Jumat, 21 Desember 2012

Lubuk Kecik Banyak Buayo


Laporan Akhir Tahun 2012 Nusantara
Lubuk Kecik Banyak Buayo
KOMPAS, 21 Desember 2012


Tahun 2012 menjadi tahun yang akan diingat oleh warga Bengkulu. Pada tahun ini Gubernur Bengkulu (nonaktif) Agusrin M Najamudin dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi. Pada tahun ini pula ia diberhentikan.
Hampir setahun tugas gubernur dijalankan Wakil Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah. Ia menjadi pelaksana tugas gubernur, tetapi tertunda dilantik sebagai gubernur definitif karena ada perlawanan hukum yang dilakukan Agusrin. Tahun ini juga upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan Agusrin ditolak MA sehingga Junaidi akhirnya bulan ini dilantik menjadi gubernur.

Agusrin dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta dalam kasus korupsi dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tahun anggaran 2006. Perkara ini hanya satu dari sejumlah kasus korupsi yang mencuat di Bengkulu, di antaranya proyek tahun jamak 2007-2009. Ada lima kasus korupsi terkait proyek itu yang kini ditangani Kejaksaan Tinggi Bengkulu.

Selain itu, ada dugaan korupsi pembangunan one stop center Rumah Sakit Jiwa Soeprapto, pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah M Junus, dan pembangunan jaringan lampu penerangan umum. Selain merugikan negara, hasil dari proyek tahun jamak itu juga mangkrak. Jalur kereta api dari Kota Bengkulu ke Lubuk Linggau sampai kini masih menjadi impian. Hanya ada bangunan yang akan dijadikan stasiun di Kelurahan Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu. Bangunan itu kini terbengkalai.

Tidak Sendiri

Agusrin tak sendirian sebagai gubernur yang resmi diberhentikan tahun ini. Ada juga Syamsul Arifin (gubernur Sumatera Utara) yang harus mengakhiri tugasnya, sebelum waktunya, sebab MA pada Mei 2012 memperberat hukumannya menjadi enam tahun penjara dari sebelumnya dihukum 4 tahun penjara di Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal, sebelumnya ia dihukum 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor karena terbukti mengorupsi dana APBD Kabupaten Langkat tahun 2000-2007.

Tugas gubernur selama Syamsul ditahan dijalankan oleh wakilnya, Gatot Pujo Nugroho. Setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari MA, baru tahun ini kedudukan gubernur Sumut diserahkan kepada Gatot. Namun, Syamsul tak pernah mau menerima Gatot, termasuk untuk berkoordinasi selama ia ditahan.

Kondisi ini kian menguatkan adanya persaingan meski keduanya maju sebagai calon kepala daerah bersama. Berdasarkan data di Kementerian Dalam Negeri, hanya 2,6 persen pasangan kepala daerah yang tak ”pecah kongsi” pada periode berikutnya.
Tahun 2012 menjadi tahun tak bersahabat pula bagi Fadel Muhammad. Dia memang tidak lagi menjadi gubernur Gorontalo saat Kejaksaan Tinggi Gorontalo, Mei 2012, menyatakan Fadel sebagai tersangka kasus korupsi dana sisa lebih penggunaan APBD Gorontalo tahun 2001. Fadel tentu saja menolak tuduhan itu.

Namun, penetapan Fadel, yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu, sebagai tersangka korupsi makin memperpanjang deretan gubernur atau wakil gubernur yang terjerat korupsi. Tahun depan, mungkin saja masih ada kepala daerah di tingkat provinsi yang menjadi tersangka dan terpidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, atau kepolisian sampai kini masih mencermati sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan gubernur/wagub. Seperti dugaan korupsi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional di Riau, yang kini sudah menempatkan sejumlah pejabat di Riau sebagai terhukum. Gubernur Riau Rusli Zainal sejak 10 April 2012 pun sudah dicegah ke luar negeri oleh KPK.

Tingkat Kabupaten/Kota

Tak hanya di tingkat provinsi, tahun 2012 masih menyembulkan kasus korupsi di tingkat kota atau kabupaten. Tak terbatas pejabat legislatif, yang terjerat juga sejumlah pejabat eksekutif dan yudikatif. Kasus yang menonjol antara lain Bupati Subang Eep Hidayat, yang Februari lalu divonis empat tahun penjara di tingkat kasasi MA. Eep dinyatakan terbukti mengorupsi dana upah pungut pajak Kabupaten Subang, Jawa Barat, tahun 2005-2008. Kasus ini menarik perhatian sebab Eep dengan gaya khasnya melawan sampai ke gedung MA.

Sejawat Eep di Jabar, Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad, tahun ini pun dihukum oleh MA selama enam tahun penjara. Ia terbukti menyalahgunakan dana makan minum dalam APBD Kota Bekasi, serta menyuap pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup untuk meraih hadiah Adipura tahun 2010. Juga menyuap pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan menyuap anggota DPRD Kota Bekasi. Mochtar sudah dieksekusi oleh kejaksaan.

Selain itu, ada Satono, Bupati Lampung Timur, Lampung, yang pada Maret 2012 divonis 15 tahun penjara oleh MA. Satono dinyatakan terbukti mengorupsi dana penempatan di BPR Tripanca Setiadana, Bandar Lampung, senilai Rp 100 miliar. Satono memegang rekor hukuman terlama bagi kepala daerah yang diputuskan terlibat korupsi. Eksekusi terhadap Satono memunculkan polemik di khalayak pula. Di Lampung, juga ada Bupati Lampung Tengah Andi Achmad Sampurnajaya yang dihukum MA pada tahun ini selama 12 tahun. Ia, yang saat kasusnya digelar tak menjadi bupati lagi, dinilai terbukti mengorupsi dana APBD Lampung Tengah senilai Rp 28 miliar.

Tahun ini ditutup oleh Theddy Tengko, Bupati Kepulauan Aru, Maluku, yang pada Desember ini gagal dieksekusi oleh kejaksaan. Padahal, ada putusan MA yang menyatakan Theddy mengorupsi dana APBD Kepulauan Aru tahun 2005-2007. Theddy pulang ke Kepulauan Aru disambut ribuan pendukungnya. Ia juga dilantik saat berstatus tersangka.

Tahun ini, dan juga tahun depan, masih ada bupati/wali kota atau wakilnya yang dibidik aparat penegak hukum. Mereka tersebar di seluruh Indonesia. Antory Royan, dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, menyatakan, otonomi daerah dan pemilu kepala daerah yang berbiaya tinggi menjadi faktor penyebab menggilanya korupsi di daerah, termasuk di Bengkulu. Untuk mengembalikan biaya politik semasa pilkada, segala cara dilakukan. APBD menjadi jarahan elite di daerah, tidak terbatas pada pejabat eksekutif.

Panji Suminar, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu, mengakui pula, program pembangunan melalui mekanisme tahun jamak sering kali bermasalah mulai dari perencanaan hingga penganggaran. Hasil dari program yang menelan dana besar itu pada akhirnya tak jelas. Di tingkat nasional, kasus ini terlihat pada proyek pusat olahraga di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jabar, yang menyeret mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng.

Masyarakat harus mengawasi perilaku elite sebab sesuai konstitusi, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat harus dewasa. Jika tidak, seperti kelakar di Bengkulu, ”Lubuk kecik banyak buayo; kolam kecil banyak buaya”. Ikan habis disantap buaya, dan tak ada kesejahteraan untuk rakyat. (aditya ramadhan/tri agung kristanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar