Kamis, 13 Desember 2012

Defisit Kelembagaan Ekonomi


Defisit Kelembagaan Ekonomi
Ahmad Erani Yustika ;  Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya dan Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS, 11 Desember 2012



INDONESIA telah melewati 14 tahun pascareformasi ekonomi akibat krisis keuangan yang hebat pada 1997-1998. Saat akhir tahun seperti ini, seperti biasa, berita dan analisis ekonomi banyak diisi dengan aneka proyeksi ekonomi tahun depan. Tentu tradisi itu bermanfaat untuk melihat apakah prospek ekonomi akan lebih baik atau buruk sambil pada saat bersamaan mengevaluasi kejadian setahun ke belakang. 

Tapi, tahun depan tampaknya ada perkecualian yang penting sehingga kebiasaan melakukan proyeksi ekonomi pada tahun mendatang harus dilihat pada konteks yang lebih luas, yakni apakah reformasi ekonomi yang telah berjalan cukup panjang (tahun depan tepat 15 tahun) dan Indonesia pada 2014 (saat terjadi perhelatan pergantian pemimpin nasional) dapat memulai era baru yang lebih mapan secara ekonomi. Eksplorasi terhadap pertanyaan itu akan memberikan ekspektasi masa depan ekonomi sambil mencari ruang guna menyusun agenda strategis untuk meraih kemapanan ekonomi. 

Diselamatkan Rumah Tangga 

Perekonomian Indonesia sepanjang 2012 memberikan banyak pelajaran jika dilihat secara menyeluruh. Pertama, krisis ekonomi global ternyata paling rentan menyergap ekonomi nasional dari sisi perdagangan internasional (ekspor). Nilai ekspor langsung jatuh sehingga tidak saja menggoyahkan neraca perdagangan, tetapi juga sempat melantakkan bangunan neraca pembayaran (sebagian karena tekanan impor minyak). Akibatnya, nilai tukar rupiah sempat tertekan meskipun sekarang bisa dikendalikan.

Kedua, di luar dugaan, sektor konsumsi rumah tangga tidak mengalami penurunan sehingga menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan nasional (PDB). Stabilitas konsumsi rumah itu berperan penting menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi meskipun lebih rendah daripada proyeksi pemerintah. Sampai akhir tahun diperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di angka 6,2-6,3 persen. Pertumbuhan itu masih tergolong tinggi di dunia, sedikit lebih rendah daripada Tiongkok, dan mungkin lebih tinggi ketimbang India.

Ketiga, infrastruktur ekonomi, inefisiensi birokrasi, dan korupsi merupakan benih terburuk sehingga membuat panen ekonomi tidak dapat optimal. Sungguhpun begitu, terdapat keganjilan terhadap fenomena berikut ini: Pertumbuhan investasi tetap kencang meskipun terjadi krisis ekonomi global dan buruknya infrastruktur. Bagaimana ini mesti dijelaskan? Jawaban ini masuk akal, tapi perlu diuji lebih lanjut: (i) Indonesia masih termasuk negara yang memiliki potensi pasar yang besar (dengan konsumsi rumah tangga yang tinggi), sumber daya ekonomi yang melimpah, dan ditopang dengan tenaga kerja yang murah; juga (ii) kebijakan quantitative easing di AS memberikan berkah terhadap ekonomi nasional, yaitu modal terus mengalir ke emerging markets (termasuk Indonesia), baik lewat investasi langsung maupun portofolio. Dengan begitu, pada titik tertentu faktor keterbatasan infrastruktur, inefisiensi birokrasi, dan korupsi belum begitu mengganggu perekonomian akibat adanya faktor-faktor tersebut. Namun, itu tak bisa dibiarkan. 

Keempat, Indonesia merupakan salah satu kisah sukses keluar dari krisis ekonomi hebat 1997-1998, jika itu dilihat dari stabilitas makroekonomi, penurunan angka kemiskinan, dan pengendalian pengangguran. Namun, prestasi-prestasi tersebut harus ditelisik lebih mendalam agar didapat fakta yang lebih akurat. Soal kemiskinan, terdapat informasi yang penting saat saya menghadiri International Business Research Conference di Monash University pada 19-21 November 2012. Salah satu pembicara dari Vietnam (Minh Son Le) membuka data: Kemiskinan Vietnam pada 2002 sebesar 28,9 persen dan tinggal 9,45 persen pada 2012. Pada kurun waktu yang sama kemiskinan Indonesia turun dari 17,9 persen (2002) menjadi 11,9 persen (2012). Artinya, dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia cuma bisa mengurangi kemiskinan sebesar 6 persen dan Vietnam 19,5 persen! Kisah serupa terjadi dalam hal pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka tinggal 6,8 persen (2012), tapi mereka yang bekerja di sektor informal sebesar 62,7 persen dari total tenaga kerja sehingga kualitas ketenagakerjaan nasional dalam kondisi buruk. 

Kelembagaan yang Mengisap 

Deskripsi di atas sebetulnya memberikan dua sinyal penting terhadap ekonomi nasional, yaitu soal kelemahan mutu kelembagaan (quality of institutions) dan kegagalan membangun konsensus pembangunan. Soal kualitas kelembagaan (aturan main/rules of the game), problem klasik yang tidak kunjung bisa diperbaiki adalah efektivitas pemerintahan, mutu dan kepastian regulasi, jaminan hak kepemilikan, serta pengendalian korupsi. Hal itulah yang membuat pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan secara optimal. Investasi tersendat karena proses perizinan lama dan berbiaya mahal, pembajakan inovasi mandek gara-gara pembajakan amat ditoleransi, serta pembangunan infrastruktur macet karena praktik korupsi dan pembebasan lahan yang berbelit. Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan itulah yang akan menentukan laju pembangunan ekonomi di suatu negara (Acemoglu dan Robinson, 2012). Sebaliknya, Indonesia justru mendesain kelembagaan ekonomi yang mengisap (extractive economic institutions). 

Sementara itu, konsensus pembangunan dibutuhkan untuk membuat pilar pembangunan ekonomi berdiri tegak dalam mengatasi persoalan-persoalan mendasar. Problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan (termasuk investasi berdasar wilayah dan sektor) terjadi karena tidak adanya konsensus soal basis pembangunan ekonomi nasional. Sampai kini, pembangunan ekonomi berjalan tanpa pijakan sektor basis yang kukuh (endowment factor) sehingga secara umum perekonomian menjadi ringkih, gampang roboh diterpa gejolak ekonomi. Jika tidak ambruk, tetap saja akselerasi pembangunan hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi, seperti yang sekarang terjadi. Saya percaya bahwa pertumbuhan ekonomi tahun depan sedikit lebih baik ketimbang tahun ini. Tapi, jika perbaikan kelembagaan dan konsensus pembangunan tidak segera diselesaikan, kualitas hasil pembangunan tetap rendah. Kita masih punya waktu sedikit untuk mengambil momentum tersebut, paling lambat pada 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar