Indonesia di
Era Asia
Dion Maulana Prasetya ; Pengajar Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang |
SUARA
KARYA, 18 Desember 2012
Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton, kembali mengunjungi Indonesia untuk
yang ke dua kalinya beberapa waktu lalu. Kedatangan Hillary itu diperkirakan
akan membahas isu kemitraan strategis Indonesia-AS, serta isu sengketa Laut
China Selatan (BBC Indonesia).
Isu
keamanan di kawasan Asia-Pasifik memang saat ini menjadi perhatian utama
pemerintahan Barack Obama. Setelah menghabiskan banyak tenaga dan perhatian
di Timur Tengah da-lam Perang Melawan Terorisme, pada masa peme-rintahan
George W. Bush, Obama mulai menggeser poros strategi dan kebijakannya di
kawasan Asia. Hal itu disebabkan, selain oleh ke-pentingan ekonomi, juga
karena peningkatan militer China yang mengkhawatirkan negara-negara sekutu AS
di Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan juga Filipina.
Dalam majalah Foreign
Policy (November 2011), Hil-lary secara eksplisit mengatakan "masa depan
politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan Amerika
Serikat akan beraksi tepat di tengahnya." Ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat
tidak main-main untuk memusat-kan perhatiannya di kawasan Asia-Pasifik.
Keha-diran AS dinilai perlu untuk melindungi kepentingan nasional
negara-negara sekutunya.
Dalam upaya melindungi
kepentingan sekutunya tersebut, pemerintahan Obama memiliki tiga prinsip utama.
Pertama, mempertahankan konsensus politik dengan negara sekutu. Kedua,
me-mastikan sekutu-sekutu AS tetap gesit dan adaptif untuk menghadapi
tantangan-tantangan serta menangkap peluang-peluang baru. Ketiga, menjamin
kemampuan pertahanan dan infrastruktur komunikasi negara-negara sekutu, baik
secara operasional maupun material, agar dapat menangkal provokasi dari
negara lain atau pun aktor non negara. Secara umum, kehadiran AS bertujuan
untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik.
Di sisi lain, jika
kita melihat dari sudut pandang China, perubahan strategi AS ini dianggap
sebagai upaya untuk "membendung" peningkatan kekuatannya. Alih-alih
dipandang mempromosikan stabilitas dan perdamaian, kebijakan AS ini justru
bersifat kontraproduktif dan akan semakin memperparah situasi yang memang
telah memanas tanpa kehadiran AS, terutama pada sengketa Laut China Selatan.
Realitas politik
internasional memang seringkali berbeda dengan apa yang diucapkan oleh para
pemimpin negara. Pemimpin negara bisa saja mengatakan tidak memiliki ambisi
teritorial atau menjadi kekuatan dominan di kawasan, akan tetapi logika
politik internasional kerap kali berbeda dengan apa yang diharapkan para
pemimpin negara. Sudah menjadi hal yang umum jika "peningkatan keamanan
satu negara justru menurunkan keamanan negara lainnya." Inilah dilema
keamanan.
Peningkatan kekuatan
militer China, meskipun untuk alasan keamanan, akan menurunkan derajat
keamanan negara-negara lain di sekitarnya. Peningkatan militer China dianggap
sebagai ancaman. Untuk meningkatkan derajat keamanannya, negara-negara
seperti Filipina dan Jepang, melakukan perimbangan dengan membawa serta AS ke
dalam politik kawasan. Mereka membutuhkan bantuan AS untuk mengimbangi
kekuatan militer China yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bagaimana Indonesia,
sebagai aktor utama di kawasan ASEAN, menempatkan dirinya dalam area real
politics di kawasan Asia-Pasifik? Apakah dynamic equilibrium bisa menandingi
politik perimbangan kekuatan?
Sebagaimana telah
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, dynamic equilibrium merupakan sebuah
doktrin yang menekankan tidak adanya satu kekuatan dominan di kawasan.
Keseimbangan dinamis berarti tidak ada satu negara dominan di kawasan,
menghilangkan inklusivitas dan meningkatkan peranan ne-gara-negara di dalam
isu-isu multisektoral, tidak hanya politik, tetapi juga lingkungan, ekonomi
dan sosio-kultural. Hal ini, seperti yang disampaikan Marty di Council on
Foreign Relations, yang berbeda dari politik perimbangan kekuatan klasik.
Doktrin Natalegawa ini
esensinya ingin mengikat kekuatan-kekuatan besar global untuk bersama-sama
memberikan kontribusi bagi stabilitas dan pembangunan di kawasan. Dengan
pendekatan dialog untuk setiap permasalahan yang muncul, diharapkan akan
mengikis perasaan saling curiga dan diplomasi rahasia di antara negara-negara
di kawasan.
Meskipun patut
diberikan apresiasi, doktrin Natalegawa ini juga berpotensi memunculkan
permasalahan besar di kawasan. Jika tidak dengan konsisten menjaga
keseimbangan yang dimaksud, maka negara-negara di kawasan akan tergelincir
ke-pada politik perimbangan kekuatan klasik. Jika pendekatan dialog tidak
dapat menciptakan keadilan dan menjamin keamanan negara-negara kawasan, maka
tidak ada jalan lain bagi mereka selain "mengundang" kekuatan besar
untuk melindungi kepentingan nasionalnya masing-masing.
Pekerjaan rumah
Indonesia, dan ASEAN secara lebih luas, sangatlah berat. Meng-ingat di
kawasan Asia-Pasifik terdapat sejumlah titik rawan konflik besar, seperti di
Semenanjung Korea, Semenanjung Taiwan, dan tentunya Laut China Selatan.
Kesemua titik tersebut melibatkan China dan Amerika Serikat, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Ada atau tidaknya
doktrin Natalegawa, politik perimbangan kekuatan senyatanya telah berjalan di
Asia-Pasifik. Sekali lagi, posisi Indonesia berada di tengah-tengah dua
kekuatan besar Asia-Pasifik. Peran yang dijalankan tidaklah mudah. Meskipun
sepanjang sejarah politik luar negeri Indonesia selalu tetap, yakni
Bebas-Aktif, dalam artian netral, selalu saja pada akhirnya sebuah titik
pijak harus dipilih. Selamat datang Era
Asia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar