Kamis, 20 Desember 2012

Membangun Kerja Sama KPU-Bawaslu


Membangun Kerja Sama KPU-Bawaslu
Arif Maruf Suha ;  Ketua Yayasan Rumah Good Governance
SUARA KARYA, 20 Desember 2012



Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pemilu di Indonesia dilaksanakan oleh tiga lembaga independen, yaitu Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
KPU bertugas melaksanakan penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu, baik Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, maupun memilih Presiden dan Wakil Presiden. Bawaslu bertugas mengawasi jalannya seluruh tahapan pelaksanaan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan guna menjamin terimplementasikannya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu sebagaimana ketentuan UU (jujur, adil, bebas, rahasia, transparan, berkepastian hukum, dan lain sebagainya). Sedangkan DKPP adalah pihak yang memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU maupun Bawaslu.
Di antara ketiga lembaga penyelenggara pemilu, ternyata lembaga pelaksana (KPU) dengan pihak pengawas (Bawaslu) lebih sering terdengar, setidaknya terkesan, saling berhadapan. Masing-masing pihak seperti berlomba-bersaing menunjukkan capaian kinerjanya kepada publik. Pemicu 'persaingan' keduanya adalah masalah keterbukaan atau transparansi. KPU dan Bawaslu melalui media massa saling memberikan pernyataan yang sifatnya menyerang dan atau bertahan.
Langkah tersebut di atas tidak salah karena apa yang dilakukan oleh KPU maupun Bawaslu adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sebagai penyelenggara pemilu guna menjaga demokrasi pemilu secara keseluruhan. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar kesan 'persaingan' kedua lembaga tersebut mampu menggerakkan dan mendorong perluasan tingkat partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu secara lebih masif, bukan sebaliknya.
Seluruh tahapan pelaksanaan pemilu mewajibkan adanya keterbukaan. Karena hal tersebut, apabila tuntutan 'transparansi' tidak dikelola secara baik, maka hampir seluruh tahapan pemilu (misalnya penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, pemungutan dan penghitungan suara, dan lain sebagainya), potensial membuka ruang ketegangan antara KPU dan Bawaslu. Potensi ini harus menjadi perhatian bersama guna menghindari kegaduhan-kegaduhan tidak penting yang akhirnya menggerogoti sendi-sendi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
Sesungguhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Semakin kuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu, maka sudah dapat dipastikan akan semakin besar tingkat partisipasi masyarakat. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dan kredibelitas lembaga penyelenggara pemilu sama penting dengan menjaga demokrasi itu sendiri.
Bahwa anggota forum lembaga penyelenggara pemilu diambil dari berbagai unsur masyarakat adalah juga dalam rangka menjaga wibawa dan kepercayaan terhadap lembaga pemilu yang professional dan kredibel. Perlu diingat bersama, salah satu reason de etre lahirnya lembaga independen penyelenggara pemilu pada era reformasi adalah karena adanya ketidakpercayaan masyarakat pemilih terhadap profesionalisme dan kredibelitas pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan pemilu.
Kita semua berharap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemilu yang ada sekarang terus dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Karena, sampai saat ini lembaga independen penyelenggara pemilu masih dipandang sebagai instrument-kelembagaan terbaik guna melahirkan pemilu yang berkualitas berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu, pekerjaan kita adalah bagaimana menjaga lembaga independen penyelenggara pemilu agar tidak terganggu dari anasir-anasir yang tidak menyehatkan bagi terselenggaranya pemilu demokratis.
Lahirnya KPU dan Bawaslu sebagai lembaga independen penyelenggara Pemilu di Indonesia sebetulnya merupakan buah upaya-upaya penyempurnaan transparansi pelaksanaan pemilihan umum. Masalahnya, pemilu-pemilu pada masa Orde Baru dicurigai sarat dengan manipulasi-manipulasi dan pembajakan-pembajakan demokrasi dalam proses pemilu oleh pihak-pihak tertentu.
Menurut UU tentang Penyelenggara Pemilu, posisi KPU dan Bawaslu adalah sejajar, yang membedakan hanya tugas dan fungsi. Karena tugas fungsi yang berbeda ini, sepintas, keduanya tidak mungkin melakukan kerja sama, mengingat KPU sebagai unsur pelaksana, sedangkan Bawaslu sebagai unsur pengawas. Namun, apabila melihat pada UU tentang Penyelenggara Pemilu, kerja sama kedua lembaga dimaksud sangat mungkin dilakukan dalam koridor tugas fungsi masing-masing. Karena, sejatinya kedua lembaga penyelenggara pemilu ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat secara demokratis.
Oleh sebab itu, aspek pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran pemilu menjadi tugas penting KPU maupun Bawaslu. KPU dengan kewenangan yang dimiliki melakukan tindakan-tindakan hukum kepada perseorangan serta parpol calon dan atau peserta pemilu taat pada peraturan. Sedangkan Bawaslu dengan kewenangannya pula melakukan pengawasan dalam rangka pencegahan pelanggaran. Jadi, heavy Bawaslu bukan pada aspek penindakan, tetapi pencegahan.
Salah satu ukuran keberhasilan lembaga penyelenggara pemilu cq KPU dan Bawaslu, adalah peserta pemilu semakin banyak dan angka pelanggaran semakin sedikit. Karena, semakin banyak pengaduan, semakin banyak penindakan, dan hal-hal lain yang sifatnya pelanggaran, akan mendorong pada penafsiran miring terhadap profesionalisme dan kredibelitas lembaga penyelenggara pemilu. Di sinilah kerja sama KPU-Bawaslu dapat dimulai. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar