Tantangan
Kemerdekaan Palestina
Hasibullah Satrawi ; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Jakarta
|
KOMPAS,
04 Desember 2012
Akhirnya Palestina mendapat pengakuan dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagai negara pengamat non-anggota.
Berdasarkan hasil penghitungan suara yang
dilakukan Majelis Umum PBB, Kamis (29/11), 138 negara mendukung Palestina
menjadi negara pengamat non- anggota. Hanya 9 negara yang menolak (termasuk Israel
dan Amerika Serikat) dan 49 negara abstain (termasuk Inggris).
Inilah ”kemenangan berlipat” Palestina,
yang terjadi hanya beberapa hari (21/11) setelah tercapainya gencatan senjata
antara Hamas dan Israel.
Beda Perspektif
Seperti diketahui, Hamas dan Israel
memaknai gencatan senjata dari perspektif yang berbeda. Hamas dan warga Gaza
memaknai gencatan senjata sebagai sebuah kemenangan tanpa mempertimbangkan
jumlah korban jiwa yang banyak. Hamas merasa menang karena serangan roketnya
sempat menjangkau Tel Aviv dan mengguncang ketenangan ibu kota Israel
tersebut.
Sebaliknya, publik Israel justru memahami
gencatan senjata sebagai kekalahan. Tidak semata-mata dilihat dari jumlah
korban jiwa yang sangat sedikit dari pihak Israel (3 warga sipil dan 1
militer), melainkan karena salah satu serangan roket Hamas mampu menjangkau
jarak yang jauh, seperti Tel Aviv. Bagi publik Israel, ini berarti tidak ada
tempat yang aman di Israel.
Apalagi Hamas selama ini berada dalam
urutan paling terakhir musuh-musuh Israel yang paling ganas, yaitu Iran,
Suriah, Hezbollah di Lebanon dan Hamas. Dengan kata lain, bila kekuatan
militer dan roket Hamas saat ini mampu menjangkau Tel Aviv, musuh-musuh
Israel yang lain sebagaimana di atas hampir dipastikan mempunyai kemampuan
yang jauh lebih hebat.
Namun, kemenangan berlipat Palestina
sebagaimana masih jauh dari cita-cita yang diperjuangkan bangsa Palestina:
menjadi bangsa yang merdeka.
Ibarat pertandingan sepak bola, kemenangan
Palestina di atas hanyalah kemenangan pada babak penyisihan. Masih banyak
laga dan tantangan yang harus dihadapi bangsa Palestina untuk keluar sebagai
juara, setidaknya ada tiga tantangan utama.
Pertama, rekonsiliasi nasional Palestina,
khususnya antara faksi-faksi besar, seperti Fatah, Hamas, Jihad Islam, dan lainnya.
Harus diakui, perpecahan internal merupakan musuh terberat bagi Palestina
setelah Israel. Apalah arti dukungan dari dunia luar (termasuk dari PBB
sekarang) bila para elite-nya terbelah?
Oleh karena itu, dukungan dari PBB kali ini
harus menjadi momentum emas para elite Palestina untuk mewujudkan
rekonsiliasi yang selama ini telah diupayakan oleh banyak pihak. Sambutan
rakyat di sejumlah kota Palestina terhadap keputusan PBB mutakhir adalah
dukungan untuk para elite agar mengesampingkan segala kepentingan lain di
luar persatuan dan kemerdekaan Palestina.
Pengakuan
Kedua, pengakuan dari kedua belah pihak
(secara de facto) terhadap eksistensi masing-masing. Inilah salah satu
tantangan yang tak kalah berat bagi Palestina, juga Israel. Selama tidak ada
rasa saling mengakui, Israel dan Palestina terancam akan selalu terjebak
dalam konflik. Inilah yang sudah kerap terjadi selama ini.
Pada tahap tertentu, pengakuan terhadap
eksistensi masing-masing secara de jure jauh lebih penting dibanding
pengakuan secara de facto. Secara de jure, setiap pihak mungkin telah
mendapatkan pengakuan terkait dengan eksistensinya sebagai negara. Palestina,
misalnya, telah diakui sebagai negara merdeka terutama oleh negara-negara
yang mayoritas penduduknya Muslim (termasuk Indonesia). Organisasi Kerja Sama
Islam (OKI) dan Liga Arab juga mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Hal yang kurang lebih sama juga dialami
Israel. Negara ini telah diakui oleh banyak negara, kecuali negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim. Bedanya, eksistensi Israel sebagai negara
merdeka telah diakui oleh PBB.
Meskipun demikian, secara de facto,
sebagian pihak di Israel dan Palestina acap tidak mengakui eksistensi
masing-masing. Hingga mereka kerap terlibat dalam konflik terbuka.
Dalam konteks seperti ini, pengakuan PBB
terhadap Palestina sebagai negara pengamat non-anggota menjadi kurang
signifikan, kecuali dibarengi dengan rekonsiliasi nasional Palestina.
Persoalan Israel-Palestina selama ini bukan (hanya) masalah diakui atau tidak
oleh pihak luar, melainkan karena kedua belah pihak tidak saling mengakui.
Kepentingan Nasional
Ketiga, mengedepankan kepentingan nasional
Palestina. Konflik Israel-Palestina memang tak lagi hanya menjadi persoalan
dua negara tetangga, tetapi telah menjadi masalah regional bahkan global.
Tidaklah mengherankan bila selalu ada pihak-pihak yang berkepentingan.
Apa yang terjadi dengan gencatan senjata
mutakhir antara Israel dan Hamas adalah contoh dari kepentingan luar yang
”menempel” dalam persoalan konflik Israel-Palestina, terutama pihak Mesir dan
AS.
Dalam kacamata kepentingan AS, gencatan
senjata antara Hamas dan Israel bersifat mutlak untuk tidak menambah beban
politik luar negeri Gedung Putih, khususnya terkait dengan persoalan Timur
Tengah. AS sejauh ini masih mencoba beradaptasi secara politik dengan
kekuatan-kekuatan politik baru yang muncul di dunia Arab pascamusim
semirevolusi.
Inilah kekuatan baru yang lebih menjadi tantangan berat bagi
politik luar negeri AS mengingat kekuatan-kekuatan politik baru di dunia Arab
pascamusim semirevolusi acap didominasi kelompok-kelompok
ekstrem, termasuk yang berhasil membunuh duta besar AS di Libya.
Beban politik luar negeri AS menjadi lebih
berat bila ditambah krisis politik Suriah yang sampai sekarang belum
menemukan jalan keluar. Padahal, krisis di Suriah melibatkan
kekuatan-kekuatan sekutu utama AS di Timur Tengah, seperti Turki, Qatar, Arab
Saudi, dan lainnya.
Dalam kondisi seperti ini, dilihat dari
kepentingan politik luar negeri AS, ulah Israel menyerang Hamas sangat tidak
strategis karena membuat politik luar negeri AS ”keberatan beban”. Serangan
seperti ini terbukti hanya menambah musuh AS.
Posisi Mesir
Mesir di bawah kepemimpinan Presiden
Muhammad Mursi mempunyai kepentingan yang kurang lebih sama terhadap gencatan
senjata antara Hamas dan Israel. Sebagai sempalan (ideologi) dari Ikhwan
Muslimin (IM), Mursi yang tak lain adalah tokoh IM mempunyai tanggung jawab
moral sangat besar terhadap Hamas. Tak ada pilihan, Mursi harus mendukung
Hamas.
Dukungan Mursi terhadap Hamas harus lebih
terasa dan lebih konkret dibanding dukungan yang sebelumnya diberikan oleh
Hosni Mubarak mengingat IM dan Hamas mempunyai kedekatan khusus, setidaknya
kedekatan ideologi.
Inilah yang kerap terjadi selama ini.
Kepentingan politik pihak luar yang lebih besar dan lebih dikedepankan
dibanding kepentingan Palestina telah membuat negara ini layu sebelum
berkembang. Sangat ironis, karena di saat pihak-pihak luar kerap berbangga
dengan apa yang dilakukan, rakyat Palestina justru terus berguguran menjadi
korban serangan Israel. Semoga dukungan PBB kali ini bisa menjadi momentum
semua pihak untuk memberikan dukungan dan dengan cara yang tepat terhadap
kemerdekaan Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar