Gejolak “Rajakaya”
Toto Subandriyo ; Alumnus
IPB, Anggota Dewan Pakar
Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Kabupaten
Tegal
|
SUARA
MERDEKA, 18 Desember 2012
BEBERAPA waktu terakhir media di Tanah Air
gencar memberitakan kelangkaan daging sapi di pasaran. Di sejumlah daerah
harga bahan pangan sumber protein hewani itu meroket di atas batas
psikologis, Rp 100 ribu per kilogram. Kondisi itu memicu pedagang daging sapi
di beberapa daerah mogok berjualan. Ibu rumah tangga, pemilik warteg, penjual
bakso, dan konsumen daging sapi, menjerit. Mereka harus membayar lebih
mahal dari biasanya untuk membeli sepotong daging. Kenyataan ini menjadi batu
ujian bagi pemerintah yang telah menargetkan pencapaian swasembada daging
sapi pada 2014. Sebelumnya, target tersebut pernah direvisi dua kali
pada 2007 dan 2010.
Kenyataan itu juga tak
sejalan dengan hasil sensus sapi yang diselenggarakan BPS pada Juni 2011.
Akhir Desember 2011, BPS mengumumkan sapi potong hasil sensus tercatat 14,8
juta ekor. Jumlah itu jauh lebih banyak dari prediksi, yaitu 12,6 juta ekor.
Melihat jumlah sapi potong
hasil sensus yang cukup mencengangkan, tahun ini Kementerian Pertanian
mengambil langkah yang dinilai banyak kalangan sangat berani. Kementerian itu
memangkas kuota impor daging sapi dan sapi bakalan hingga setengahnya.
Kebijakan yang berkesan sangat heroik tersebut dimaksudkan agar iklim
industri ternak lokal dapat terdongkrak dan sa-saran pemenuhan kebutuhan
daging sapi lokal dapat terealisasi pada 2014.
Mengapa gejolak harga
daging sapi masih terjadi? Ada beberapa hal yang mungkin dilupakan oleh
penentu kebijakan di Kementerian Pertanian. Belasan juta ekor sapi hasil
sensus tersebut berada di tangan para peternak kecil yang lokasinya tersebar
di seluruh pelosok negeri.
Hal lain yang juga
dilupakan oleh penentu kebijakan pangan adalah tentang unikum budaya
masyarakat di bidang peternakan. Bagi masyarakat Indonesia, terutama suku
Jawa, beternak sapi adalah upaya menabung. Mereka menjual sapi hanya pada
saat terdesak butuh uang. Mereka menganggap sapi dan kerbau bukan semata-mata
komoditas melainkan rajakaya (aset cadangan, harta simpanan) yang bisa dijual
bila sudah tidak ada lagi sumber atau aset lain untuk mencukupi keperluan
keluarga yang bersifat mendesak.
Banyak
Varian
Kelangkaan daging sapi
mengindikasikan kepada kita bahwa pekerjaan rumah di bidang ketahanan pangan
masih menumpuk. Saat ini produksi daging dalam negeri belum mencukupi
kebutuhan masyarakat, bahkan pertumbuhan cenderung stagnan. Kebutuhan daging
sapi untuk memenuhi konsumsi tahun ini 484.060 ton. Jumlah tersebut baru bisa
dipenuhi dari peternak domestik 399.320 ton, sisanya 84.740 ton harus impor.
Dalam jangka menengah dan
panjang pemerintah perlu lebih konsisten membangun industri peternakan.
Negeri ini memiliki banyak varian sapi unggul, seper- ti sapi madura, sapi
bali, dan sapi aceh. Secara genetis semua mudah digemukkan dan memiliki bobot
karkas tinggi. Potensi ini jika ditangani intensif dan berkelanjutan, dapat
segera menutup kekurangan pasokan daging.
Mutu bibit dan pakan
sangat menentukan kualitas sapi dan daging yang dihasilkan. Karena itu
intervensi pemerintah dalam program pengembangan sapi rakyat harus lebih
menekankan pada upaya pemenuhan bibit unggul dan pakan berkualitas.
Menurut
Marsetyo (2011), sistem pembibitan sapi di negara kita masih konvensional
sehingga kurang optimal hasilnya. Jarak waktu beranak (calving
interval) sapi bali berkisar 15-18 bulan, calving rate sekitar 55%, tingkat
kematian anak sapi 18%, dan kematian induk 2,7%. Melalui teknologi budi daya,
seperti inseminasi buatan dan transfer embrio, kelemahan tersebut dapat
diperbaiki.
Sebagai negara tropis,
Indonesia memiliki banyak varian tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber
hijauan makanan ternak (HMT). Kondisi ini merupakan keunggulan komparatif
yang menguntungkan peternak. Kemelimpahan hijauan makanan ternak
itu membuat biaya usaha tani ternak dapat ditekan serendah mungkin.
Dengan demikian daya saing industri peternakan meningkat.
Salah satu insentif yang
dapat meningkatkan gairah peternak sapi adalah harga jual sapi hidup yang
memadai. Selama ini meski harga daging sapi di pasaran cukup tinggi, harga
jual sapi hidup kurang memadai. Jika harga jual sapi hidup cukup memadai,
usaha peternakan sapi potong lebih bergairah.
Kelangkaan daging sapi
saat ini juga menjadi pelajaran arti penting diversifikasi pangan sumber
protein hewani lain. Biaya produksi daging sapi relatif lebih mahal
dibandingkan sumber protein hewani lain. Pada- hal dari segi kandungan
gizi, kita punya banyak sumber protein hewani yang lebih murah dan
berkualitas, di antaranya daging unggas, telur, ikan, dan substitusi daging
sapi dari ternak ruminansia lain seperti kerbau atau kambing.
Kelangkaan daging sapi
kali ini menjadi momentum untuk menggencarkan kampanye gerakan makan ikan
(Gemari). Potensi perikanan laut dan darat di negeri ini sangat luar biasa.
Potensi itu harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menciptakan manusia
yang unggul dan berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar