Antara Perang
dan Damai
Sauqi Futaqi ; Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 11 Desember 2012
Perang dan damai telah
menghiasi panggung sejarah umat manusia. Banyak orang beranggapan bahwa damai
merupakan masa jeda antara perang dan perang. Dalam sejarah dunia, cukup
sukar menghitung berapa jumlah peperangan yang telah menggemparkan jagat
raya. Setidaknya ada beberapa perang yang cukup dahsyat, diantaranya adalah
perang Napoleon, perang Dunia Pertama, perang Dunia Kedua, perang Salib,
perang Ekspansi Mongol, dan lainnya. Dan, sampai saat ini, yang masih
berkecamuk adalah perang antara Israil dan Palestina.
Jika ditinjau dari
rekam sejarah, beberapa perang tersebut kebanyakan disebabkan oleh perebutan
kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi, ataupun agama. Perebutan
kekuasaan terkadang dipahami sebagai pengukuhan harga diri. Sebuah kelompok
atau negara akan merasa dijatuhkan harga dirinya ketika ada sejumlah kelompok
yang mencoba mengusik daerah kekuasaannya, sehingga hal ini memunculkan
ketegangan antara keduanya, hingga pada puncaknya ditempuh dengan jalan
perang.
Pada masa penjajahan,
perang hampir menjadi sajian keseharian. Bahkan, perang dianggap sebagai
langkah yang positif sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan hak dan
kebebasan warga. Ketika sebuah bangsa diinjak-injak martabatnya, perang
adalah pendobrak lahirnya kemerdekaan. Kenyataan ini telah banyak terekam
dalam catatan sejarah perlawanan bangsa jajahan.
Dalam perkembangannya,
muncul kesadaran bersama bahwa penjajahan harus dihapuskan, dan setiap bangsa
berhak mendapatkan kedaulatannya. Oleh karenanya, dibentuklah beberapa forum
internasional yang membahas perjanjian dan konstitusi internasional untuk
mengatur hubungan antar negara. Dengan konstitusi ini, hubungan antar
penjajah dan yang dijajah tidak boleh terjadi lagi dan digantikan dengan
hubungan fungsional yang saling menguntungkan.
Dalam konstitusi
modern, penjajahan atau perang fisik antar negara diminimalisir sedini
mungkin dengan seperangkat aturan-aturan yang ketat. Perang antar negara pada
perkembangan kekinian cenderung mengarah pada persaingan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan ekonomi. Namun, perang (persaingan) non-fisik ini tampaknya di
beberapa negara tidak jarang melahirkan ketegangan, yang tidak menutup
kemungkinan melahirkan perang, meski intensitasnya tidak seperti ketika zaman
penjajahan dan penaklukkan.
Di tengah perlunya
perjanjian dan konstitusi internasional yang mengatur hubungan antar negara,
lalu kenapa masih terjadi perang besar-besaran seperti yang kini terjadi
antara Israil dan Palestina? Inilah yang menimbulkan paradoks hubungan
internasional. Disatu sisi, aturan-aturan internasional mengandaikan jalinan keharmonisan
antar negara - yang dalam bentuknya yang lebih kecil sebagai keharmonisan
antar manusia dalam koridor kema-nusiaan - justru masih menyimpan celah bagi
tindakan dehumanisasi besar-besaran.
Bolehlah kita melihat
sekilas sejarah perang Israel-Palestina yang keduanya memang masih belum
menerima kedaulatan masing-masing. Padahal, pada 13 September 1993 melalui
kesepakatan Oslo, Palestina dan Israel sama-sama mengakui kedaulatan
masing-masing. Namun, fraksi Hamas tidak menyetujui keputusan tersebut sehingga
terus mendapatkan tekanan dari Israel hingga saat ini.
Perang terkadang
dimaknai sebagai titik awal lahirnya perubahan. Ketika terjadi kejumudan
lantaran dominasi kekuasaan yang telah memasung kebebasan bangsa tertentu,
perang sebagai bentuk perlawanan tidak jarang melahirkan perubahan yang
mendasar. Taruhlah kasus di Indonesia ketika menghadapi tentara Jepang dan
Belanda dalam banyak pertempuran. Dalam maknanya yang positif, perang
ternyata terbukti menjadi tonggak awal pembentukan sejarah baru bagi
peradaban suatu bangsa.
Namun, yang perlu
diletakkan secara proporsional adalah bahwa perang yang didasarkan pada
hasrat untuk menguasai orang atau bangsa lain tidak lain adalah kejahatan
kemanusiaan yang hakiki. Hubungan kemanusiaan yang dihancurkan oleh hasrat
kekuasaan harus dikembalikan kepada akar persoalan yang sebenarnya. Jika
ketegangan hubungan antar negara diselesaikan berdasarkan hasrat kekuasaan
hanya akan melahirkan perang yang berkepanjangan.
Satu-satunya jalan
untuk menengahi perang adalah meletakkan persoalan secara kemanusiaan. Saling
berebut untuk menjadi bangsa terkuat hanya akan melahirkan ketegangan yang
terus menerus berlanjut. Konflik Israil dan Palestina tidak lain didasarkan
hasrat kekuasaan Israil untuk menguasai bangsa Palestina. Dan, tampaknya dua
kubu ini tidak memilih jalan dalam jalur kemanusiaan.
Dalam perspektif
politik kekuasaan, pola hubungan antar negara akan selalu mengalami
ketegangan jika tidak dibalut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa semangat
kemanusiaan dalam hubungan ini, maka perebutan akan selalu melahirkan konflik
dan perang berkepanjangan. Jalan damai adalah jalan perang. Ketika sudah
banyak korban jiwa, hingga pada puncaknya terjadi kehancuran, damai muncul
sejenak "mengisi lelah" di antara perang dan perang.
Dalam konteks perang
antara Israil-Palestina, kita perlu memahami siapa yang berhasrat untuk
menguasai dan siapa yang menjadi objek kekuasaan. Pihak yang hendak menguasai
dengan jalan perang, dialah yang mulai menjajah kemanusiaan. Mungkin bagi
pihak yang dikuasai, perang merupakan alternatif untuk mengangkat derajat
kemanusiaan mereka. Jika tidak ada jalan penengah dengan menempatkan batas
kemanusiaan, perdamaian di tengah peperangan hanya bisa ditempuh melalui dan
oleh kekuatan perang. Dalam posisi ini, yang dimenangkan adalah perang itu
sendiri. Jika demikian, dimanakah letak perdamaian hakiki? Barangkali
memposisikan manusia (bangsa) dalam ke-manusiaannya, satu-satunya cara
menghentikan perang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar