Jumat, 14 Desember 2012

Penyempitan Keadilan HAM


Penyempitan Keadilan HAM
Al Andang L Binawan ;  Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
KOMPAS, 13 Desember 2012


Tidak gampang merumuskan makna keadilan meski bisa disederhanakan sebagai jaminan akan hidup yang baik, tetapi tidak sekadar hidup minimal dalam arti fisik semata.

Rumusan tentang HAM dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 10 Desember 1948 tentu mengacu pada paham keadilan ini. Bahwa kemudian rumusan HAM tak bisa maksimal, itu sangat bisa dipahami. Setidaknya tiga pola reduksi atau penyempitan HAM ditilik dari cakrawala keadilan.

Yang pertama disebut reduksi epistemo-linguistik. Reduksi ini terkait dengan tidak mungkin utuhnya suatu konsep tentang HAM sekaligus tak mungkin penuhnya suatu rumusan merangkum konsep itu. Setidaknya tiap upaya perumusan akan mengandung dan mengundang kritik.

Di sisi epistemologis, keterbatasan manusia memahami hidupnya adalah kendalanya. Kemudian di sisi linguistik, keterbatasan suatu kata mengungkapkan suatu gagasan adalah kendala berikutnya. Lebih jauh, kendala itu akan kian besar ketika suatu konsep atau gagasan dengan latar budaya tertentu harus diterjemahkan dengan bahasa asing.

Pada bagian ini reduksi bersifat tak terhindarkan. Orang tidak perlu terlalu risau meski tetap perlu mengupayakan agar suatu rumusan makin maksimal. Yang dibutuhkan adalah diskusi dalam ranah konseptual agar rumusan HAM bukan hanya makin berbobot dan berisi, tetapi juga makin relevan dengan zaman. Dalam ranah ini peran kaum intelektual sangat penting.

Reduksi jenis kedua bersifat legal-institusional. Seperti dipahami umum, bahasa hukum adalah bahasa khusus karena menekankan ketepatan. Karena itu, di sisi ini kendala linguistik masih kentara. Dengan demikian, porsi keniscayaan suatu reduksi di ranah ini masih bisa dipahami.

Pun hukum juga mengandaikan penegakan melalui lembaga- lembaga. Idealnya, dibentuknya lembaga serta otoritasnya sungguh mau mendukung penegakan hukum HAM. Bahwa mungkin belum bisa maksimal, itu masih bisa dipahami, tetapi akan menjadi tak bisa dipahami (maka layak diprotes) jika suatu lembaga penting tak dibentuk atau dibentuk, tetapi dengan otoritas terbatas. Kasus upaya pelemahan Komnas HAM beberapa waktu lalu ada pada ranah ini. Tugas politisi dan warga kebanyakan memperjuangkannya.

Patut dicatat bahwa dalam ranah hukum ini, warna politik sangat kentara. Perdebatan dan kompromi berbagai kepentingan untuk menentukan suatu rumusan menjadi latarnya. Di sini reduksi bisa dipahami hanya jika dasar argumentasinya memang relevan dan tetap mengedepankan kepentingan umum. Sebalik- nya akan tak terpahami jika kompromi politik berpijak pada argu- mentasi kepentingan parsial dan temporal belaka, apalagi jika jarak antara isi rumusan legal dan rumusan konseptual HAM terlalu jauh.

Idealnya, lembaga penegakan HAM mengandaikan aparat yang berkualitas dan bisa menjalankan tugas lembaga itu dengan baik. Dalam kenyataan ada jarak antara cita-cita sebuah lembaga dan aparatnya. Hal ini tampak dalam tidak optimal dan maksimalnya kinerja aparatnya. Inilah reduksi operasional itu.

Dalam hal ini tugas penegak hukumlah, termasuk pemerintah sebagai lembaga eksekutif, menjaga agar jarak atau reduksi itu diminimalkan. Pada porsi tertentu, jarak atau kurang maksimalnya suatu penegakan hukum HAM masih bisa dipahami. Masih ada toleransi meski kecil saja. Artinya, dalam ranah ini, tuntutan maksimalisasinya semakin tinggi.

Rapor merah penegakan HAM di Indonesia seperti yang sering dilansir beberapa lembaga riset, baik nasional maupun internasional, ada dalam ranah ini. Lembaga ini bisa menjadi corong masyarakat agar penegakan hukum HAM tidak melewati ambang batas minimal dan syukur-syukur bisa maksimal.

Ranah Perjuangan

Dengan pembedaan tiga ranah reduksi HAM itu, mau dikatakan bahwa perjuangan membela HAM juga bisa dipilah dalam tiga rentang waktu. Pada ranah konseptual, rentang waktunya panjang. Untuk sementara, rumusan yang ada, terutama dalam DUHAM 1948, dengan segala reduk- sinya diterima sambil berproses untuk memperbaikinya.

Jika tetap ngotot memperjuangkan reduksinya dalam rentang waktu pendek, misalnya dengan menekankan relativisme budaya seperti pernah diperjuangkan beberapa politisi Indonesia, operasionalisasi akan dilupakan. Pada ranah ini yang berbicara bukan para politisi, melainkan para intelektual. Jika yang bicara politisi, kesan membela dan membenarkan diri kentara.

Pada ranah legal rentang waktunya menengah. Politisi berjuang membuat hukum yang bisa menjamin hidup yang lebih baik warga negara. Selain itu, bisa juga mencermati jarak antara rumusan hukum dan lembaga yang terkait beserta otoritasnya. Tujuannya jelas: cita-cita yang termaktub dalam suatu rumusan hukum bisa diwujudkan. Kaum intelektual tetap berperan mencermati rumusan itu. Masukan ini, disatukan dengan pencermat- an para politisi, bisa diterjemahkan dalam perubahan hukum yang tak terlalu sering atau waktunya terlalu pendek. Perubahannya bersifat menengah, antara lima dan sepuluh tahun.

Akhirnya pada ranah operasional, jelas rentang waktunya pendek. Upaya dan perjuangan penegakan ada dalam kekinian. Penundaan, apalagi pelupaan, akan menampakkan ketidakseriusan perwujudan keadilan HAM, yang bisa diartikan para penegak itu tak berdaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar