Jumat, 14 Desember 2012

Role Model dan Conflict of Interest


Role Model dan Conflict of Interest
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
SINDO, 13 Desember 2012


Tanggal 15 Agustus 2011, tiga warga negara Indonesia, Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah, mengajukan permohonan untuk menguji UU No 27 Tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bila berhasil, sebenarnya Indonesia punya kesempatan untuk membangun “budaya baru”, yaitu budaya bersih yang amat dirindukan bangsa ini. Sayang pengajuan itu sepi dari perhatian masyarakat dan sayang pula MK “gagal” melihat esensi di balik pengajuan itu atau memiliki pandangan lain atau ada pertimbangan hukum yang lebih kuat sehingga permohonan ketiganya tidak dikabulkan. Anda mungkin bertanya, apa sih yang mereka persoalkan? 

Conflict of Interest 

UU No 27 Tahun 2009 adalah UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal-pasal yang mereka uji adalah Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 (2), Pasal 327 ayat (2), dan Pasal 378 ayat (2). Menurut ketiga warga negara ini, telah terjadi kerugian dan ada potensi kerugian dari pasal-pasal itu. 

“Wakil-wakil rakyat dan wakil-wakil daerah tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyat, terutama untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara karena adanya pekerjaan lain selain menjadi anggota DPR maupun anggota DPD dan DPRD,” demikian yang dicantumkan dalam surat permohonan pengujian ketiganya. ”Pekerjaan lain” yang dimaksud tentu bukan sekadar pekerjaan sambilan, melainkan pekerjaan lain yang memungkinkan seorang pejabat publik mengalami konflik kepentingan. 

Tentu saja tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka perdebatan hukum yang bukan menjadi keahlian saya (dan tidak akan saya tanggapi), melainkan untuk membangun kesadaran bahwa negeri ini tidak bisa tumbuh menjadi besar dan kuat tanpa landasan kokoh. Landasan itu adalah terbebasnya para pengambil keputusan dari conflict of interest. Hanya dengan itulah Indonesia akan memiliki role model yang dapat ditiru kaum muda, baik dalam kegiatan ekonomi maupun politik. 

Saya sendiri mengetahui uji materi UU ini karena diminta oleh para pemohon untuk menjelaskan efek conflict of interest sebagai saksi ahli. Tentu saja saya melihatnya dari sisi ekonomi. Sebenarnya mudah saja melihatnya. Saya misalnya tidak pernah “menang” dalam setiap kali mengikuti proses tender sepanjang panitia lelang atau orang di belakang mereka sudah punya jago-jagonya sendiri. Anak saya tidak akan pernah diterima bekerja di sebuah lembaga negara hanya karena panitia penerimaan pegawai sudah menerima komitmen (beserta fee-nya) dari calon-calon lain. 

Seseorang mengalami conflict of interest ketika mengambil ”janji” atau komitmen lain yang membuatnya sulit bertindak secara objektif. Di gedung parlemen kita saat ini juga miskin role model. Sejak bertemu saja, setiap kali mendengar seseorang berkedudukan sebagai anggota parlemen, rakyat berkasak-kusuk menggunjingkan sesuatu. Di dalam gedung parlemen bukan satu-dua orang yang mengatakan kepada saya aroma perubahan sikap sahabat-sahabat yang dulu dikenal sebagai orang yang santun dan jujur menjadi garang dan unpredictable.

Mereka bisa memarahi Anda di depan sorotan kamera televisi, bahkan mengusir Anda hanya karena Anda cengengesan. Lantas apa sih yang digunjingkan masyarakat? Apakah sedemikian bodohnya sahabat-sahabat, orang tua, murid atau mahasiswa kita yang sekarang duduk di parlemen itu sehingga berpura-pura tidak mengetahuinya? Para penguji UU itu mempersoalkan bebasnya “rangkap jabatan” dan absennya penegakan etika. Ini juga sangat kasatmata dan mudah dilihat kendati ada juga yang samar-samar, tetapi di zaman ini masyarakat mudah menelusurinya. 

Tengok saja bisnis-bisnis apa saja yang ditekuni tiap anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah. Hampir semua anggota parlemen yang berada di bawah komisi yang menaungi energi berbisnis energi dan hampir semua anggota parlemen yang bergerak di bidang hukum mempunyai kaitan dengan kantor-kantor pengacara (baik langsung maupun tidak langsung). Akhirnya publik menyaksikan ruang usaha dipenuhi oleh jalur koneksi ke parlemen, mulai dari katering hingga PJPTKI, dari buku cetakan hingga kitab suci, dari impor alkohol hingga konstruksi. 

Bahkan dari dana CSR sampai bantuan sosial. Ini belum termasuk dana yang dicuri eksekutif yang juga melakukan hal serupa. Di berbagai kabupaten dan kota madya kita juga menyaksikan perebutan bisnis konstruksi hingga pertamanan yang membuat eksekutif sulit bekerja. Seorang direktur salah satu BUMN menyebutkan sulitnya mengganti crane di pelabuhan dengan satu merek yang sama. Masalahnya, tiap crane harus disewa dari orang-orang yang di-back up oleh oknum anggota parlemen. 

Bila hal itu dilanggar, mereka akan diminta mengikuti rapat dengar pendapat di gedung parlemen, lalu bersiap-siaplah menerima semprotan minyak panas. Lain bisnis, lain lagi penegakan etika. Ketika Dahlan Iskan melaporkan sejumlah oknum anggota parlemen yang diduga telah memeras BUMN, saya pun teringat dengan pengujian materi UU 27 Tahun 2009 itu yang diajukan oleh tiga warga negara Indonesia tadi. Ketiga pemohon juga meminta agar MK meninjau Pasal 123 dan Pasal 124 ayat (1) tentang keanggotaan Badan Kehormatan DPR dan Pasal 234 ayat (1) huruf f,  Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf f, dan Pasal 353 ayat (1) huruf f yang menyangkut Badan Kehormatan di DPD dan DPRD. 

Masalahnya, badan-badan kehormatan itu diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan sendiri, yang bersifat “perimbangan dan pemerataan” jumlah anggota dari tiap fraksi. Sekarang, bisakah etika ditegakkan dari kalangan yang sangat berkepentingan terhadap “nama baik” keluarga-besar sendiri? Artinya, berapa kuatkah nama-nama besar seperti Siswono Yudo Husodo atau M Prakosa kalau mereka mengabdi kepada dua ”atasan” sekaligus? 

Atasan pertama adalah pimpinan fraksinya sendiri, sedangkan atasan kedua ya hati nuraninya. Apalagi kalau yang diadili rekan atau sahabat sendiri. Bukankah kita lebih baik mengacungkan tangan, mengaku ada conflict of interest ketimbang harus mengambil langkah yang tak enak di hati. Itulah masalah yang dipersoalkan ketiga orang tersebut. Andaikan MK saat itu mengabulkannya, mungkin Indonesia sudah memiliki kultur politik yang sedikit lebih baik. Kultur tentu tidak bisa dibentuk oleh hanya satu elemen, tetapi dalam ilmu perubahan, kita percaya seseorang yang diberi pulpen bagus akan diberi tahu oleh anggota keluarganya agar memakai baju yang bagus pula. 

Kalau bajunya sudah bagus, istri/suaminya mungkin akan memberikan celana dan sepatu yang matching pula. Satu elemen tidak otomatis mengubah semuanya, tetapi ia bisa memicu perubahan. Tapi Indonesia tidak bisa maju dan mencapai posisi 6 besar dunia seperti yang diramalkan Standard Chartered Bank pada 2030 atau posisi nomor 7 menurut Mc Kinsey Global Institute kalau membiarkan dunia usaha berjalan di atas politik yang sarat dengan konflik kepentingan. 

Indonesia tak juga mempunyai role model dari figur-figur yang ”lain di depan-lain di belakang”. Role model yang demikian pandai berbohong, semakin berani melawan kendati salah. Tanpa role model yang bebas dari kepentingan, kita hanya akan melahirkan bangsa yang kalah, bangsa pecundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar