Jumat, 21 Desember 2012

Transfer Dana ke Daerah untuk Siapa?


Laporan Akhir Tahun 2012 Nusantara
Transfer Dana ke Daerah untuk Siapa?
KOMPAS, 21 Desember 2012


Provinsi Aceh, Papua, dan Papua Barat hingga kini tercatat sebagai provinsi yang mendapat transfer dana paling besar dari pusat di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Selain dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil, serta dana penyesuaian, ketiga provinsi itu juga mendapat dana otonomi khusus (otsus).
Dana otsus yang diterima Aceh tahun ini Rp 5,4 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh Rp 9,51 triliun. Tahun depan, dana otsus Aceh akan naik lagi jadi Rp 6,1 triliun. Total sejak 2008, Aceh mendapat tambahan dana Rp 26,8 triliun. Ini menjadikan Aceh provinsi terkaya ketujuh di Indonesia.

Demikian pula di Papua. Dana otsus tahun 2012 yang diterima Rp 3,83 triliun dari total APBD Rp 7,18 triliun. Tahun depan akan naik lagi jadi Rp 4,28 triliun. Di Papua Barat, dana otsus tahun ini Rp 1,64 triliun dari total APBD Rp 3,99 triliun. Tahun depan juga naik menjadi Rp 1,83 triliun. Total 10 tahun masa otsus, kedua provinsi ini mendapat Rp 28 triliun lebih. Dana itu, tentunya, sangat besar jika dibandingkan provinsi yang tidak menerima otsus. Bangka Belitung, misalnya, volume APBD 2012 hanya Rp 1,45 triliun, sementara Maluku hanya Rp 1,42 triliun.

Namun, apakah besarnya dana yang diterima sebanding dengan kesejahteraan rakyat? Dari hasil analisis Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) bekerja sama dengan Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program, yang didukung Bank Dunia dan Australia Aid, kesejahteraan di Aceh masih mimpi.

Menurut Koordinator Mata Alfian, besarnya anggaran di Aceh belum diikuti kebijakan dan pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien. Salah satunya, alokasi belanja untuk aparatur daerah lebih besar dibanding belanja barang. Akibatnya, layanan publik pun minim.

Aceh masuk sebagai wilayah termiskin ke-7 di Indonesia, yang penduduk miskinnya 20,98 persen dari 4,3 juta jiwa penduduk Aceh. Padahal, rata-rata penduduk miskin nasional 13,3 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh juga rendah. Aceh peringkat ke-18 dari 33 provinsi. Kualitas pendidikan juga minim.

Kesalahan Pusat

Hingga kini, korupsi masih menghantui. Lembaga antikorupsi nasional menempatkan Aceh sebagai provinsi terkorup kedua setelah Jakarta. Kerugian negara akibat korupsi di Aceh kini Rp 275,4 miliar dengan 80 kasus. Uang yang dikorupsi diduga lebih besar karena belum ditangani sungguh-sungguh. Korupsi jadi bukti kesejahteraan baru sebagian dinikmati elite.

Menurut Ketua Kaukus Papua DPR Paskalis Kosay, hingga kini, kemiskinan di Papua dan Papua Barat di atas rata-rata nasional. Tahun 2010, persentasenya 36,80 persen, dan Papua Barat 34,88 persen. Tingkat partisipasi anak sekolah masih rendah. Juga layanan kesehatan, yang salah satunya tecermin dari kematian bayi yang cukup besar. Ini membuat peringkat IPM Papua dan Papua Barat nomor buncit di antara provinsi lain.

”Semua ini karena dana otsus bercampur dengan dana kepala daerah yang menang pemilihan kepala daerah. Jadi, tidak jelas apakah untuk pendidikan, kesehatan, serta mendorong ekonomi atau untuk misi dan visi kepala daerah,” keluhnya.
Kesalahan ini, lanjut Paskalis, datang dari pusat. ”Ini dibiarkan terjadi 10 tahun lebih saat otsus. Sebab itu, otsus harus direvisi,” ujarnya.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas dana otsus di Papua dan Papua Barat membuktikan penyimpangan pada masa otsus. Dari jumlah Rp 19,12 triliun yang diperiksa, Rp 4,12 triliun digunakan fiktif, selain tak sesuai aturan, seperti jalan-jalan ke luar negeri.

Sementara di luar ketiga provinsi itu, transfer dana pusat juga tak seluruhnya dimanfaatkan rakyat. Misalnya, APBD Kabupaten Banyuwangi tahun 2012. Dari total Rp 1,7 triliun, 60 persen habis untuk belanja tak langsung, seperti bayar gaji pegawai negeri sipil (PNS).

”Kebijakan kelola anggaran belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Jika ingin memajukan rakyat, belanja langsung harusnya lebih besar dibandingkan belanja tak langsung,” kata Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jawa Timur Dahlan.

Tak mengherankan bila tokoh pemuda di Natuna, Kepulauan Riau, Riki Rino, geram. Manfaat APBD Natuna yang triliunan belum dirasakan. ”Empat tahun, APBD Natuna di atas Rp 1 triliun, hingga kini jalan keliling yang dibangun tak selesai. Padahal, tanah hibah dari warga,” ujarnya.

Tak sehatnya transfer dana pusat ke APBD diakui Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Yuswandi A Temenggung. Akibatnya, dana penyelenggaraan fungsi publik banyak tersedot untuk bayar gaji PNS yang jumlahnya sangat besar. ”Bagaimana mau bangun rumah jika ongkos tukangnya lebih besar dari biaya materialnya,” katanya.

Solusinya, usul Yuswandi, agar dana pusat benar-benar untuk rakyat, selain PNS daerah harus jadi pegawai nasional, juga jangan sampai ada korupsi, ditambah elitenya harus punya komitmen tinggi kepada rakyat.

(Suhartono/M Burhanudin/Kris R Mada/Agnes Swetta Pandia/Runik Sri Astuti/Siwi Yunita Cahyaningrum/Dody Wisnu Pribadi/Dahlia Irawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar