Roman Picisan
Dodol Garut
Agus Dermawan T ; Kritikus,
Penulis Buku-buku Berbasis Seni, Sosial, dan Budaya
|
KORAN
TEMPO, 12 Desember 2012
Karena itu,
banyak pemikir yang mengingatkan bahwa kecantikan atau keindahan harus
dipisahkan dari uang serta segala hal yang menjadi instrumennya. Sebab, uang
akan mengubah kebudayaan menjadi fisikal, untuk selanjutnya menjadi
profanial. Lantaran itu, keindahan harus berdiri sendiri.
Ungkapan lama bertutur: amor vincit omnia.
Atau, cinta-asmara mengalahkan segalanya. Namun kisah kawin siri
"kilat-khusus" Bupati Garut Aceng Fikri dengan FO tampaknya
berbeda. Pelaminan dua manusia ini nyata dibentuk dari paradigma fisikal dan
material, sehingga cinta-asmara tidak diperlukan sama sekali lantaran sudah
diberangus hal ihwal yang bendawi.
Kasus "dodol garut" itu pun
meruncing ke satu kesimpulan: ada permufakatan gelap antara uang dan
kecantikan. Si Bupati rela menggelontor uang ratusan juta rupiah karena
dirangsang oleh kecantikan fisik FO. Sedangkan FO mau mendampingi Aceng
lantaran lelaki ini pejabat. Dalam persepsinya, pejabat itu punya kekuasaan.
Sementara kekuasaan dianggap sebagai kekuatan untuk menggaruk uang dan
melambungkan kekayaan, yang mampu mengamankan masa depan.
Namun, sebagaimana umumnya drama
persekongkolan, kisah ini selalu berujung pada kekacauan. Si uang yang merasa
ditipu akan meledakkan kemarahan tanpa batas malu. Sedangkan kecantikan yang
merasa ditindas akan sekuat tenaga membalas.
Hikayat bupati di atas akhirnya bagai
menegaskan kebenaran hipotesis roman picisan. Bahwa kecantikan memang sungguh
dekat dengan uang. Uang tak henti berusaha dikencani oleh mereka yang merasa
memiliki kecantikan. Sementara kecantikan sering sengaja rela dijajah oleh si
uang. Setelah semua terkristalisasi, uang dianggap sebagai harta resmi
pemilik kecantikan. Dan kecantikan dinyatakan sebagai harta niscaya pemilik
uang.
Yang Berlebihan
Beberapa hari sebelum dongeng Bupati Garut
muncul, Meksiko memberikan contoh lain. Ratu kecantikan Meksiko, Maria Susana
Flores Gamez, 22 tahun, tewas di sudut Kota Culiacan pada 27 November. Gamez
waktu itu berada di tengah sekumpulan bandit narkoba kaya yang sedang dikejar-kejar
polisi. Tembak-menembak seru itu ternyata tidak hanya meremukkan kepala
bandit, tapi juga menewaskan si cantik. Padahal ia baru terpilih sebagai
Mujer Sinaloa (Perempuan Sinaloa, Negara Bagian Meksiko) pada Februari 2012.
Dan, pada Juni lalu, ia ikut berkompetisi dalam forum nasional. Si mujer
pilihan pun meninggal sia-sia karena uang yang diburunya.
Keterlibatan wanita cantik dalam kartel
narkoba di Meksiko bukanlah cerita baru. Pada 2008, Laura Zuniga, yang
dinobatkan sebagai Miss Hispano-America, ditangkap polisi bersama tujuh
anggota kartel terkenal Juarez. Semula Laura dituduh mengambil peran dalam
bisnis itu. Namun tuduhan tak terbukti. Ia ternyata hanyalah makhluk yang
sedang memanfaatkan kemolekan tubuhnya guna merangsek uang anggota kartel
untuk mengganjal kebutuhan hidup yang mahal. Sedangkan anggota kartel yang
berlimpah duitnya memang membutuhkan kemolekan Laura sebagai hiburan.
Kembali ke Indonesia, kasus mantan Puteri
Indonesia, Angelina Sondakh, adalah amsal yang gamblang. Dari pusaran kasus,
nyata bahwa kecerdasan positif Angelina bisa disekap oleh kejelitaannya. Dan
kejelitaan itu dimanfaatkan oleh kaum lelaki koruptor di sekitarnya untuk
gorden estetik penutup kisah kongkalikong anggaran. Angelina menyadari
pemanfaatan itu. Sebagai imbal jasanya, ia meminta uang banyak untuk
kompensasi. Ia lupa bahwa Dewi Keadilan tidak pernah pandang bulu, sehingga
kecantikannya ambruk setelah masuk KPK.
Akibat dari persekongkolan itu adalah, uang
bagai barang hambur yang tidak ada nilainya. Dan kecantikan dijunjung sebagai
"terpaling-paling" dan berlebih-lebihan. Ujungnya, kecantikan yang
sesungguhnya luhur segera menjadi nihil. Hal seperti inilah yang kemudian
menggerakkan penulis ternama Inggris, John Ruskin, untuk berucap sinis:
"Hal yang paling tidak bermanfaat di dunia akhirnya adalah segala
sesuatu yang cantiknya berlebih-lebihan, seperti bunga bakung, burung merak,
wanita jelita yang norak...."
Lama Diwaspadai
Dalam sejarah kebudayaan, persekongkolan
seperti itu sudah sangat lama diwaspadai. Karena itu, banyak pemikir yang
mengingatkan bahwa kecantikan atau keindahan harus dipisahkan dari uang serta
segala hal yang menjadi instrumennya. Sebab, uang akan mengubah kebudayaan
menjadi fisikal, untuk selanjutnya menjadi profanial. Lantaran itu, keindahan
harus berdiri sendiri.
Pelukis dan pematung, Michelangelo
Buonarroti, pada abad ke-16 berkata, "Keindahan yang dibiarkan menari
sendirian adalah alat untuk membersihkan hal-hal yang berlebihan." Apa
yang dia katakan itu lantas ditegaskan oleh novelis Rusia, Fyodor
Dostoyevski, pada abad ke-19. Ia bertutur bahwa keindahan yang otonom akan
menyelamatkan dunia yang suka kacau cara pandangnya. Keindahan harus
dibiarkan berkibar seperti bendera di tiangnya. Semua orang akan melihat sang
bendera dengan rasa hormat.
Anak kebudayaan yang bernama seni semakin
menajamkan otonomi keindahan itu. Seni rupa klasik mengajarkan bahwa visi
keindahan yang ditawarkan seorang seniman terus dominan, dan harus sanggup
mengalahkan hasrat patronis atau pemesan, si empunya uang. Dunia akhirnya
tahu betapa selama berabad-abad seni klasik di Eropa dan Cina memancarkan
kecantikan yang tak habis dimakan zaman. Di Indonesia, visi estetika seperti
itu tampak pada dunia wayang. Visual wayang merupakan hak prerogatif penyungging,
sedangkan aksi pertunjukan wayang adalah mutlak milik dalang. Uang yang
melambai di sisi kelir sekadar dipandang sebagai ilustrasi.
Di Eropa, pada abad ke-20, kesadaran akan
otonomi estetika itu terbit dalam bentuk deklarasi seni. Maka, lantas muncul
gerakan Art Deco dan Art Nouveau, yang mengolah kecantikan dengan visi
estetika yang mutlak, tanpa boleh diganggu apa pun. Karena itu, kecantikan
mazhab seni dekoratif ini selalu hadir monumental, bermuatan, dengan martabat
yang sungguh tinggi.
Sampai di sini
kita boleh mengingat Malala Yousafzai, remaja cantik dari Pakistan. Gadis ini
terpilih sebagai satu di antara 10 Pemikir Global 2012 versi majalah Foreign
Policy. Malala adalah penulis blog yang tak henti mengecam kekejaman kaum
lelaki Taliban terhadap anak-anak dan perempuan. Sejumlah pihak siap
"membeli" kecantikan Malala dengan tujuan untuk membungkam. Tapi
Malala sadar, ia harus tetap cantik luar-dalam, meski akhirnya ia dibayangi
pembunuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar