengusaha kecil. Antara sektor industri yang satu dengan sektor
industri yang lain. Antara industri yang padat karya dengan yang padat modal.
Hal
ini terkait dengan keahlian buruh yang diperlukan. Penetapan upah minimum
seyogianya dikaitkan dengan jenis/besaran itu agar pasar dapat lebih
fleksibel dalam menyesuaikan dengan tenaga kerja yang tersedia. Dengan cara
ini pasar tenaga kerja akan terbuka lebih luas.
Keterbukaan
perlu dijalin antara pengusaha dan buruh. Kondisi perusahaan perlu
diberitahukan kepada buruh. Persentase biaya upah/gaji terhadap pendapatan
perlu diinformasikan paling tidak kepada perwakilan buruh. Semua itu perlu
didasari dengan sikap kejujuran.
Untuk
itu, pihak profesional yang independen perlu dilibatkan. Misalnya, survei KHL
dilakukan oleh universitas yang ditunjuk dan disepakati oleh pihak dalam
tripartit. Laporan keuangan diaudit akuntan publik dan lain sebagainya.
Pengambilan
keputusan didasarkan atas informasi terpercaya yang telah diverifikasi atau
dihasilkan oleh pihak-pihak independen tersebut. Jika semua itu dilakukan
akan muncul kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan itulah modal sosial dalam
berusaha dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar