Saatnya
Membatasi Transaksi Tunai
Muhammad Yusuf ; Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan
|
KORAN
TEMPO, 20 Desember 2012
Sudah saatnya pemerintah
Indonesia membatasi transaksi tunai di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan
guna menghindari dan menurunkan angka kejahatan korupsi, khususnya suap,
gratifikasi, pemerasan, pendanaan terorisme, dan tindak pidana pencucian uang
yang semakin hari jumlahnya terus membengkak. Menurut data statistik yang
dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
tren korupsi dan penyuapan mengalami kenaikan secara signifikan. Sampai
pertengahan 2012, hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik
sebanyak 877 kasus korupsi dan 75 kasus penyuapan, yang modusnya antara lain
menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang
asing, dan cek perjalanan.
Modus pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai
ini adalah untuk menyulitkan upaya pentrasiran/pelacakan asal-usul sumber
dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana
(beneficiary). Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana oknum petugas pajak
Tomy Hendratno, kepala seksi pelayanan dan konsultasi di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Sidoarjo, tertangkap tangan. Tomy tertangkap setelah kedapatan
menerima uang senilai Rp 285 juta yang diduga dari James Gunarjo, seorang
pengusaha. Sebelumnya, Dharnawati, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua, diciduk
petugas Komisi Pemberantasan Korupsi setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar
yang dibungkus kardus durian. KPK juga menangkap tangan I Nyoman Suisnaya dan
Dadong Irbarelawan beserta kardus durian di kantor Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Duit itu bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena
terpilih sebagai kontraktor Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
(DPPID) di empat kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan
Mimika, senilai Rp 73 miliar.
Selain pembatasan transaksi tunai, pemerintah perlu
pula mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang
yang nilainya kuat seperti dolar Amerika dan dolar Singapura, misalnya dengan
menerapkan EDD (enhanced due diligence)
secara lebih ketat. Mata uang ini kerap kali dipakai sebagai transaksi
korupsi dan penyuapan, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif. Ada beberapa motif pelaku tindak pidana menggunakan transaksi
tunai, antara lain: dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana pencucian
uang dan mempersulit PPATK dalam melakukan analisis transaksi keuangan
mencurigakan.
Adanya pembatasan transaksi dalam bentuk tunai akan
melindungi masyarakat, misalnya dapat menghindarkan masyarakat dari
mendapatkan uang palsu dalam transaksi yang bersifat tunai dan mendorong
penyelesaian transaksi melalui perbankan. Kebijakan ini berimplikasi pada
perekonomian dalam beberapa aspek, seperti meningkatnya jumlah dan aliran
uang masuk ke sistem perbankan. Sebagai akibatnya, suplai dana yang dapat
disalurkan dan digunakan oleh perbankan, baik untuk aktivitas di pasar
keuangan maupun sektor riil, akan lebih banyak. Kegiatan ini di satu sisi
dapat meningkatkan aktivitas perekonomian serta meningkatkan kecepatan
peredaran uang (velocity of money).
Pada sisi lain, penghematan pencetakan uang, baik kertas maupun logam, yang
dapat dilakukan dari pembatasan transaksi tunai ini cukup signifikan.
Rata-rata kenaikan pesanan cetak setiap tahunnya sebesar 710 juta
bilyet/keping (20,2 persen), dengan biaya pengadaan rata-rata mengalami
kenaikan sebesar Rp 133 miliar per tahunnya.
Negara Lain
Banyak negara saat ini sudah menerapkan kebijakan
pembatasan transaksi tunai untuk mencegah terjadinya tindak pidana penyuapan,
korupsi, pendanaan terorisme, dan tindak pidana pencucian uang, seperti
Italia, Meksiko, Prancis, Belgia, Armenia, Amerika Serikat, Bulgaria, dan
Ukraina. Di Meksiko, Menteri Keuangannya mengeluarkan regulasi Anti-Money
Laundering, yang membatasi jumlah uang tunai dalam bentuk mata uang dolar
Amerika yang akan diterima/ditransaksikan dengan perbankan Meksiko. Ketentuan
baru ini dimaksudkan untuk mencegah risiko pencucian uang yang berasal dari
narkotik dan kejahatan lintas batas negara yang marak terjadi di negara yang
berbatasan dengan Amerika Serikat, Guatemala, dan Belize di sebelah tenggara
dan Samudra Pasifik di bahagian baratnya.
Untuk transaksi pertukaran nilai mata uang antara dolar
AS dan peso, batas maksimal adalah US$ 1.500. Untuk pembelian barang dan
jasa, maksimal US$ 100. Kemudian diatur pula ihwal larangan pembelian real
estat secara tunai, larangan menghabiskan lebih dari setara US$ 7.700 mata
uang Meksiko secara tunai untuk keperluan pembelian kendaraan, boat, pesawat,
dan barang mewah. Atas pelanggaran terhadap ketentuan ini, otoritas di
Meksiko dapat memidanakan hingga 15 tahun penjara.
Untuk Indonesia, menurut saya, perlu diatur agar
transaksi setoran tunai untuk jumlah lebih besar dari Rp 100 juta wajib
ditolak atau wajib dilakukan secara pemindahbukuan. Apabila transaksi di atas
dilakukan oleh bukan nasabah bank yang bersangkutan, penyetor tunai dapat
membuka rekening simpanan di bank tersebut atau dapat menggunakan rekening di
bank lainnya atas nama penyetor untuk kemudian mentransfer ke rekening bank
pihak yang dituju. Di beberapa bank asing, hal ini sudah diterapkan.
Agar pembatasan transaksi
tunai ini tidak hanya sebatas wacana, saya berharap pemerintah segera
menyusun Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai untuk segera
disahkan menjadi undang-undang, tapi disadari pula bahwa membuat
undang-undang bukan merupakan hal yang mudah dan cepat. Sembari menunggu
proses itu berjalan, ada baiknya Bank Indonesia sebagai otoritas moneter
dapat mengeluarkan peraturan Bank Indonesia (PBI) yang membatasi transaksi
tunai di Indonesia. Adanya undang-undang atau PBI yang mengatur kebijakan
pembatasan transaksi tunai akan memberikan dampak positif terhadap upaya
pemerintah dan kita semua dalam mencegah dan memberantas korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar