Laporan Akhir
Tahun 2012 Nusantara
Politisi
Berjaya, Rakyat Merana
|
KOMPAS,
21 Desember 2012
Wajar saja jika banyak pihak menertawakan
pemerintah pusat. Di satu sisi menyadari sebagian besar daerah otonom baru
gagal menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, pada sisi lain membiarkan
pemekaran terus berjalan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengatakan telah mengevaluasi 205 daerah otonom baru (DOB) yang dibentuk
selama 1999-2009, yang meliputi 164 kabupaten, 34 kota dan 7 provinsi. Hasil
sementara: tata kelola daerah dan pelayanan publik belum memuaskan. Perilaku
para pemimpin di DOB itu belum berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Bahkan, Gamawan menyimpulkan sekitar 70 persen DOB tersebut gagal.
Kesimpulan itu sungguh benar. Saat ini yang
menonjol dari DOB adalah perebutan kekuasaan dan uang. Para penguasa atau
elite politik setempat sibuk menebarkan pengaruh dan menggalang dukungan agar
bisa terpilih menjadi kepala daerah atau anggota legislatif. Waktu mereka pun
habis tersita oleh urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan sebagai bagian
dari upaya memperkaya diri dan keluarga.
Setelah terpilih, para bupati, wali kota
dan gubernur gemar mempromosikan diri yang berkedok promosi daerah. Hampir di
setiap sudut kota dan desa serta media massa selalu terpampang gambar para
pejabat yang bersangkutan. Sebaliknya, terobosan dan inovasi untuk
menggali dan mengembangkan potensi ekonomi daerah bagi perbaikan serta
peningkatan kesejahteraan rakyat hampir tidak tampak. Tidak mengherankan,
setelah bertahun-tahun pemekaran pun sebagian besar masyarakat setempat tetap
hidup miskin, tidak jauh beda dibandingkan saat daerah itu belum dimekarkan.
Minimnya kreativitas pemerintah daerah ini
membuat pendapatan asli daerah tetap rendah. Biaya pembangunan, termasuk
belanja pegawai masih tetap mengandalkan subsidi dari pusat. Mutu pendidikan
tetap rendah, gizi buruk tetap tinggi, indeks pembangunan manusia juga tetap
buruk.
Adapun yang menonjol hanya adanya gedung-gedung
pemerintahan yang megah dan baru, serta jalan beraspal. Akan tetapi,
pembangunan fisik itu pun sebagian besar masih disokong dari pusat. Sektor
swasta yang diharapkan dapat menghidupkan ekonomi lokal tidak berkembang
optimal, sebab sering menjadi ”sapi perah” penguasa setempat.
Tidak Bertaring
Kesadaran tentang kegagalan DOB sebetulnya
sudah lama timbul. Pemerintah pusat pun kemudian memberlakukan kebijakan
moratorium pemekaran daerah pada awal 2009. Namun, kebijakan ini seolah tidak
bertaring. Di lapangan, pelaksanaannya selalu bertolak belakang.
Dengan berdalih aspirasi rakyat, pemerintah
daerah bersama DPRD setempat terus-menerus mengusulkan DOB kepada Kemendagri,
DPR, dan DPD. Dengan dalih yang sama, kedua lembaga legislatif pun membuka
ruang yang lebar untuk proses pemekaran daerah. Saat ini ada sekitar 150 usul
DOB yang masuk ke DPR. Sedikitnya 7 daerah di antaranya akan dimekarkan pada
awal tahun 2013.
Anehnya, pemerintah pusat pun seolah
mengikuti saja arus yang ingin pemekaran. Ketidakberanian dalam bersikap itu
memupuk nafsu pembentukan DOB kian tidak terkendali. Jangan heran bila
kemudian pemerintah dituduh melakukan moratorium setengah hati. Apalagi
kebijakan tersebut tanpa disertai aturan yang jelas dan tegas.
Hingga tahun 2007, negeri ini hanya
memiliki 287 kabupaten/kota dan 26 provinsi (setelah Timor Timur merdeka).
Namun, akhir Desember 2012, jumlah itu membengkak jadi 512 kabupaten/kota dan
34 provinsi. Itu termasuk 12 DOB yang meliputi 11 kabupaten/kota dan satu
provinsi yang terbentuk pada November dan Desember 2012.
Jumlah itu bakal meningkat lagi sebab nafsu
untuk melakukan pemekaran daerah masih tinggi. Data yang dihimpun Kompas
menyebutkan, hingga tahun 2025 jumlah provinsi di Indonesia bakal mencapai 55
provinsi. Calon provinsi baru itu, antara lain Cirebon (Jawa Barat), Kapuas
Raya (Kalimantan Barat), Flores (Nusa Tenggara Timur), dan Papua Tengah
(Papua). Bahkan, di Jawa Barat akan bertambah lagi 18 kabupaten/kota.
Persiapkan Lebih Matang
Selama ini ada berbagai persyaratan yang wajib
dipenuhi satu daerah yang ingin menjadi DOB. Misalnya, kependudukan,
kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan kemampuan keuangan dari calon DOB itu.
Akan tetapi, mengapa setelah beberapa tahun
dimekarkan daerah baru tersebut belum juga mandiri dan meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya? Jangan-jangan ada manipulasi data dalam proses
pemekaran!
Memang, menutup rapat pemekaran daerah saat
ini bukan pilihan terbaik. Akan tetapi, pemerintah perlu mengevaluasi semua
DOB. Evaluasi diperlukan untuk mengetahui apakah pemekaran sudah sesuai
tujuannya? Jika gagal, di mana kendalanya dan apa sanksi yang diberikan
kepada daerah tersebut?
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
sesungguhnya sudah jelas diatur soal sanksi bagi daerah yang gagal
menjalankan pemekaran. Akan tetapi, ketentuan tersebut seolah macan ompong.
Terbukti, hingga kini belum satu DOB pun yang gagal digabungkan kembali.
Harus diakui, kelemahan utama dalam proses
pemekaran daerah selama era reformasi ini adalah persiapan yang kurang
matang. Persiapan yang dilakukan sebatas memenuhi persyaratan yang ditentukan
perundang-undangan tanpa disertai penyiapan potensi ekonomis yang nantinya
diandalkan untuk memicu kemandirian daerah.
Pada era Orde Baru, persiapan daerah otonom
baru pernah diberlakukan. Jika suatu kota hendak dijadikan kota madya harus
terlebih dahulu menjadi kota administratif.
Selama bertahun-tahun, daerah ini dipersiapkan dalam segala aspek. Usulan
menjadi kota madya baru dilakukan setelah dinilai benar-benar siap.
Pola ini perlu ditiru. Tujuannya agar
proses pemekaran daerah dipersiapkan lebih matang tanpa didominasi
kepentingan politik segelintir orang. Pemerintah juga dituntut aktif
berinovasi dan lebih kreatif menggali dan mengembangkan potensi calon daerah
otonom baru. Dengan demikian, manisnya pemekaran dapat langsung dinikmati
masyarakat begitu daerahnya menjadi otonom penuh. (JANNES
EUDES WAWA) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar