KASUS KORUPSI
SIMULATOR
Menguras
Energi KPK
Khairudin ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
04 Desember 2012
Kasus dugaan korupsi pengadaan simulator di
Korps Lalu Lintas Polri menjadi kasus yang paling menyita energi Komisi
Pemberantasan Korupsi. Bukan soal besaran kerugian keuangan negara atau
rumitnya kasus ini. Untuk pertama kali, KPK menyeret petinggi penegak hukum
yang masih aktif. KPK pernah
menyeret mantan Kapolri Jenderal (Pol) Rusdihardjo ke penjara. Namun, kasus
itu menjerat Rusdihardjo saat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia.
KPK baru memprosesnya setelah Rusdihardjo tidak lagi menjabat duta besar.
KPK juga menyeret jaksa Urip Tri Gunawan
setelah ketahuan menerima suap dari pengusaha Artalyta Suryani untuk mengurus
kasus bantuan likuiditas BI. Namun, hanya Urip dan Artalyta yang terjerat
meski sejumlah petinggi Kejaksaan Agung disebut dalam rekaman percakapan
telepon.
KPK pernah menangkap pengacara Harini S
Wiyoso yang membuat Mahkamah Agung digeledah. Tetapi, tak satu pun hakim
agung terseret meski ruangan Bagir Manan, ketua MA saat itu, ikut digeledah.
KPK pernah menangkap hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar karena kedapatan menerima suap. Bahkan,
hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Kartini Marpaung dan hakim
Pengadilan Tipikor Pontianak Heru Kisbandono ditangkap.
Luas Merentang
Kiprah KPK menyeret penegak hukum korup
merentang mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga pengacara. Namun, baru di kasus
simulator ini KPK benar-benar terkuras energinya.
Hanya beberapa hari setelah KPK menetapkan
Djoko Susilo sebagai tersangka, Polri menyatakan tengah menyidik kasus yang
sama. Polri menetapkan beberapa tersangka, tiga di antaranya sudah ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK, yakni mantan Wakil Kepala Korlantas Brigadir
Jenderal (Pol) Didik Purnomo dan dua rekanan pengadaan, Budi Susanto dan
Sukotjo S Bambang. Polri langsung menahan ketiganya.
Sengketa penanganan kasus menyeruak. Polri
merasa berhak ikut menyidik sesuai kewenangan sebagai penyidik yang diatur
dalam KUHAP. KPK dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sifatnya lex
specialis diberi kewenangan penuh menangani kasus korupsi, termasuk mengambil
alih penanganan kasus korupsi dari lembaga lain.
Di tengah sengketa ini, Mabes Polri menarik
20 penyidik mereka di KPK pada September. KPK yang terbatas penyidiknya
kelimpungan. Terlebih, banyak kasus korupsi besar yang tengah mereka tangani
seperti Hambalang dan Century.
Pada 5 Oktober, saat KPK pertama kali
memeriksa Djoko sebagai tersangka, malam harinya, sejumlah polisi dari Polda
Bengkulu dan Polda Metro Jaya mendatangi KPK. Mereka hendak menjemput paksa
penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan.
Sebelumnya, Novel dijadikan tersangka
kasus penganiayaan berat saat bertugas di Polres Bengkulu delapan tahun lalu.
Novel adalah salah satu penyidik KPK yang jadi tulang punggung penanganan
kasus simulator.
Upaya menjemput paksa Novel ini mendapat
reaksi keras publik. Ribuan orang datang ke KPK. Mereka mengecam Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang diam melihat sengketa KPK dengan Polri.
Presiden Yudhoyono akhirnya berpidato dan
menegaskan. Sesuai UU No 30 Tahun 2002, KPK berhak menangani kasus ini. Polri
diperintahkan menyerahkan ke KPK.
Presiden menyinggung upaya polisi menjemput
paksa Novel tak sesuai waktu dan kondisi. Presiden menyinggung perlunya
peraturan yang mengatur penugasan pegawai lembaga lain ke KPK.
Namun, pidato itu tak mengakhiri sengketa.
Bulan lalu, sejumlah penyidik KPK mengundurkan diri dan kembali ke Polri. Tak
berapa lama, mereka bersama Kabareskrim Komjen Sutarman bertemu Komisi III
DPR. Kita tahu, anggota DPR adalah ”tamu
tetap” di ruang penyidikan KPK.
Membuat antisipasi, KPK mendidik 26
penyelidik untuk dijadikan penyidik.
Dalam situasi ini, Polri tiba-tiba
menyatakan telah menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan tanda nomor
kendaraan bermotor yang ”sepaket”
dengan kasus simulator. KPK dan Polri masih saling intai di kasus ini.
Untuk kasus simulator, KPK memang telah
menahan Djoko di Guntur yang di masa Orde Baru dikenal ”angker”. Namun, melihat rentetan efek kasus ini, KPK tampaknya
masih akan menguras energi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar