Perang Politik
di Media Televisi
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Universitas
Paramadina Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 07 Desember 2012
Tersiar
kabar, Hary Tanoe, bos MNC Group sekaligus Ketua Dewan Pakar Partai Nasional
Demokrat (Nasdem), membeli mayoritas saham Metro
TV punya Surya Paloh, tokoh yang digadang-gadang dari Partai Nasdem untuk
menjadi presiden pada Pemilu 2014.
Jika
rumor ini benar, pertarungan politik menuju Istana nanti bakal diwarnai juga
dengan “perang media televisi”. Ini karena di seberang, bisnis keluarga
Aburizal Bakrie yang tergabung dalam Viva Group juga sudah menguasai media
televisi lainnya.
Corong
politik media massa bukan hanya televisi. Ada juga media cetak, radio,
dan—tidak kalah dahsyatnya—internet dengan jejaring sosial di dalamnya, juga
media-media online dalam bentuk
portal-portal berita, blog, dan seterusnya.
Ada
ungkapan yang menyebutkan: siapa yang menguasai media, dialah yang menjadi
raja/penguasa. Bisa jadi, karena inilah Surya Paloh atau Aburizal Bakrie
berusaha menggunakan sebanyak mungkin media sebagai corong politik, selain
tentu saja untuk bisnis. Media hanya menjadi alat atau kendaraan untuk menapaki karier politik tertinggi:
pemimpin nomor satu negeri ini.
Pertanyaan
dasarnya kemudian adalah, dalam konteks media televisi, seberapa efektifkah
media ini memengaruhi para penonton menjatuhkan pilihan?
Jangkauan
televisi yang jauh lebih luas hingga pelosok-pelosok kampung dibandingkan
media internet yang belum sejauh itu, memang cukup menjanjikan harapan.
Setidaknya, sosialisasi seorang tokoh bisa lebih mudah.
Semakin
sering tokoh ditampilkan di televisi, orang akan semakin mengenalnya. Tentu
saja, tokoh yang tertampilkan di televisi selalu dari sisi positifnya,
begitulah pencitraan, begitulah tokoh politik diiklankan.
Dilihat
dari sudut pandang penyampai iklan, M Wayne DeLozier, seorang pakar
komunikasi dan pemasaran Amerika, menyebutkan enam kelebihan televisi.
Pertama, pengiklan dapat menjangkau audiensi
yang lebih besar hanya dengan satu pesan iklan. Kedua, cost per exposure is relatively low (efisiensi biaya). Jutaan
orang menonton televisi secara teratur dan dapat dijangkau televisi yang
menyebabkan efisiensi biaya per kepala. Televisi juga mampu menjangkau
khalayak yang tidak terjangkau media cetak.
Ketiga,
televisi menggunakan tampilan, suara, gerak dan warna untuk menyampaikan
seluruh pesannya. Ini menyebabkan televisi memiliki dampak yang kuat terhadap
khalayaknya.
Keempat,
at the moment of exposure, a television
advertisement excludes competing advertising messages. Televisi memiliki
pengaruh yang kuat untuk memengaruhi khalayak karena khalayak sebagai “calon
pembeli” lebih mempercayai televisi sebagai media rujukan.
Kelima,
television can reach a select market
target. Televisi dapat menjangkau target pasar yang diinginkan. Keenam,
televisi dapat memengaruhi perhatian penonton secara psikologis, membuatnya
akan selalu ingin menontonnya daripada harus berpindah ke program-program
lainnya.
Dari
sisi tersebut, televisi tampaknya cukup efektif dan ampuh sebagai corong
politik menyosialisasikan seorang tokoh sekaligus “menyerang” tokoh lain. Aburizal
Bakrie, tokoh yang secara resmi sudah didaulat Partai Golkar sebagai kandidat
calon presiden 2014 tentu tidak akan pernah tertampilkan oleh media yang
dikuasainya dari sisi kekurangan.
Tetapi,
media lain yang di luar kuasanya akan dengan mudah menyerangnya. Kasus
semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo tidak pernah diberitakan media-media
miliknya, tetapi oleh media-media lawan-lawannya.
Independensi
Media
Independensi
media memang acapkali gagal berkompromi dengan kepentingan pemilik media,
terutama ketika sang pemilik juga tokoh atau bagian dari sekrup politik. Ini
karena media memang dikuasai untuk menjadi corong politik, sekaligus
pembonsai sang tokoh.
Orientasi
politik lebih besar dibanding orientasi bisnis menjelang perhelatan politik
nasional. Benarlah kata salah seorang
politikus Partai Demokrat, bahwa satu-satunya kelemahan partai ini adalah
tidak punya media televisi, sehingga partai ini dengan begitu mudah
dipojokkan lewat berbagai pemberitaan.
Kasus
korupsi, misalnya, yang mendera beberapa kader Partai Demokrat, begitu massif
diberitakan. Padahal, kasus-kasus korupsi juga ada di partai-partai lain.
Boleh jadi, pemberitaan-pemberitaan itu memang bentuk serangan terhadap lawan
politik, sekaligus menutupi kebobrokan partai tertentu yang menguasai media
televisi.
Publik
digiring untuk beropini bahwa yang korupsi seakan-akan hanya partai ini,
tidak partai itu. Padahal, berbagai survei ilmiah menunjukkan, hampir semua
partai politik menjadi sarang para koruptor atau tempat nyaman melakukan
praktik-praktik koruptif.
Dalam
“perang media” ini rasanya tidak mudah menemukan media yang netral atau
objektif. Padahal, ini yang sesungguhnya diperlukan masyarakat agar mereka
tercerahkan. Tetapi, apakah memang ada media yang netral? Maksudnya, tidak
berafiliasi pada kepentingan politik tertentu dan hanya berorientasi pada
bisnis, atau media-media yang independen berpegang pada prinsip-prinsip
jurnalisme? Tentu masih ada.
Media-media
ini memang tidak ditunggangi atau dikendalikan kepentingan politik tertentu,
tetapi memanfaatkan momen-momen politik, karena dianggap sebagai “lahan
bisnis” meraup untung.
Dalam
proses pematangan demokrasi dan pendidikan politik publik, netralitas,
independensi, dan objektivisme media tentu saja sangat urgen. Media-media
semacam ini selain dapat membongkar topeng kepalsuan yang tersaji, juga
menjadi saluran kritik yang efektif terhadap praktik-praktik politik kotor
yang sarat manipulasi.
Kritik
yang tentu saja konstruktif dan bertanggung jawab. Media-media inilah yang
menjadi pilar demokrasi keempat yang mengontrol jalannya proses politik dan
pemerintahan agar tetap berada di jalurnya, yakni demi memperjuangkan
kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar