Selasa, 18 Desember 2012

Indonesia di Era Asia


Indonesia di Era Asia
Dion Maulana Prasetya ;  Pengajar Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA KARYA, 18 Desember 2012
  
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton, kembali mengunjungi Indonesia untuk yang ke dua kalinya beberapa waktu lalu. Kedatangan Hillary itu diperkirakan akan membahas isu kemitraan strategis Indonesia-AS, serta isu sengketa Laut China Selatan (BBC Indonesia).
Isu keamanan di kawasan Asia-Pasifik memang saat ini menjadi perhatian utama pemerintahan Barack Obama. Setelah menghabiskan banyak tenaga dan perhatian di Timur Tengah da-lam Perang Melawan Terorisme, pada masa peme-rintahan George W. Bush, Obama mulai menggeser poros strategi dan kebijakannya di kawasan Asia. Hal itu disebabkan, selain oleh ke-pentingan ekonomi, juga karena peningkatan militer China yang mengkhawatirkan negara-negara sekutu AS di Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan juga Filipina.
Dalam majalah Foreign Policy (November 2011), Hil-lary secara eksplisit mengatakan "masa depan politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan Amerika Serikat akan beraksi tepat di tengahnya." Ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak main-main untuk memusat-kan perhatiannya di kawasan Asia-Pasifik. Keha-diran AS dinilai perlu untuk melindungi kepentingan nasional negara-negara sekutunya.
Dalam upaya melindungi kepentingan sekutunya tersebut, pemerintahan Obama memiliki tiga prinsip utama. Pertama, mempertahankan konsensus politik dengan negara sekutu. Kedua, me-mastikan sekutu-sekutu AS tetap gesit dan adaptif untuk menghadapi tantangan-tantangan serta menangkap peluang-peluang baru. Ketiga, menjamin kemampuan pertahanan dan infrastruktur komunikasi negara-negara sekutu, baik secara operasional maupun material, agar dapat menangkal provokasi dari negara lain atau pun aktor non negara. Secara umum, kehadiran AS bertujuan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik.
Di sisi lain, jika kita melihat dari sudut pandang China, perubahan strategi AS ini dianggap sebagai upaya untuk "membendung" peningkatan kekuatannya. Alih-alih dipandang mempromosikan stabilitas dan perdamaian, kebijakan AS ini justru bersifat kontraproduktif dan akan semakin memperparah situasi yang memang telah memanas tanpa kehadiran AS, terutama pada sengketa Laut China Selatan.
Realitas politik internasional memang seringkali berbeda dengan apa yang diucapkan oleh para pemimpin negara. Pemimpin negara bisa saja mengatakan tidak memiliki ambisi teritorial atau menjadi kekuatan dominan di kawasan, akan tetapi logika politik internasional kerap kali berbeda dengan apa yang diharapkan para pemimpin negara. Sudah menjadi hal yang umum jika "peningkatan keamanan satu negara justru menurunkan keamanan negara lainnya." Inilah dilema keamanan.
Peningkatan kekuatan militer China, meskipun untuk alasan keamanan, akan menurunkan derajat keamanan negara-negara lain di sekitarnya. Peningkatan militer China dianggap sebagai ancaman. Untuk meningkatkan derajat keamanannya, negara-negara seperti Filipina dan Jepang, melakukan perimbangan dengan membawa serta AS ke dalam politik kawasan. Mereka membutuhkan bantuan AS untuk mengimbangi kekuatan militer China yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bagaimana Indonesia, sebagai aktor utama di kawasan ASEAN, menempatkan dirinya dalam area real politics di kawasan Asia-Pasifik? Apakah dynamic equilibrium bisa menandingi politik perimbangan kekuatan?
Sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, dynamic equilibrium merupakan sebuah doktrin yang menekankan tidak adanya satu kekuatan dominan di kawasan. Keseimbangan dinamis berarti tidak ada satu negara dominan di kawasan, menghilangkan inklusivitas dan meningkatkan peranan ne-gara-negara di dalam isu-isu multisektoral, tidak hanya politik, tetapi juga lingkungan, ekonomi dan sosio-kultural. Hal ini, seperti yang disampaikan Marty di Council on Foreign Relations, yang berbeda dari politik perimbangan kekuatan klasik.
Doktrin Natalegawa ini esensinya ingin mengikat kekuatan-kekuatan besar global untuk bersama-sama memberikan kontribusi bagi stabilitas dan pembangunan di kawasan. Dengan pendekatan dialog untuk setiap permasalahan yang muncul, diharapkan akan mengikis perasaan saling curiga dan diplomasi rahasia di antara negara-negara di kawasan.
Meskipun patut diberikan apresiasi, doktrin Natalegawa ini juga berpotensi memunculkan permasalahan besar di kawasan. Jika tidak dengan konsisten menjaga keseimbangan yang dimaksud, maka negara-negara di kawasan akan tergelincir ke-pada politik perimbangan kekuatan klasik. Jika pendekatan dialog tidak dapat menciptakan keadilan dan menjamin keamanan negara-negara kawasan, maka tidak ada jalan lain bagi mereka selain "mengundang" kekuatan besar untuk melindungi kepentingan nasionalnya masing-masing.
Pekerjaan rumah Indonesia, dan ASEAN secara lebih luas, sangatlah berat. Meng-ingat di kawasan Asia-Pasifik terdapat sejumlah titik rawan konflik besar, seperti di Semenanjung Korea, Semenanjung Taiwan, dan tentunya Laut China Selatan. Kesemua titik tersebut melibatkan China dan Amerika Serikat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ada atau tidaknya doktrin Natalegawa, politik perimbangan kekuatan senyatanya telah berjalan di Asia-Pasifik. Sekali lagi, posisi Indonesia berada di tengah-tengah dua kekuatan besar Asia-Pasifik. Peran yang dijalankan tidaklah mudah. Meskipun sepanjang sejarah politik luar negeri Indonesia selalu tetap, yakni Bebas-Aktif, dalam artian netral, selalu saja pada akhirnya sebuah titik pijak harus dipilih. Selamat datang Era Asia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar