Selasa, 04 Desember 2012

Memahami Kebijakan Baru BI


Memahami Kebijakan Baru BI
Adiwarman A Karim ;  Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
REPUBLIKA, 03 Desember 2012


Pidato Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dalam Pertemuan Tahunan Perbankan pada 23 November memberikan angin segar dan menambah keyakinan akan kesiapan Indonesia menghadapi tantangan di tengah gejolak global. Lingkungan bisnis global yang belum juga kunjung membaik mendorong para pelaku bisnis mengedepankan besarnya permintaan domestik sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi kredit, hal ini berarti semakin besarnya porsi kredit konsumtif karena tingginya pertumbuhan kredit pada tiga segmen pasar, yaitu kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), dan kartu kredit. Pertumbuhan yang terlalu cepat di tiga segmen ini, khususnya sejak September 2011, berpotensi  menimbulkan kerawanan pada perekonomian, seperti naiknya harga-harga properti, kendaraan bermotor, dan barang konsumtif lainnya, secara tidak wajar.

Kenaikan harga-harga barang tersebut yang didorong oleh kenaikan daya beli nyata masyarakat (genuine demand) merupakan hal yang wajar. Namun, kenaikan harga-harga yang lebih didorong oleh kenaikan kredit untuk membeli barang-barang tersebut sifatnya tidak genuinedan sangat berpotensi menimbulkan gelembung harga aset.

Gubernur BI secara tepat sekali mengantisipasi potensi risiko penggelembungan harga aset ini. Apabila tidak segera dicegah, dapat memicu ketidakstabilan makro dan sistem keuangan. Untuk hal inilah, Bapepam-LK dan BI menerapkan instrumen makroprudensial berupa pengaturan loan to value (LTV) serta down payment untuk KPR dan KKB pada Maret 2012. Pada saat itu, peraturan LTV dan down payment belum diberlakukan pada produk KPR dan KKB syariah. Dampaknya pada KPR dan KKB konvensional mulai terlihat pada melambatnya pertumbuhan. Sebaliknya, pertumbuhan KKB syariah menunjukkan percepatan pertumbuhan meskipun kenaikan KKB syariah jauh lebih kecil dibandingkan penurunan KKB konvensional. Sedangkan, KPR syariah belum terlihat peningkatan yang signifikan.

Perpindahan kredit konvensional ke pembiayaan syariah akibat adanya perbedaan pengaturan inilah yang diebut oleh Gubernur BI sebagai regulatory arbitrage. Pengaturan LTV dan down payment di kredit konvensional yang lebih ketat dibandingkan dengan pembiayaan syariah yang belum diatur saat itu akan menyebabkan tujuan makroprudensial tidak tercapai. Itu sebabnya, BI dan juga Bapepam-LK akan memberlakukan ketentuan LTV dan down payment untuk KPR dan KKB syariah.

Sepintas, kebijakan tersebut terasa membatasi pertumbuhan pembiayaan syariah yang selama beberapa bulan ini mulai memanfaatkan peluang bisnis akibat adanya regulatory arbitrage. Namun, bila dicermati lebih baik, kebijakan ini merupakan terobosan cerdas yang akan menempatkan industri keuangan syariah pada posisi yang strategis dalam mengantisipasi gejolak ekonomi.

Pertama, regulatory arbitrage yang timbul dalam beberapa bulan ini tentunya telah diperhitungkan dengan matang oleh BI dan Bapepam- LK ketika mengeluarkan ketentuan LTV dan down payment pada Maret 2012. Kebijakan selalu bersifat dinamis, kadang bersifat ekspansi kadang bersifat kontraksi.
Atau, dalam bahasa Gubernur BI, "policy is an art rather than science".

Kedua, perlakuan yang sama atas LTV dan down payment bagi lembaga keuangan konvensional maupun lembaga keuangan syariah akan memberikan level of playing field yang sama. Bagi lembaga keuangan syariah, hal ini lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelum Maret 2012.

Sebelum pemberlakuan kebijakan yang dapat menimbulkan regulatory arbitrage pada Maret 2012 itu, lembaga keuangan konvensional lazim memberikan KKB dengan down payment lebih kecil dari 20 persen. Sedangkan, lembaga keuangan syariah lebih lazim memberlakukan down payment minimal 20 persen.

Pada periode itu, lembaga keuangan konvensional lebih kompetitif untuk melakukan ekspansi. Setelah Maret 2012, lembaga keuangan syariah lebih kompetitif untuk melakukan ekspansi. Dengan adanya kebijakan baru yang meng hilangkan arbitrage, daya kompetitif untuk ekspansi keduanya sama.

Ketiga, kebijakan baru BI mengaitkan down payment dengan penggunaan akad yang berbeda. KPR murabahah diberlakukan down payment yang sama dengan KPR konvensional. KPR musyarakah mutanaqisah (MMQ) dan ijarah diberlakukan down payment yang lebih ringan.

KPR mudarabah bahkan lebih ringan lagi perlakuan down payment-nya. Ada dua pesan penting dari multilayered down payment ini. Pertama, adanya antisipasi kenaikan tingkat suku bunga yang lebih mudah diakomodasi dengan akad-akad nonmurabahah. Kedua, antisipasi recovery risk untuk akad yang berbeda. Keempat, kebijakan multilayered down payment yang akan diberlakukan pada KPR ini dapat diduga akan diberlakukan pula terhadap KKB pada saatnya. Karakteristik risiko yang berbeda di masing-masing akad yang tepat di berlakukan pada KPR syariah sepatutnya diberlakukan pula pada KKB syariah untuk memberikan level of playing field yang sama. Risiko KKB konvensional sama dengan risiko KKB murabahah.

Namun, risiko KKB konvensional tidak sama identik dengan risiko KKB nonmurabahah, terutama recovery risk dan risiko perubahan bunga (interest rate risk). Untuk kedua jenis risiko ini, KKB nonmurabahah jauh lebih kecil dibanding KKB konvensional dan juga dibanding KKB murabahah. Pemberlakuan multilayered down payment untuk KKB syariah adalah upaya untuk menghindari regulatory arbitrage.

Upaya memberikan level of playing field yang sama bagi lembaga keuangan konvensional dan syariah atau dalam istilah Gubernur BI, upaya menghindari regulatory arbitrage, perlu terus dilakukan. Hal ini akan mempercepat terbukanya akses bagi seluruh lapisan masyarakat (inklusif), baik untuk produk keuangan konvensional maupun syariah.

Gubernur BI secara sangat tepat merumuskan "strong growth is not necessarily inclusive. But, inclusive growth is a more sustained and optimal growth".
Kemampuan perbankan syariah menjangkau pasar terbukti efektif. Dengan pangsa pasar aset yang hanya empat persen, bank syariah berhasil meraih 10 juta nasabah. Kemampuan inklusif ini patut dikembangkan terus dengan memberikan level of playing field yang sama. Survei Bank Dunia bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia belum terjamah akses keuangan formal merupakan tantangan lembaga keuangan konvensional dan syariah.

Kita patut bersyukur atas kejelian BI dan Bapepam-LK mengantisipasi tantangan di tengah gejolak ekonomi global. Kebijakan baru yang disampaikan pada Pertemuan Tahunan Perbankan itu merupakan kado berharga. Hanya dengan makro dan mikroprudensial, industri keuangan syariah akan tumbuh optimal dan berkesinambungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar