Runtuhnya
Wibawa Hakim
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 11 Desember 2012
Kekuasaan
kehakiman tengah dirundung duka korupsi. Ranah kuasa yudisial ini tak pernah
berhenti menggadaikan putusannya. Dengan label "Demi Ketuhanan yang Maha
Esa", setiap ketukan palu sang hakim selalu ada harganya. Masih sangat
berbekas di ingatan kita ketika pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di
beberapa daerah ramai-ramai memutus bebas banyak terdakwa korupsi. Tak
berselang lama kemudian terdengar kabar ada hakim tipikor yang tertangkap
tangan menerima suap.
Belakangan
muncul kasus serupa, ada dugaan skandal tiga hakim agung di balik putusan
peninjauan kembali (PK) atas kasus terpidana narkoba Hanky Gunawan. Putusan
PK tersebut mengubah pidana mati menjadi pidana 15 tahun penjara. Bahkan
seorang hakim agung yang menjadi salah satu majelis hakim PK tersebut
ditengarai memalsukan putusan dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara.
Hakim agung tersebut adalah Imron Anwari, Ahmad Yamani, dan Nyak Pha (majalah
Tempo, edisi 3 September 2012).
Investigasi
majalah Tempo tersebut juga menemukan kejanggalan dalam putusan PK yang
membebaskan politikus Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Misbakhun. Perkara
ini ditangani oleh tiga hakim agung, yaitu Artidjo Alkostar (ketua majelis),
Mansur Kartayasa, dan M. Zaharuddin Utama. Putusan PK ini pun tidak
diputuskan secara bulat. Hakim Artidjo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim
lainnya karena meyakini tidak ada alasan hukum yang bisa membebaskan
Misbakhun.
Hakim "Pasaran"
Rentetan kasus
ini hanya bagian kecil dari potret dunia para hakim. Sebagai pemutus perkara,
setiap putusannya adalah cerminan dari kredibilitas, kapabilitas, dan
integritasnya sebagai seorang hakim. Seorang hakim bukan sekadar corong dari
sebuah undang-undang. Ia juga menjadi pembuat atau pembentuk hukum (judge made law). Maka, tugas hakim
yang sebenarnya adalah menjamin tercapainya kebenaran dan keadilan atas
penerapan sebuah aturan. Dunia hakim yang terbentuk saat ini adalah produk
dari pendidikan hukum Indonesia yang juga bermasalah.
Mochtar
Kusumaatmadja pernah mengkritik keras pendidikan hukum di Indonesia yang
disebutnya sebagai warisan kolonial. Pendidikan hukum hanya menghasilkan para
tukang (craftsmanship), tapi tidak
mampu menerjemahkan kebutuhan hukum dalam masyarakatnya.
Penelitian
Dahrendorf tentang hakim di Jerman (Schuyt, 1971: 112) menyimpulkan bahwa
para hakim adalah hasil pembinaan dari suatu pola pendidikan yang berasal
dari generasi sebelumnya, terutama yang terdapat di kalangan pengawai negeri.
Pola ini menghasilkan hakim dengan ciri pegawai negeri gaya lama yang
bertentangan dengan ide demokrasi (Satjipto Rahardjo: 2009).
Penelitian ini
setidaknya menggambarkan bahwa suramnya dunia para hakim disebabkan oleh
sebuah proses yang buruk dalam menghasilkan seorang hakim. Maka, pertanyaan
besar yang semestinya dijawab adalah, apa yang terjadi dalam sistem
perekrutan hakim di Indonesia?
Pendidikan
hukum tentu menjadi faktor pertama yang harus ditelaah, apakah telah memenuhi
standar kualifikasi profesi hukum, terutama profesi hakim. Pantauan
masyarakat sipil dalam proses perekrutan calon hakim agung beberapa waktu
lalu, misalnya, menemukan ada calon yang tidak memiliki pengetahuan yang
cukup.
Bayangkan saja
jika ada calon hakim agung yang tidak mengetahui prinsip-prinsip
internasional tentang pedoman perilaku hakim (bangalore principle), asas-asas
hukum pidana, yurisprudensi, asas non-self incrimination, concurring opinion,
perbedaan antara putusan batal demi hukum putusan yang tidak sah, atau
perbedaan kompetensi absolut antara peradilan militer dan peradilan umum. Ini
semua adalah fakta betapa kualitas keilmuan calon hakim yang memang sangat
bermasalah.
Problem
keilmuan ini tentu saja diakibatkan oleh buruknya sistem pendidikan hukum.
Kita seperti kebanjiran perguruan tinggi hukum, tapi lalai dalam mengawal
kualitas lulusan. Dari sisi integritas, ada temuan banyak calon hakim yang
lebih terlihat, seperti pencari kerja (job seekers). Calon yang tidak lolos
pada seleksi yang lalu karena cacat integritas mencalonkan diri kembali pada
proses seleksi berikutnya.
Prof Satjipto
Rahardjo dalam bukunya pernah memberikan perbandingan tentang pendidikan
hukum di Amerika Serikat. Metode yang dinamakan the case method of instruction memberikan pengenalan hukum kepada
mahasiswa tidak melalui peraturan-peraturan yang tertulis, melainkan melalui
fakta-fakta kasus (Chambliss and Seidman, Law, Order, and Power: 1971).
Metode ini juga memberikan ruang yang lebih besar antara mahasiswa dan guru
besar/dosen untuk berdiskusi, sehingga mendidik para mahasiswa memiliki sikap
yang tegas dan berpikir secara mandiri.
Metode ini
layak digunakan untuk memutus kebuntuan pendidikan hukum yang cenderung pasif
dan melahirkan para tukang (craftsmanship).
Dengan begitu, produksi penegak hukum, terutama hakim, bukanlah
"asal" sarjana hukum, tapi betul-betul memiliki pemahaman akan profesinya.
Ketika pendidikan hukum telah memadai, proses berikutnya yang harus dikritisi
adalah perekrutan hakim. Proses yang selama ini ada cenderung hanya
memprioritaskan aspek formal, misalnya soal jumlah kuota calon yang harus
diserahkan.
Dalam seleksi
hakim agung, aspek ini yang justru yang paling sering diperdebatkan oleh DPR.
Padahal seleksi di DPR cenderung menjadi pintu masuk bagi calon hakim yang
bermasalah. Di luar konteks hukum formal, DPR seharusnya tidak menjadi
penentu dipilih-tidaknya seorang hakim. Sebab, pada prinsipnya DPR hanya
memiliki preferensi politik dan secara kelembagaan tidak memiliki kompetensi
untuk mengukur kapasitas intelektual dan integritas seseorang.
Pada akhirnya seorang hakim
dituntut untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabatnya dengan
mencerminkan sikap dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Karena itulah
profesi hakim adalah profesi yang terhormat (officium nobile), bahkan profesi yang mulia. Proses menghasilkan
seorang hakim yang ideal tidaklah mudah dan melelahkan. Proses formal yang
ada saat ini hendaknya tidak menghasilkan hakim "pasaran", hakim
yang hanya memutus dengan harga dan permintaan "pasar". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar