Kamis, 13 Desember 2012

Antara Perang dan Damai


Antara Perang dan Damai
Sauqi Futaqi ;  Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 11 Desember 2012


Perang dan damai telah menghiasi panggung sejarah umat manusia. Banyak orang beranggapan bahwa damai merupakan masa jeda antara perang dan perang. Dalam sejarah dunia, cukup sukar menghitung berapa jumlah peperangan yang telah menggemparkan jagat raya. Setidaknya ada beberapa perang yang cukup dahsyat, diantaranya adalah perang Napoleon, perang Dunia Pertama, perang Dunia Kedua, perang Salib, perang Ekspansi Mongol, dan lainnya. Dan, sampai saat ini, yang masih berkecamuk adalah perang antara Israil dan Palestina.
Jika ditinjau dari rekam sejarah, beberapa perang tersebut kebanyakan disebabkan oleh perebutan kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi, ataupun agama. Perebutan kekuasaan terkadang dipahami sebagai pengukuhan harga diri. Sebuah kelompok atau negara akan merasa dijatuhkan harga dirinya ketika ada sejumlah kelompok yang mencoba mengusik daerah kekuasaannya, sehingga hal ini memunculkan ketegangan antara keduanya, hingga pada puncaknya ditempuh dengan jalan perang.
Pada masa penjajahan, perang hampir menjadi sajian keseharian. Bahkan, perang dianggap sebagai langkah yang positif sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan hak dan kebebasan warga. Ketika sebuah bangsa diinjak-injak martabatnya, perang adalah pendobrak lahirnya kemerdekaan. Kenyataan ini telah banyak terekam dalam catatan sejarah perlawanan bangsa jajahan.
Dalam perkembangannya, muncul kesadaran bersama bahwa penjajahan harus dihapuskan, dan setiap bangsa berhak mendapatkan kedaulatannya. Oleh karenanya, dibentuklah beberapa forum internasional yang membahas perjanjian dan konstitusi internasional untuk mengatur hubungan antar negara. Dengan konstitusi ini, hubungan antar penjajah dan yang dijajah tidak boleh terjadi lagi dan digantikan dengan hubungan fungsional yang saling menguntungkan.
Dalam konstitusi modern, penjajahan atau perang fisik antar negara diminimalisir sedini mungkin dengan seperangkat aturan-aturan yang ketat. Perang antar negara pada perkembangan kekinian cenderung mengarah pada persaingan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Namun, perang (persaingan) non-fisik ini tampaknya di beberapa negara tidak jarang melahirkan ketegangan, yang tidak menutup kemungkinan melahirkan perang, meski intensitasnya tidak seperti ketika zaman penjajahan dan penaklukkan.
Di tengah perlunya perjanjian dan konstitusi internasional yang mengatur hubungan antar negara, lalu kenapa masih terjadi perang besar-besaran seperti yang kini terjadi antara Israil dan Palestina? Inilah yang menimbulkan paradoks hubungan internasional. Disatu sisi, aturan-aturan internasional mengandaikan jalinan keharmonisan antar negara - yang dalam bentuknya yang lebih kecil sebagai keharmonisan antar manusia dalam koridor kema-nusiaan - justru masih menyimpan celah bagi tindakan dehumanisasi besar-besaran.
Bolehlah kita melihat sekilas sejarah perang Israel-Palestina yang keduanya memang masih belum menerima kedaulatan masing-masing. Padahal, pada 13 September 1993 melalui kesepakatan Oslo, Palestina dan Israel sama-sama mengakui kedaulatan masing-masing. Namun, fraksi Hamas tidak menyetujui keputusan tersebut sehingga terus mendapatkan tekanan dari Israel hingga saat ini.
Perang terkadang dimaknai sebagai titik awal lahirnya perubahan. Ketika terjadi kejumudan lantaran dominasi kekuasaan yang telah memasung kebebasan bangsa tertentu, perang sebagai bentuk perlawanan tidak jarang melahirkan perubahan yang mendasar. Taruhlah kasus di Indonesia ketika menghadapi tentara Jepang dan Belanda dalam banyak pertempuran. Dalam maknanya yang positif, perang ternyata terbukti menjadi tonggak awal pembentukan sejarah baru bagi peradaban suatu bangsa.
Namun, yang perlu diletakkan secara proporsional adalah bahwa perang yang didasarkan pada hasrat untuk menguasai orang atau bangsa lain tidak lain adalah kejahatan kemanusiaan yang hakiki. Hubungan kemanusiaan yang dihancurkan oleh hasrat kekuasaan harus dikembalikan kepada akar persoalan yang sebenarnya. Jika ketegangan hubungan antar negara diselesaikan berdasarkan hasrat kekuasaan hanya akan melahirkan perang yang berkepanjangan.
Satu-satunya jalan untuk menengahi perang adalah meletakkan persoalan secara kemanusiaan. Saling berebut untuk menjadi bangsa terkuat hanya akan melahirkan ketegangan yang terus menerus berlanjut. Konflik Israil dan Palestina tidak lain didasarkan hasrat kekuasaan Israil untuk menguasai bangsa Palestina. Dan, tampaknya dua kubu ini tidak memilih jalan dalam jalur kemanusiaan.
Dalam perspektif politik kekuasaan, pola hubungan antar negara akan selalu mengalami ketegangan jika tidak dibalut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa semangat kemanusiaan dalam hubungan ini, maka perebutan akan selalu melahirkan konflik dan perang berkepanjangan. Jalan damai adalah jalan perang. Ketika sudah banyak korban jiwa, hingga pada puncaknya terjadi kehancuran, damai muncul sejenak "mengisi lelah" di antara perang dan perang.
Dalam konteks perang antara Israil-Palestina, kita perlu memahami siapa yang berhasrat untuk menguasai dan siapa yang menjadi objek kekuasaan. Pihak yang hendak menguasai dengan jalan perang, dialah yang mulai menjajah kemanusiaan. Mungkin bagi pihak yang dikuasai, perang merupakan alternatif untuk mengangkat derajat kemanusiaan mereka. Jika tidak ada jalan penengah dengan menempatkan batas kemanusiaan, perdamaian di tengah peperangan hanya bisa ditempuh melalui dan oleh kekuatan perang. Dalam posisi ini, yang dimenangkan adalah perang itu sendiri. Jika demikian, dimanakah letak perdamaian hakiki? Barangkali memposisikan manusia (bangsa) dalam ke-manusiaannya, satu-satunya cara menghentikan perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar