Kamis, 13 Desember 2012

KPK, Energi yang Tak Boleh Mati


KPK, Energi yang Tak Boleh Mati
Gunarto ;  Guru Besar Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH),
Wakil Rektor 2 Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 12 Desember 2012


SESUAI dengan janjinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan hasil kerja positif ketika melanjutkan proses penanganan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahoaga Nasional di Hambalang Sentul Kabupaten Bogor Jabar. Bahkan komisi antikorupsi itu menetapkan seorang menteri aktif sebagai tersangka dalam kasus pada proyek senilai Rp 2,2 triliun rupiah itu. 

Sebelum itu, belum pernah ada menteri aktif ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara hukum. Jadi, langkah komisi itu dapat dipandang sebagai kemajuan tradisi penegakan hukum di Indonesia, dan pantas mendapatkan apresiasi dari seluruh elemen bangsa ini.

Realitas itu menjadi makin penting bagi pemberantasan korupsi karena pada saat yang sama lembaga penegak hukum yang ada kurang menunjukkan tajinya. Sebagaimana diakui sendiri oleh Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Sutarman pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, (SM, 10/12/12). 

Menurut Sutarman, meski pada tahun ini telah menangani 460 perkara di seluruh Indonesia, Polri gagal mencegah kemerebakan perilaku korup. Perkembangan korupsi ibarat patah satu, tumbuh seribu. Karena itu, secara eksistensi KPK ibarat energi bangsa yang bisa menjadi sumber kekuatan dalam memberantas korupsi.

Mengurai Akar

Secara historis, kejahatan korupsi merupakan bagian sejarah kelam peradaban manusia. Sejak zaman Yunani kuno hingga postmodern, korupsi selalu menjadi dosa sosial umat yang menghantui perjalanan sejarah. Hampir semua negara pernah dan masih terjangkiti penyakit ini dengan eskalasi berbeda. 

Karena itu, dunia hukum tak bisa berdiri sendiri dalam agenda pemberantasan korupsi. Harus ada upaya kolektif semua elemen bangsa untuk secara bersama-sama dan simultan memeranginya dengan komitmen tinggi. Dalam konteks ini, kehadiran lembaga pemberantasan korupsi, terutama KPK, menjadi sangat penting.

Jika merujuk psikoanalisis Erich Fromm yang menandaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat maka menjadi jelas bahwa sesungguhnya secara inheren manusia menyimpan potensi korupsi. Pemicunya bisa beragam; moralitas rendah, tuntutan kehidupan yang tinggi, tuntutan politik, hasrat kekuasaan dan sebagainya. 

Makin tinggi tuntutan material yang harus dipenuhi oleh seseorang, sementara kemampuan normal sangat terbatas maka makin tinggi pula hasrat untuk korupsi, dibarengi tindakan yang menghalalkan segala cara.

Parahnya, dalam konteks Indonesia, sebagaimana sinyalemen salah satu pimpinan KPK Busyro Muqoddas, para elite politik di Indonesia terjebak dalam hedonisme dan glamourism struktural sehingga cenderung menjadikan kekuasaan sebagai jejaring instrumental untuk memuaskan diri dengan materi dan fasilitas hidup berlebihan. Hedonisme seakan-akan telah menjadi gaya hidup sebagian politikus di tengah panggung publik yang mementaskan kemewahan dan kemegahan.

Pengaruh hedonisme ini makin kuat dengan sistem politik demokrasi liberal yang bersifat kapitalistik materialistik. Demokrasi semacam ini menempatkan kekuatan material sebagai basis politik utama untuk menggerakkan kekuatan politik. Akibatnya, suap-menyuap terjadi di mana-mana yang pada ujungnya membuat praktik politik menjadi sangat mahal, bahkan melampaui kalkulasi rasional.

Sementara di lapangan belum terbangun otonomi moral yang kuat untuk menolak atau menjauhi praktik tersebut. Seakan-akan ada pertemuan dua kutub, antara elite yang cenderung ”membeli” dan masyarakat yang bersikap ”menjual”. Resultante dua kutub ini membentuk narasi demokrasi kapitalistik yang makin subur tanpa bisa dibendung. Kondisi semacam inilah yang kemudian menyebabkan beban politik makin tinggi dan memaksa para elit mengakumulasi kapital dalam jumlah cukup besar sebagai penyangga kemapanan politika.

Menata Pilar

Pembenahan sistem politik harus dipandang sebagai bagian yang melengkapi agenda penegakan hukum guna memberantas korupsi yang sudah begitu akut. Penegakan hukum saja tidaklah cukup, terlebih, mengutip Satjipto Rahardjo, bila masih bersifat konvensional karena tidak akan pernah menyentuh pada sumbu dan akar persoalan korupsi itu.

Kita membutuhkan progresivitas hukum yang dibangun di atas paradigma yang bisa melampaui normativitas dan prosedural hukum konvensional, yaitu paradigma hukum yang bertumpu pada semangat dan asas penyelamatan terhadap bangsa dan negara.

Paradigma ini, sebagaimana dikatakan oleh Satjipto, adalah konstruksi yang dibangun di atas tiga pilar. Pertama; perubahan kesadaran atau mindset bahwa hukum harus mampu memberi rasa adil dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. Dengan mindset itu tidak ada lagi dinding kekuasaan yang kokoh yang dapat melindungi pelaku kejahatan. 

Inilah yang sedang dilakukan oleh KPK dengan menetapkan seorang menteri menjadi tersangka. Bahkan Abraham Samad mengatakan,” Wakil presiden pun sangat mungkin menjadi tersangka dalam kasus Bank Century jika memang ada bukti yang mengarah ke sana”.

Kedua; komitmen aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran supaya mampu membentengi diri dari berbagai kemungkinan mendeviasi produk hukum yang dibuat. Komitmen ini sangat penting mengingat di tangan merekalah warna dan corak hukum akan dioperasikan sebagai benteng terakhir perlawanan terhadap korupsi.

Ketiga; perlu penguatan kesadaran kolektif untuk selalu memerangi dan menolak secara bersama-sama perilaku korup sehingga memungkinkan semua elemen sosial untuk andil mencegah, mengawasi, dan memantau penyelenggaraan negara yang benar-benar bebas dari korupsi. Jika tiga pilar progresivitas hukum ini berjalan baik maka bisa mempersempit risiko terjadinya korupsi sehingga hak-hak masyarakat dapat terpenuhi secara maksimal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar