Tarik-Menarik
Mursi dan Oposisi
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 18 Desember 2012
"Terlepas
dari yang memenangi suara rakyat, krisis politik Mesir belum akan selesai
setelah referendum"
KRISIS politik Republik
Mesir terkini memperlihatkan perkembangan menarik. Dua kubu berseberangan
(pemerintahan Presiden Mohammed Mursi dan oposisi di bawah payung Barisan
Pembebasan Nasional) sebagai biang krisis masih beradu kuat. Kedua belah
pihak sama-sama tak mau mengalah.
Krisis dipicu Dekrit
Presiden 22 November 2012, berlanjut dengan penyelenggaraan referendum
(15/12) untuk menentukan nasib draf konstitusi baru yang disusun Dewan
Konstituante yang didominasi kubu Islamis. Dalam referendum itu rakyat
dimintai pendapat ya atau tidak (menerima atau menolak) rancangan konstitusi
baru Mesir.
Referendum itu baru muncul
dan menjadi bola panas setelah dalam dialog nasional (pemerintahoposisi) 8
Desember lalu Mursi mencabut dekrit kontroversialnya guna memenuhi tekanan
oposisi. Pencabutan dekrit dengan sendirinya menjadi kekalahan Mursi. Skor
1:0 untuk oposisi.
Namun, Mursi tak mau kalah
begitu saja. Itu sebabnya dia mengusulkan penyelenggaraan referendum untuk
menentukan rancangan konstitusi baru pada 15 Desember 2012. Usulan ini semula
ditolak mentah-mentah oposisi yang merepresentasikan kekuatan politik liberal
dan nasionalis sekuler. Mereka menolak, karena selain waktu penyelenggaraan
referendum (15/12) dianggap terlalu cepat, salah satu butir dalam draf
konstitusi itu menyebutkan prinsip syariah menjadi sumber utama
perundang-undangan.
Tetapi, perkembangan
terakhir (13/12) menunjukkan kubu oposisi menerima penyelenggaraan referendum
15 Desember 2012 dengan syarat harus diawasi penuh oleh para hakim
serta organisasi nonpemerintah, referendum dilakukan dalam satu hari, dan
hasil referendum diumumkan di komite lokal begitu selesai pencoblosan
(penentuan suara).
Penerimaan oposisi
tersebut bisa dinilai sebagai kemenangan Mursi, sehingga skor pertarungan
Mursi versus oposisi berubah menjadi 1:1. Penentu kemenangan pertarungan
tersebut akan ditentukan rakyat melalui referendum untuk menentukan
diterima tidaknya draf konstitusi baru.
Titik
Lemah
Lantas, bagaimana sikap
mayoritas rakyat Mesir? Apakah mayoritas akan memilih ya (menerima) ataukah
tidak (menolak)? Apabila hasil pemilihan presiden (pilpres) langsung Juni
lalu dijadikan barometer, tentu cukup terbuka peluang mayoritas rakyat
memilih ya, meski mungkin berselisih (dengan yang memilih tidak) juga kecil
(tidak banyak) seperti selisih perolehan suara Mursi dengan Ahmed Shafiq yang
hanya sekitar 3% dalam pilpres enam bulan lalu. Mursi berpeluang unggul 2:1
atas oposisi.
Tetapi, memang hasil
pilpres tersebut tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran. Bisa saja
mayoritas ” rakyat dalam referendum memilih tidak. Walaupun akhirnya Mursi
mencabut dekrit, keputusan sebelumnya mengeluarkan dekrit oleh sejumlah
kalangan dinilai telah terlanjur menciptakan titik lemah Mursi, terlebih
terkait salah satu butir dalam dekrit menyebutkan ìkeputusan dalam dekrit
tidak dapat diganggu gugat atau dibatalkan lewat lembaga hukum apa punî.
Butir ini menginspirasi mantan Ketua International Atomic Energy Agency
(IAEA) Mohammed Al-Baradei menggelari Mursi sebagai Fir'aun baru.
Tidak menutup kemungkinan
julukan itu diterima banyak orang, termasuk yang sebelumnya bersimpati kepada
Mursi, hingga bisa mengeliminasi jumlah pendukung Mursi (pemerintah). Jika
ini terjadi, hasil referendum bisa berbalik: mayoritas rakyat memilih tidak
(menolak) atas draf konstitusi baru. Dengan demikian oposisi unggul 2:1 atas
Mursi. Akibat lanjutnya, bangsa Mesir tak akan segera memiliki konstitusi
baru lantaran mesti membentuk Dewan Konstituante dengan anggota baru guna
menyusun draf konstitusi baru lagi.
Terlepas dari siapa yang
bakal memenangi suara (mayoritas) rakyat, yang pasti krisis politik Mesir
belum akan selesai setelah referendum. Diperkirakan masih akan terjadi
tarik-menarik kepentingan ideologis antara kubu pemerintahan Mursi yang
cenderung ingin mempraktikkan Syariat (Islam) dalam tata kenegaraan dan kubu
oposisi yang menentangnya. Tarik-menarik kepentingan ini dikhawatirkan bisa
berkepanjangan bila kedua belah pihak enggan berdialog dan tak mau saling
memberi konsesi untuk mencapai kompromi demi kebaikan negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar