Penyempitan
Keadilan HAM
Al Andang L Binawan ; Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
13 Desember 2012
Tidak gampang merumuskan makna keadilan
meski bisa disederhanakan sebagai jaminan akan hidup yang baik, tetapi tidak
sekadar hidup minimal dalam arti fisik semata.
Rumusan tentang HAM dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 10 Desember 1948 tentu mengacu pada paham
keadilan ini. Bahwa kemudian rumusan HAM tak bisa maksimal, itu sangat bisa
dipahami. Setidaknya tiga pola reduksi atau penyempitan HAM ditilik dari
cakrawala keadilan.
Yang pertama disebut reduksi
epistemo-linguistik. Reduksi ini terkait dengan tidak mungkin utuhnya suatu
konsep tentang HAM sekaligus tak mungkin penuhnya suatu rumusan merangkum
konsep itu. Setidaknya tiap upaya perumusan akan mengandung dan mengundang
kritik.
Di sisi epistemologis, keterbatasan manusia
memahami hidupnya adalah kendalanya. Kemudian di sisi linguistik, keterbatasan
suatu kata mengungkapkan suatu gagasan adalah kendala berikutnya. Lebih jauh,
kendala itu akan kian besar ketika suatu konsep atau gagasan dengan latar
budaya tertentu harus diterjemahkan dengan bahasa asing.
Pada bagian ini reduksi bersifat tak
terhindarkan. Orang tidak perlu terlalu risau meski tetap perlu mengupayakan
agar suatu rumusan makin maksimal. Yang dibutuhkan adalah diskusi dalam ranah
konseptual agar rumusan HAM bukan hanya makin berbobot dan berisi, tetapi
juga makin relevan dengan zaman. Dalam ranah ini peran kaum intelektual
sangat penting.
Reduksi jenis kedua bersifat
legal-institusional. Seperti dipahami umum, bahasa hukum adalah bahasa khusus
karena menekankan ketepatan. Karena itu, di sisi ini kendala linguistik masih
kentara. Dengan demikian, porsi keniscayaan suatu reduksi di ranah ini masih
bisa dipahami.
Pun hukum juga mengandaikan penegakan
melalui lembaga- lembaga. Idealnya, dibentuknya lembaga serta otoritasnya
sungguh mau mendukung penegakan hukum HAM. Bahwa mungkin belum bisa maksimal,
itu masih bisa dipahami, tetapi akan menjadi tak bisa dipahami (maka layak
diprotes) jika suatu lembaga penting tak dibentuk atau dibentuk, tetapi
dengan otoritas terbatas. Kasus upaya pelemahan Komnas HAM beberapa waktu
lalu ada pada ranah ini. Tugas politisi dan warga kebanyakan
memperjuangkannya.
Patut dicatat bahwa dalam ranah hukum ini,
warna politik sangat kentara. Perdebatan dan kompromi berbagai kepentingan
untuk menentukan suatu rumusan menjadi latarnya. Di sini reduksi bisa dipahami
hanya jika dasar argumentasinya memang relevan dan tetap mengedepankan
kepentingan umum. Sebalik- nya akan tak terpahami jika kompromi politik
berpijak pada argu- mentasi kepentingan parsial dan temporal belaka, apalagi
jika jarak antara isi rumusan legal dan rumusan konseptual HAM terlalu jauh.
Idealnya, lembaga penegakan HAM
mengandaikan aparat yang berkualitas dan bisa menjalankan tugas lembaga itu
dengan baik. Dalam kenyataan ada jarak antara cita-cita sebuah lembaga dan
aparatnya. Hal ini tampak dalam tidak optimal dan maksimalnya kinerja
aparatnya. Inilah reduksi operasional itu.
Dalam hal ini tugas penegak hukumlah,
termasuk pemerintah sebagai lembaga eksekutif, menjaga agar jarak atau
reduksi itu diminimalkan. Pada porsi tertentu, jarak atau kurang maksimalnya
suatu penegakan hukum HAM masih bisa dipahami. Masih ada toleransi meski
kecil saja. Artinya, dalam ranah ini, tuntutan maksimalisasinya semakin
tinggi.
Rapor merah penegakan HAM di Indonesia
seperti yang sering dilansir beberapa lembaga riset, baik nasional maupun
internasional, ada dalam ranah ini. Lembaga ini bisa menjadi corong
masyarakat agar penegakan hukum HAM tidak melewati ambang batas minimal dan
syukur-syukur bisa maksimal.
Ranah Perjuangan
Dengan pembedaan tiga ranah reduksi HAM itu,
mau dikatakan bahwa perjuangan membela HAM juga bisa dipilah dalam tiga
rentang waktu. Pada ranah konseptual, rentang waktunya panjang. Untuk
sementara, rumusan yang ada, terutama dalam DUHAM 1948, dengan segala reduk-
sinya diterima sambil berproses untuk memperbaikinya.
Jika tetap ngotot memperjuangkan reduksinya
dalam rentang waktu pendek, misalnya dengan menekankan relativisme budaya
seperti pernah diperjuangkan beberapa politisi Indonesia, operasionalisasi
akan dilupakan. Pada ranah ini yang berbicara bukan para politisi, melainkan
para intelektual. Jika yang bicara politisi, kesan membela dan membenarkan
diri kentara.
Pada ranah legal rentang waktunya menengah.
Politisi berjuang membuat hukum yang bisa menjamin hidup yang lebih baik
warga negara. Selain itu, bisa juga mencermati jarak antara rumusan hukum dan
lembaga yang terkait beserta otoritasnya. Tujuannya jelas: cita-cita yang
termaktub dalam suatu rumusan hukum bisa diwujudkan. Kaum intelektual tetap
berperan mencermati rumusan itu. Masukan ini, disatukan dengan pencermat- an
para politisi, bisa diterjemahkan dalam perubahan hukum yang tak terlalu
sering atau waktunya terlalu pendek. Perubahannya bersifat menengah, antara
lima dan sepuluh tahun.
Akhirnya pada ranah operasional, jelas
rentang waktunya pendek. Upaya dan perjuangan penegakan ada dalam kekinian.
Penundaan, apalagi pelupaan, akan menampakkan ketidakseriusan perwujudan
keadilan HAM, yang bisa diartikan para penegak itu tak berdaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar