Rabu, 19 Desember 2012

Tarik-Menarik Mursi dan Oposisi


Tarik-Menarik Mursi dan Oposisi
Chusnan Maghribi ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 18 Desember 2012


"Terlepas dari yang memenangi suara rakyat, krisis politik Mesir belum akan selesai setelah referendum"

KRISIS politik Republik Mesir terkini memperlihatkan perkembangan menarik. Dua kubu berseberangan (pemerintahan Presiden Mohammed Mursi dan oposisi di bawah payung Barisan Pembebasan Nasional) sebagai biang krisis masih beradu kuat. Kedua belah pihak sama-sama tak mau mengalah. 

Krisis dipicu Dekrit Presiden 22 November 2012, berlanjut dengan penyelenggaraan referendum (15/12) untuk menentukan nasib draf  konstitusi baru yang disusun Dewan Konstituante yang didominasi kubu Islamis. Dalam referendum itu rakyat dimintai pendapat ya atau tidak (menerima atau menolak) rancangan konstitusi baru Mesir. 

Referendum itu baru muncul dan menjadi bola panas setelah dalam dialog nasional (pemerintahoposisi) 8 Desember lalu Mursi mencabut dekrit kontroversialnya guna memenuhi tekanan oposisi. Pencabutan dekrit dengan sendirinya menjadi kekalahan Mursi. Skor 1:0 untuk oposisi. 

Namun, Mursi tak mau kalah begitu saja. Itu sebabnya dia mengusulkan penyelenggaraan referendum untuk menentukan rancangan konstitusi baru pada 15 Desember 2012. Usulan ini semula ditolak mentah-mentah oposisi yang merepresentasikan kekuatan politik liberal dan nasionalis sekuler. Mereka menolak, karena selain waktu penyelenggaraan referendum (15/12) dianggap terlalu cepat, salah satu butir dalam draf konstitusi itu menyebutkan prinsip syariah menjadi sumber utama perundang-undangan. 

Tetapi, perkembangan terakhir (13/12) menunjukkan kubu oposisi menerima penyelenggaraan referendum 15 Desember 2012 dengan syarat  harus diawasi penuh oleh para hakim serta organisasi nonpemerintah, referendum dilakukan dalam satu hari, dan hasil referendum diumumkan di komite lokal begitu selesai pencoblosan (penentuan suara).  

Penerimaan oposisi tersebut bisa dinilai sebagai kemenangan Mursi, sehingga skor pertarungan Mursi versus oposisi berubah menjadi 1:1. Penentu kemenangan pertarungan tersebut akan ditentukan rakyat  melalui referendum untuk menentukan diterima tidaknya draf konstitusi baru. 

Titik Lemah 

Lantas, bagaimana sikap mayoritas rakyat Mesir? Apakah mayoritas akan memilih ya (menerima) ataukah tidak (menolak)? Apabila hasil pemilihan presiden (pilpres) langsung Juni lalu dijadikan barometer, tentu cukup terbuka peluang mayoritas rakyat memilih ya, meski mungkin berselisih (dengan yang memilih tidak) juga kecil (tidak banyak) seperti selisih perolehan suara Mursi dengan Ahmed Shafiq yang hanya sekitar 3% dalam pilpres enam bulan lalu. Mursi berpeluang unggul 2:1 atas oposisi. 

Tetapi, memang hasil pilpres tersebut tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran. Bisa saja mayoritas ” rakyat dalam referendum memilih tidak. Walaupun akhirnya Mursi mencabut dekrit, keputusan sebelumnya mengeluarkan dekrit oleh sejumlah kalangan dinilai telah terlanjur menciptakan titik lemah Mursi, terlebih terkait salah satu butir dalam dekrit menyebutkan ìkeputusan dalam dekrit tidak dapat diganggu gugat atau dibatalkan lewat lembaga hukum apa punî. Butir ini  menginspirasi mantan Ketua International Atomic Energy Agency (IAEA) Mohammed Al-Baradei menggelari Mursi sebagai Fir'aun baru. 

Tidak menutup kemungkinan julukan itu diterima banyak orang, termasuk yang sebelumnya bersimpati kepada Mursi, hingga bisa mengeliminasi jumlah pendukung Mursi (pemerintah). Jika ini terjadi, hasil referendum bisa berbalik: mayoritas rakyat memilih tidak (menolak) atas draf konstitusi baru. Dengan demikian oposisi unggul 2:1 atas Mursi. Akibat lanjutnya, bangsa Mesir tak akan segera memiliki konstitusi baru lantaran mesti membentuk Dewan Konstituante dengan anggota baru guna menyusun draf  konstitusi baru lagi. 

Terlepas dari siapa yang bakal memenangi suara (mayoritas) rakyat, yang pasti krisis politik Mesir belum akan selesai setelah referendum. Diperkirakan masih akan terjadi tarik-menarik kepentingan ideologis antara kubu pemerintahan Mursi yang cenderung ingin mempraktikkan Syariat (Islam) dalam tata kenegaraan dan kubu oposisi yang menentangnya. Tarik-menarik kepentingan ini dikhawatirkan bisa berkepanjangan bila kedua belah pihak enggan berdialog dan tak mau saling memberi konsesi untuk mencapai kompromi demi kebaikan negeri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar