Kamis, 13 Desember 2012

Roman Picisan Dodol Garut


Roman Picisan Dodol Garut
Agus Dermawan T ;  Kritikus, Penulis Buku-buku Berbasis Seni, Sosial, dan Budaya
KORAN TEMPO, 12 Desember 2012


Karena itu, banyak pemikir yang mengingatkan bahwa kecantikan atau keindahan harus dipisahkan dari uang serta segala hal yang menjadi instrumennya. Sebab, uang akan mengubah kebudayaan menjadi fisikal, untuk selanjutnya menjadi profanial. Lantaran itu, keindahan harus berdiri sendiri.
Ungkapan lama bertutur: amor vincit omnia. Atau, cinta-asmara mengalahkan segalanya. Namun kisah kawin siri "kilat-khusus" Bupati Garut Aceng Fikri dengan FO tampaknya berbeda. Pelaminan dua manusia ini nyata dibentuk dari paradigma fisikal dan material, sehingga cinta-asmara tidak diperlukan sama sekali lantaran sudah diberangus hal ihwal yang bendawi.
Kasus "dodol garut" itu pun meruncing ke satu kesimpulan: ada permufakatan gelap antara uang dan kecantikan. Si Bupati rela menggelontor uang ratusan juta rupiah karena dirangsang oleh kecantikan fisik FO. Sedangkan FO mau mendampingi Aceng lantaran lelaki ini pejabat. Dalam persepsinya, pejabat itu punya kekuasaan. Sementara kekuasaan dianggap sebagai kekuatan untuk menggaruk uang dan melambungkan kekayaan, yang mampu mengamankan masa depan. 
Namun, sebagaimana umumnya drama persekongkolan, kisah ini selalu berujung pada kekacauan. Si uang yang merasa ditipu akan meledakkan kemarahan tanpa batas malu. Sedangkan kecantikan yang merasa ditindas akan sekuat tenaga membalas. 
Hikayat bupati di atas akhirnya bagai menegaskan kebenaran hipotesis roman picisan. Bahwa kecantikan memang sungguh dekat dengan uang. Uang tak henti berusaha dikencani oleh mereka yang merasa memiliki kecantikan. Sementara kecantikan sering sengaja rela dijajah oleh si uang. Setelah semua terkristalisasi, uang dianggap sebagai harta resmi pemilik kecantikan. Dan kecantikan dinyatakan sebagai harta niscaya pemilik uang. 
Yang Berlebihan
Beberapa hari sebelum dongeng Bupati Garut muncul, Meksiko memberikan contoh lain. Ratu kecantikan Meksiko, Maria Susana Flores Gamez, 22 tahun, tewas di sudut Kota Culiacan pada 27 November. Gamez waktu itu berada di tengah sekumpulan bandit narkoba kaya yang sedang dikejar-kejar polisi. Tembak-menembak seru itu ternyata tidak hanya meremukkan kepala bandit, tapi juga menewaskan si cantik. Padahal ia baru terpilih sebagai Mujer Sinaloa (Perempuan Sinaloa, Negara Bagian Meksiko) pada Februari 2012. Dan, pada Juni lalu, ia ikut berkompetisi dalam forum nasional. Si mujer pilihan pun meninggal sia-sia karena uang yang diburunya.
Keterlibatan wanita cantik dalam kartel narkoba di Meksiko bukanlah cerita baru. Pada 2008, Laura Zuniga, yang dinobatkan sebagai Miss Hispano-America, ditangkap polisi bersama tujuh anggota kartel terkenal Juarez. Semula Laura dituduh mengambil peran dalam bisnis itu. Namun tuduhan tak terbukti. Ia ternyata hanyalah makhluk yang sedang memanfaatkan kemolekan tubuhnya guna merangsek uang anggota kartel untuk mengganjal kebutuhan hidup yang mahal. Sedangkan anggota kartel yang berlimpah duitnya memang membutuhkan kemolekan Laura sebagai hiburan. 
Kembali ke Indonesia, kasus mantan Puteri Indonesia, Angelina Sondakh, adalah amsal yang gamblang. Dari pusaran kasus, nyata bahwa kecerdasan positif Angelina bisa disekap oleh kejelitaannya. Dan kejelitaan itu dimanfaatkan oleh kaum lelaki koruptor di sekitarnya untuk gorden estetik penutup kisah kongkalikong anggaran. Angelina menyadari pemanfaatan itu. Sebagai imbal jasanya, ia meminta uang banyak untuk kompensasi. Ia lupa bahwa Dewi Keadilan tidak pernah pandang bulu, sehingga kecantikannya ambruk setelah masuk KPK. 
Akibat dari persekongkolan itu adalah, uang bagai barang hambur yang tidak ada nilainya. Dan kecantikan dijunjung sebagai "terpaling-paling" dan berlebih-lebihan. Ujungnya, kecantikan yang sesungguhnya luhur segera menjadi nihil. Hal seperti inilah yang kemudian menggerakkan penulis ternama Inggris, John Ruskin, untuk berucap sinis: "Hal yang paling tidak bermanfaat di dunia akhirnya adalah segala sesuatu yang cantiknya berlebih-lebihan, seperti bunga bakung, burung merak, wanita jelita yang norak...."
Lama Diwaspadai
Dalam sejarah kebudayaan, persekongkolan seperti itu sudah sangat lama diwaspadai. Karena itu, banyak pemikir yang mengingatkan bahwa kecantikan atau keindahan harus dipisahkan dari uang serta segala hal yang menjadi instrumennya. Sebab, uang akan mengubah kebudayaan menjadi fisikal, untuk selanjutnya menjadi profanial. Lantaran itu, keindahan harus berdiri sendiri.
Pelukis dan pematung, Michelangelo Buonarroti, pada abad ke-16 berkata, "Keindahan yang dibiarkan menari sendirian adalah alat untuk membersihkan hal-hal yang berlebihan." Apa yang dia katakan itu lantas ditegaskan oleh novelis Rusia, Fyodor Dostoyevski, pada abad ke-19. Ia bertutur bahwa keindahan yang otonom akan menyelamatkan dunia yang suka kacau cara pandangnya. Keindahan harus dibiarkan berkibar seperti bendera di tiangnya. Semua orang akan melihat sang bendera dengan rasa hormat.
Anak kebudayaan yang bernama seni semakin menajamkan otonomi keindahan itu. Seni rupa klasik mengajarkan bahwa visi keindahan yang ditawarkan seorang seniman terus dominan, dan harus sanggup mengalahkan hasrat patronis atau pemesan, si empunya uang. Dunia akhirnya tahu betapa selama berabad-abad seni klasik di Eropa dan Cina memancarkan kecantikan yang tak habis dimakan zaman. Di Indonesia, visi estetika seperti itu tampak pada dunia wayang. Visual wayang merupakan hak prerogatif penyungging, sedangkan aksi pertunjukan wayang adalah mutlak milik dalang. Uang yang melambai di sisi kelir sekadar dipandang sebagai ilustrasi.
Di Eropa, pada abad ke-20, kesadaran akan otonomi estetika itu terbit dalam bentuk deklarasi seni. Maka, lantas muncul gerakan Art Deco dan Art Nouveau, yang mengolah kecantikan dengan visi estetika yang mutlak, tanpa boleh diganggu apa pun. Karena itu, kecantikan mazhab seni dekoratif ini selalu hadir monumental, bermuatan, dengan martabat yang sungguh tinggi.
Sampai di sini kita boleh mengingat Malala Yousafzai, remaja cantik dari Pakistan. Gadis ini terpilih sebagai satu di antara 10 Pemikir Global 2012 versi majalah Foreign Policy. Malala adalah penulis blog yang tak henti mengecam kekejaman kaum lelaki Taliban terhadap anak-anak dan perempuan. Sejumlah pihak siap "membeli" kecantikan Malala dengan tujuan untuk membungkam. Tapi Malala sadar, ia harus tetap cantik luar-dalam, meski akhirnya ia dibayangi pembunuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar