Kamis, 13 Desember 2012

Runtuhnya Wibawa Hakim


Runtuhnya Wibawa Hakim
Reza Syawawi ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 11 Desember 2012


Kekuasaan kehakiman tengah dirundung duka korupsi. Ranah kuasa yudisial ini tak pernah berhenti menggadaikan putusannya. Dengan label "Demi Ketuhanan yang Maha Esa", setiap ketukan palu sang hakim selalu ada harganya. Masih sangat berbekas di ingatan kita ketika pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di beberapa daerah ramai-ramai memutus bebas banyak terdakwa korupsi. Tak berselang lama kemudian terdengar kabar ada hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap. 
Belakangan muncul kasus serupa, ada dugaan skandal tiga hakim agung di balik putusan peninjauan kembali (PK) atas kasus terpidana narkoba Hanky Gunawan. Putusan PK tersebut mengubah pidana mati menjadi pidana 15 tahun penjara. Bahkan seorang hakim agung yang menjadi salah satu majelis hakim PK tersebut ditengarai memalsukan putusan dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara. Hakim agung tersebut adalah Imron Anwari, Ahmad Yamani, dan Nyak Pha (majalah Tempo, edisi 3 September 2012).
Investigasi majalah Tempo tersebut juga menemukan kejanggalan dalam putusan PK yang membebaskan politikus Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Misbakhun. Perkara ini ditangani oleh tiga hakim agung, yaitu Artidjo Alkostar (ketua majelis), Mansur Kartayasa, dan M. Zaharuddin Utama. Putusan PK ini pun tidak diputuskan secara bulat. Hakim Artidjo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim lainnya karena meyakini tidak ada alasan hukum yang bisa membebaskan Misbakhun. 
Hakim "Pasaran"
Rentetan kasus ini hanya bagian kecil dari potret dunia para hakim. Sebagai pemutus perkara, setiap putusannya adalah cerminan dari kredibilitas, kapabilitas, dan integritasnya sebagai seorang hakim. Seorang hakim bukan sekadar corong dari sebuah undang-undang. Ia juga menjadi pembuat atau pembentuk hukum (judge made law). Maka, tugas hakim yang sebenarnya adalah menjamin tercapainya kebenaran dan keadilan atas penerapan sebuah aturan. Dunia hakim yang terbentuk saat ini adalah produk dari pendidikan hukum Indonesia yang juga bermasalah.
Mochtar Kusumaatmadja pernah mengkritik keras pendidikan hukum di Indonesia yang disebutnya sebagai warisan kolonial. Pendidikan hukum hanya menghasilkan para tukang (craftsmanship), tapi tidak mampu menerjemahkan kebutuhan hukum dalam masyarakatnya.
Penelitian Dahrendorf tentang hakim di Jerman (Schuyt, 1971: 112) menyimpulkan bahwa para hakim adalah hasil pembinaan dari suatu pola pendidikan yang berasal dari generasi sebelumnya, terutama yang terdapat di kalangan pengawai negeri. Pola ini menghasilkan hakim dengan ciri pegawai negeri gaya lama yang bertentangan dengan ide demokrasi (Satjipto Rahardjo: 2009).
Penelitian ini setidaknya menggambarkan bahwa suramnya dunia para hakim disebabkan oleh sebuah proses yang buruk dalam menghasilkan seorang hakim. Maka, pertanyaan besar yang semestinya dijawab adalah, apa yang terjadi dalam sistem perekrutan hakim di Indonesia? 
Pendidikan hukum tentu menjadi faktor pertama yang harus ditelaah, apakah telah memenuhi standar kualifikasi profesi hukum, terutama profesi hakim. Pantauan masyarakat sipil dalam proses perekrutan calon hakim agung beberapa waktu lalu, misalnya, menemukan ada calon yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup. 
Bayangkan saja jika ada calon hakim agung yang tidak mengetahui prinsip-prinsip internasional tentang pedoman perilaku hakim (bangalore principle), asas-asas hukum pidana, yurisprudensi, asas non-self incrimination, concurring opinion, perbedaan antara putusan batal demi hukum putusan yang tidak sah, atau perbedaan kompetensi absolut antara peradilan militer dan peradilan umum. Ini semua adalah fakta betapa kualitas keilmuan calon hakim yang memang sangat bermasalah.
Problem keilmuan ini tentu saja diakibatkan oleh buruknya sistem pendidikan hukum. Kita seperti kebanjiran perguruan tinggi hukum, tapi lalai dalam mengawal kualitas lulusan. Dari sisi integritas, ada temuan banyak calon hakim yang lebih terlihat, seperti pencari kerja (job seekers). Calon yang tidak lolos pada seleksi yang lalu karena cacat integritas mencalonkan diri kembali pada proses seleksi berikutnya.
Prof Satjipto Rahardjo dalam bukunya pernah memberikan perbandingan tentang pendidikan hukum di Amerika Serikat. Metode yang dinamakan the case method of instruction memberikan pengenalan hukum kepada mahasiswa tidak melalui peraturan-peraturan yang tertulis, melainkan melalui fakta-fakta kasus (Chambliss and Seidman, Law, Order, and Power: 1971). Metode ini juga memberikan ruang yang lebih besar antara mahasiswa dan guru besar/dosen untuk berdiskusi, sehingga mendidik para mahasiswa memiliki sikap yang tegas dan berpikir secara mandiri. 
Metode ini layak digunakan untuk memutus kebuntuan pendidikan hukum yang cenderung pasif dan melahirkan para tukang (craftsmanship). Dengan begitu, produksi penegak hukum, terutama hakim, bukanlah "asal" sarjana hukum, tapi betul-betul memiliki pemahaman akan profesinya. Ketika pendidikan hukum telah memadai, proses berikutnya yang harus dikritisi adalah perekrutan hakim. Proses yang selama ini ada cenderung hanya memprioritaskan aspek formal, misalnya soal jumlah kuota calon yang harus diserahkan.
Dalam seleksi hakim agung, aspek ini yang justru yang paling sering diperdebatkan oleh DPR. Padahal seleksi di DPR cenderung menjadi pintu masuk bagi calon hakim yang bermasalah. Di luar konteks hukum formal, DPR seharusnya tidak menjadi penentu dipilih-tidaknya seorang hakim. Sebab, pada prinsipnya DPR hanya memiliki preferensi politik dan secara kelembagaan tidak memiliki kompetensi untuk mengukur kapasitas intelektual dan integritas seseorang. 
Pada akhirnya seorang hakim dituntut untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabatnya dengan mencerminkan sikap dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Karena itulah profesi hakim adalah profesi yang terhormat (officium nobile), bahkan profesi yang mulia. Proses menghasilkan seorang hakim yang ideal tidaklah mudah dan melelahkan. Proses formal yang ada saat ini hendaknya tidak menghasilkan hakim "pasaran", hakim yang hanya memutus dengan harga dan permintaan "pasar".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar