Memahami
Kebijakan Baru BI
Adiwarman A Karim ; Peneliti
di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
03 Desember 2012
Pidato Gubernur Bank
Indonesia Darmin Nasution dalam Pertemuan Tahunan Perbankan pada 23 November memberikan
angin segar dan menambah keyakinan akan kesiapan Indonesia menghadapi
tantangan di tengah gejolak global. Lingkungan bisnis global yang belum juga
kunjung membaik mendorong para pelaku bisnis mengedepankan besarnya
permintaan domestik sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi kredit, hal
ini berarti semakin besarnya porsi kredit konsumtif karena tingginya pertumbuhan
kredit pada tiga segmen pasar, yaitu kredit pemilikan rumah (KPR), kredit
kendaraan bermotor (KKB), dan kartu kredit. Pertumbuhan yang terlalu cepat di
tiga segmen ini, khususnya sejak September 2011, berpotensi menimbulkan
kerawanan pada perekonomian, seperti naiknya harga-harga properti, kendaraan
bermotor, dan barang konsumtif lainnya, secara tidak wajar.
Kenaikan harga-harga
barang tersebut yang didorong oleh kenaikan daya beli nyata masyarakat (genuine demand) merupakan hal yang
wajar. Namun, kenaikan harga-harga yang lebih didorong oleh kenaikan kredit
untuk membeli barang-barang tersebut sifatnya tidak genuinedan sangat
berpotensi menimbulkan gelembung harga aset.
Gubernur BI secara
tepat sekali mengantisipasi potensi risiko penggelembungan harga aset ini.
Apabila tidak segera dicegah, dapat memicu ketidakstabilan makro dan sistem
keuangan. Untuk hal inilah, Bapepam-LK dan BI menerapkan instrumen
makroprudensial berupa pengaturan loan
to value (LTV) serta down payment untuk
KPR dan KKB pada Maret 2012. Pada saat itu, peraturan LTV dan down payment belum diberlakukan pada
produk KPR dan KKB syariah. Dampaknya pada KPR dan KKB konvensional mulai
terlihat pada melambatnya pertumbuhan. Sebaliknya, pertumbuhan KKB syariah
menunjukkan percepatan pertumbuhan meskipun kenaikan KKB syariah jauh lebih
kecil dibandingkan penurunan KKB konvensional. Sedangkan, KPR syariah belum
terlihat peningkatan yang signifikan.
Perpindahan kredit
konvensional ke pembiayaan syariah akibat adanya perbedaan pengaturan inilah
yang diebut oleh Gubernur BI sebagai regulatory
arbitrage. Pengaturan LTV dan down
payment di kredit konvensional yang lebih ketat dibandingkan dengan
pembiayaan syariah yang belum diatur saat itu akan menyebabkan tujuan
makroprudensial tidak tercapai. Itu sebabnya, BI dan juga Bapepam-LK akan
memberlakukan ketentuan LTV dan down
payment untuk KPR dan KKB syariah.
Sepintas, kebijakan
tersebut terasa membatasi pertumbuhan pembiayaan syariah yang selama beberapa
bulan ini mulai memanfaatkan peluang bisnis akibat adanya regulatory arbitrage. Namun, bila
dicermati lebih baik, kebijakan ini merupakan terobosan cerdas yang akan menempatkan
industri keuangan syariah pada posisi yang strategis dalam mengantisipasi
gejolak ekonomi.
Pertama, regulatory arbitrage yang timbul dalam
beberapa bulan ini tentunya telah diperhitungkan dengan matang oleh BI dan
Bapepam- LK ketika mengeluarkan ketentuan LTV dan down payment pada Maret 2012. Kebijakan selalu bersifat dinamis,
kadang bersifat ekspansi kadang bersifat kontraksi.
Atau, dalam bahasa Gubernur BI, "policy is an art rather than science".
Kedua, perlakuan yang
sama atas LTV dan down payment bagi
lembaga keuangan konvensional maupun lembaga keuangan syariah akan memberikan
level of playing field yang sama.
Bagi lembaga keuangan syariah, hal ini lebih baik dibandingkan dengan keadaan
sebelum Maret 2012.
Sebelum pemberlakuan
kebijakan yang dapat menimbulkan regulatory
arbitrage pada Maret 2012 itu, lembaga keuangan konvensional lazim
memberikan KKB dengan down payment lebih
kecil dari 20 persen. Sedangkan, lembaga keuangan syariah lebih lazim
memberlakukan down payment minimal
20 persen.
Pada periode itu,
lembaga keuangan konvensional lebih kompetitif untuk melakukan ekspansi.
Setelah Maret 2012, lembaga keuangan syariah lebih kompetitif untuk melakukan
ekspansi. Dengan adanya kebijakan baru yang meng hilangkan arbitrage, daya
kompetitif untuk ekspansi keduanya sama.
Ketiga, kebijakan baru BI mengaitkan down
payment dengan penggunaan akad yang berbeda. KPR murabahah diberlakukan down
payment yang sama dengan KPR konvensional. KPR musyarakah mutanaqisah (MMQ) dan ijarah diberlakukan down payment yang lebih ringan.
KPR mudarabah bahkan lebih ringan lagi
perlakuan down payment-nya. Ada dua
pesan penting dari multilayered down
payment ini. Pertama, adanya antisipasi kenaikan tingkat suku bunga yang
lebih mudah diakomodasi dengan akad-akad nonmurabahah. Kedua, antisipasi recovery risk untuk akad yang berbeda.
Keempat, kebijakan multilayered down payment yang akan
diberlakukan pada KPR ini dapat diduga akan diberlakukan pula terhadap KKB pada
saatnya. Karakteristik risiko yang berbeda di masing-masing akad yang tepat
di berlakukan pada KPR syariah sepatutnya diberlakukan pula pada KKB syariah
untuk memberikan level of playing field
yang sama. Risiko KKB konvensional sama dengan risiko KKB murabahah.
Namun, risiko KKB konvensional
tidak sama identik dengan risiko KKB nonmurabahah, terutama recovery risk dan risiko perubahan bunga
(interest rate risk). Untuk
kedua jenis risiko ini, KKB nonmurabahah
jauh lebih kecil dibanding KKB konvensional dan juga dibanding KKB murabahah.
Pemberlakuan multilayered down payment
untuk KKB syariah adalah upaya untuk menghindari regulatory arbitrage.
Upaya memberikan level of playing field yang sama bagi
lembaga keuangan konvensional dan syariah atau dalam istilah Gubernur BI, upaya
menghindari regulatory arbitrage,
perlu terus dilakukan. Hal ini akan mempercepat terbukanya akses bagi seluruh
lapisan masyarakat (inklusif), baik untuk produk keuangan konvensional maupun
syariah.
Gubernur BI secara
sangat tepat merumuskan "strong
growth is not necessarily inclusive. But, inclusive growth is a more
sustained and optimal growth".
Kemampuan perbankan syariah menjangkau pasar terbukti efektif. Dengan pangsa pasar aset yang hanya empat persen, bank syariah berhasil meraih 10 juta nasabah. Kemampuan inklusif ini patut dikembangkan terus dengan memberikan level of playing field yang sama. Survei Bank Dunia bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia belum terjamah akses keuangan formal merupakan tantangan lembaga keuangan konvensional dan syariah.
Kita patut bersyukur
atas kejelian BI dan Bapepam-LK mengantisipasi tantangan di tengah gejolak
ekonomi global. Kebijakan baru yang disampaikan pada Pertemuan Tahunan
Perbankan itu merupakan kado berharga. Hanya dengan makro dan mikroprudensial,
industri keuangan syariah akan tumbuh optimal dan berkesinambungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar