Selasa, 11 Desember 2012

Upah Buruh, Produktivitas, dan Hubungan Kerja


Upah Buruh, Produktivitas, dan Hubungan Kerja
Soemarso S Rahardjo ;  Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 08 Desember 2012


Jokowi baru saja menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta per bulan. Angka ini merupakan kenaikan sebesar 43 persen dibandingkan dengan upah minimum tahun sebelumnya. Suatu kenaikan yang sangat besar.
Namun, toh belum memuaskan semua pihak. Buruh yang diwakili serikat pekerja menuntut kenaikan upah yang lebih besar lagi. Di lain pihak, para pengusaha, yang diwakili Apindo, berteriak atas kenaikan yang dianggap akan mencekik leher tersebut.
Padahal, kebijakan upah minimum itu akan memicu kenaikan tingkat upah yang juga spektakuler di daerah-daerah lain. Ingat, Jakarta adalah barometer. Kalau sudah demikian, persoalan akan meluas dengan dampak yang sulit diperkirakan. Kita semua harus menjaga agar hal tersebut tidak terjadi.

Saat-saat penentuan upah minimum memang selalu menjadi ajang tarik ulur antara pengusaha dan buruh. Dasarnya saling curiga. Di satu sisi, buruh menuntut agar upah yang mereka terima dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Di sisi lain, pengusaha selalu mengaitkan upah yang mereka bayar dengan produktivitas yang dihasilkan. Suatu debat yang tidak pernah berujung pangkal. Ancam-mengancam pun selalu dilakukan. Pemutusan hubungan kerja, relokasi pabrik dan penurunan investasi di satu sisi dibalas dengan pemogokan dan penyegelan pabrik. Semua itu akan menimbulkan keresahan sosial. Bagaimana cara mengatasinya?

Pola Hubungan Kerja

Sebelumnya perlu dicari titik temu terlebih dahulu; bahwa pengusaha dan buruh adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Hal ini akan lebih mudah kalau keduanya dapat memahami makna hubungan kerja antara mereka.

Pengusaha, sebagai penyedia modal, harus menganggap bahwa buruh adalah aset perusahaan. Modal saja tidak cukup untuk menghasilkan nilai tambah. Mereka perlu memperlakukan buruh (dan karyawan-karyawannya) sebagai suatu keluarga. Buruh adalah modal sosial bagi perusahaan. Hubungan kerja dengan buruh seyogianya tidak dianggap sebagai suatu transaksi ekonomi belaka.

Sebaliknya, buruh juga harus menganggap perusahaan ibarat periuk nasi. Mereka harus menjaga agar periuk itu jangan sampai tumpah. Kalau tumpah mereka tidak bisa makan, membesarkan anak dan bersosialisasi dengan layak. Berbeda dengan pegawai negeri.

Gaji/upah mereka dibayar dari pajak yang ditarik dari rakyat dan dapat dipaksakan. Buruh atau karyawan swasta, pada hakikatnya, harus menggaji diri sendiri, dari keringat mereka sendiri.

Buruh atau karyawan perlu meyakini diri sendiri bahwa keahlian mereka bukanlah menyediakan modal. Bahkan, mungkin juga tidak mempunyai keahlian manajerial. Hak kepemilikan modal dan keahlian manajerial yang dimiliki orang lain perlu dihormati.

Upah dan Produktivitas

Lingkaran setan yang membelit antara upah dan produktivitas pada dasarnya disebabkan anggapan bahwa sumber ketidakproduktifan itu berasal dari sifat dasar manusia. Dari sononya memang sudah demikian. Unsur “dari sono” itu pada umumnya dikaitkan dengan budaya, pendidikan dan lingkungan. Orang lupa bahwa produktivitas juga dapat dipicu melalui upah.

Buruh dengan upah yang tinggi (baca: layak) akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Paling tidak mereka dapat dipicu untuk itu. Biaya oportunitas (opportunity cost) yang tinggi akan membuat buruh merasa sangat rugi apabila mereka harus keluar dari pekerjaan karena tidak produktif.

Siapa yang dapat memicu produktivitas buruh? Manajemen! Melalui kebijakan-kebijakan pengembangan sumber daya manusia yang tepat. Melalui pengembangan budaya dan nilai perusahaan yang didasarkan atas penghargaan pada etos kerja.
Melalui ketentuan pengupahan dan promosi yang didasarkan konsep reward–punishment. Melalui penerapan teknologi dan metode produksi yang tepat guna. Perbaikan metode kerja dan masih banyak untuk pemberdayaan buruh.

Bagaimana kalau buruh tidak mau? Jika demikian, berlakulah seleksi alam. Serikat pekerja mestinya rela jika (sebagian kecil) anggotanya dikeluarkan dari lingkungan kerja karena tidak mau memperbaiki diri. Bahkan, mereka harus membantu menumbuhkan etos kerja itu agar transformasi sikap dan perilaku di kalangan buruh dapat terlaksana.

Peran Pemerintah

Pemerintah, yang pasti, tidak boleh memihak pada salah satu dari mereka. Pengusaha atawa buruh. Lebih penting lagi, pemerintah, atawa siapa pun, tidak seyogianya memolitisasi perselisihan pengusaha dan buruh itu demi kepentingan masing-masing.

Setiap dampak yang muncul akibat perselisihan berkepanjangan antara pengusaha dan buruh akan menurunkan kinerja pemerintah. Rendahnya pertumbuhan investasi, tingginya tingkat pengangguran dan maraknya keresahan sosial merupakan rapor merah bagi pemerintah. Bukan buruh. Bukan pengusaha.

Pemerintah wajib melindungi dan meningkatkan kesejahteraan buruh melalui peraturan-peraturan jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan dan pesangon yang harus disediakan perusahaan.

Peraturan-peraturan itu akan menciptakan rasa aman dan mengurangi risiko ketidakpastian masa depan bagi buruh. Buruh yang dapat hidup layak, dapat membesarkan dan mendidik anak dengan baik, merasa aman dan tidak menanggung beban ketidakpastian tentang kehidupan masa datang akan menghindarkan diri dari tindakan tercela di masyarakat.

Tidak kalah pentingnya adalah upaya-upaya peningkatan efisiensi dan daya saing usaha yang dapat dilakukan pemerintah. Selama ini dikeluhkan tingginya biaya-biaya logistik, distribusi, energi dan birokrasi. Perbaikan infrastruktur akan menurunkan biaya logistik. Selama ini infrastruktur yang jelek selalu menjadi keluhan pengusaha.
Ketentuan tentang pemangkasan jalur distribusi dapat mendatangkan efisiensi bagi pengusaha. Beban energi sudah lama dipertanyakan sebagai penyebab ketidakefisienan. Pemborosan di sektor penyedia energi tidak selayaknya dibebankan kepada dunia usaha.

Last but not least, semua orang tahu bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk birokrasi merupakan salah satu komponen yang nilainya cukup tinggi dalam ber-“doing business in Indonesia”. Semua itu layak untuk diturunkan. Insentif fiskal untuk sektor dan besaran usaha tertentu layak dipikirkan. Jika hal-hal tersebut dapat dilaksanakan kenaikan upah buruh mungkin dapat ditanggung perusahaan.

Perbaikan Metode Penetapan

Penetapan upah minimum dengan menggunakan konsep tripartit masih layak dipertahankan. Penetapan upah bukanlah suatu transaksi ekonomi biasa yang dapat didasarkan atas kekuatan tawar-menawar di pasar bebas. Perlu ada pihak ketiga yang mampu dan berwibawa untuk menengahi, secara adil.

Pihak itu adalah pemerintah. Silang sengketa yang mungkin timbul dalam penetapan perlu diatasi dengan kepastian, keadilan keterbukaan dan kejujuran. Sikap saling percaya perlu ditumbuhkan. Kepastian berkaitan dengan metode dan taksiran yang digunakan.

Misalnya, perlu ada kesepakatan tripartit untuk menentukan metode perhitungan Komponen Hidup Layak (KHL). Metode itu perlu dicantumkan dalam pedoman yang disepakati ketiga belah pihak.

Keadilan bersangkutan dengan kenyataan bahwa kemampuan pengusaha berbeda antara besaran usaha yang satu dengan yang lain. Antara pengusaha besar, pengusaha menengah dan pengusaha kecil. Antara sektor industri yang satu dengan sektor industri yang lain. Antara industri yang padat karya dengan yang padat modal.
Hal ini terkait dengan keahlian buruh yang diperlukan. Penetapan upah minimum seyogianya dikaitkan dengan jenis/besaran itu agar pasar dapat lebih fleksibel dalam menyesuaikan dengan tenaga kerja yang tersedia. Dengan cara ini pasar tenaga kerja akan terbuka lebih luas.

Keterbukaan perlu dijalin antara pengusaha dan buruh. Kondisi perusahaan perlu diberitahukan kepada buruh. Persentase biaya upah/gaji terhadap pendapatan perlu diinformasikan paling tidak kepada perwakilan buruh. Semua itu perlu didasari dengan sikap kejujuran.

Untuk itu, pihak profesional yang independen perlu dilibatkan. Misalnya, survei KHL dilakukan oleh universitas yang ditunjuk dan disepakati oleh pihak dalam tripartit. Laporan keuangan diaudit akuntan publik dan lain sebagainya.

Pengambilan keputusan didasarkan atas informasi terpercaya yang telah diverifikasi atau dihasilkan oleh pihak-pihak independen tersebut. Jika semua itu dilakukan akan muncul kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan itulah modal sosial dalam berusaha dan bernegara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar