Robohnya
Moral-Etis Kekuasaan
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
SUARA
KARYA, 12 Desember 2012
Penetapan Menpora
(kini mantan Menpora) Andi Alifian Malarangeng sebagai tersangka ka-sus mega
proyek Ham-balang, entah itu karena benar-benar menyalahgunakan kekuasaan
atau hanya karena terjebak dalam pusaran arus birokrasi yang korup,
sesungguhnya kian meniscayakan kredo Lord Acton. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Sebuah sabda yang bersifat postulatik, karena sangat mudah kita merasa
kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini. Banyak pemilik
kekuasaan eksekutif yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Setidaknya, itulah
yang tampak dari fenomena terjeratnya sejumlah mantan menteri dan pejabat
negara belakangan ini. Fenomena yang paling mengerikan adalah korupsi yang
menggerus perjalanan otonomi daerah, yang menjerat 173 orang dari 524 kepala
daerah dalam korupsi terkait penggelembungan dana APBD dan munculnya 49 wali
kota/wakil bupati yang diproses secara hukum di KPK sepanjang tahun
2004-2011. Juga, data terbaru KPK yang menyebutkan angka fenomenal jumlah
pejabat, yakni dari 332 tersangka kasus korupsi selama 2004-2011, 106 orang
di antaranya atau yang terbanyak adalah pejabat eselon I-III , disusul
anggota DPR dan DPRD 65 tersangka serta bupati/wali kota dan wakil
bupati/wakil wali kota 31 tersangka.
Sebuah fenomena yang
mencerminkan robohnya moral-etis kekuasaan di balik kuatnya hasrat korupsi
elite-elite negeri yang meng-abaikan pentingnya kesejahteraaan rakyat dengan
berbagai modus transaksi bisnis dan kepentingan dengan berbagai entitas
kelompok penguasa. Kuatnya hasrat korupsi ini seolah mempertegas pandangan
filsuf Thomas Hobbes bahwa setiap elite selalu memiliki hasrat untuk
memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan semaksimal mungkin,
termasuk dengan mengaburkan aspek kriminal dari harta-harta curiannya.
Karena kekuasaan itu
cenderung korup, dan realitas sehari-hari kita juga benar-benar menunjukkan
kecenderungan itu, maka banyak orang menjadi skeptik terhadap politik dan
kekuasaan. Joseph Schumpeter (1957), salah satu pemikir politik yang disegani
menolak adanya muatan moral dalam politik. Bahwa politik itu sungguh kotor
dan menjijikkan. Tentang pemilu, misalnya, Schumpeter mempunyai keyakinan
bahwa individu yang memilih para pemimpin atau para wakilnya, tidak didorong
oleh kemauan yang tulus (genuine-will),
tetapi oleh kehendak buatan (manufactured
will) yang diciptakan oleh pertarungan kepentingan elite yang
mengiklankan dirinya di ruang publik. Keyakinan kaum Schumpeterian ini tentu
tidak bisa disangkal sepenuhnya. Karena, realitas politik seringkali
membenarkan fenomena ini.
Kesucian politik atau
idealisme luhur yang terkandung serta-merta gugur ketika kasus korupsi dan
penyalahgunaan wewenang menjadi marak. Memang, praktik politik kekuasan kita
cenderung mengabaikan keutamaan-keutamaan moral. Sehingga, kekuasaan yang
hakikatnya hadir untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, seperti pendapat
para pemikir kemanusiaan sepanjang sejarah manusia, yaitu Plato dan
Aristoteles, gugur dan hilang tanpa bekas.
Dalam konteks ini
pula, kegeraman Gaetano Mosca (1858-1941) ada benarnya bahwa tidak ada
pemerin-tahan monarki, aristokrasi, ataupun demokrasi. Yang ada adalah
oligarki, Karena, masyarakat terpolarisasi dalam dua dikotomi absolut, yaitu
kelompok minoritas yang memerintah (the
ruler) dan kelompok mayoritas yang diperintah (the ruled). Yang memerintah cenderung mengabikan kepentingan
mayoritas yang diperintah. Korupsi yang menjadi tren di kelompok minoritas
yang memerintah merupakan wujud telanjang dari pengabaian terhadap
kepentingan mayoritas yang diperintah atau kepentingan rakyat seluruhnya.
Dalam realitas politik
dan kekuasaan yang korup itu, skeptisisme dan resistensi terhadap kekuasaan
seringkali muncul sebagai manifestasi dari sikap frustrasi terhadap proses
politik dan implementasi kekuasaan yang pada gilirannya menyuburkan konflik
vertikal atau yang sesekali meletup dalam aksi demonstrasi massa menantang
sikap pemerintah yang kurang tegas terhadap pemberantasan korupsi. Sayangnya,
pemerintah dan aparat penegak hukum menanggapi secara serius aksi demonstrasi
massa dengan tidak lebih giat dan tegas lagi melakukan pemberantasan korupsi,
tetapi malah hanya mengemukakan argumentasi politis bahwa semua itu tidak
lain sebagai ekspresi demokrasi.
Jadi, demokrasi bukan
lagi dijadikan sebagai sarana penciptaan kesejahteraan rakyat dan kelancaran
dalam upaya pemberantasan korupsi karena peran kontrol publik dimaksimalkan
dalam ruang demokrasi, tetapi malah la-gi-lagi dijadikan sarana untuk
melanggengkan kekuasaan. Lalu, seperti dikata-kan dalam tesis Mosca, bahwa
teleologi kekuasaan dimaknai secara dangkal sebagai oportunisme sempit dalam
rangka maksimalisasi keuntungan pribadi/kelompok, sementara pada saat yang
sama kepentingan umum tersisihkan, sambil korupsi jalan terus ibarat virus
ganas yang menyebar dan menggerogoti seluruh sendi kehidupan masyarakat
bangsa.
Saat ini, meski masih
jauh dari harapan masyarakat soal pemberantasan korupsi, namun setidaknya
sejumlah langkah KPK dalam menggalakkan aksi pemberantasan korupsi, sudah
cukup menghibur masyarakat. Namun, kita sangat berharap agar langkah-langkah
KPK itu bukan sekadar menaikkan citra lembaga ini di hadapan publik, tetapi
lebih dari pada perjuangan untuk membenahi praktik politik kekuasaan yang
sudah telanjur rusak parah.
Artinya, semangat
pemberantasan korupsi mesti sungguh-sungguh berangkat dari kesadaran tulus
dan niat suci untuk menegakkan nilai-nilai etis kekuasaan yang selama ini
dikangkangi secara semena-mena. Dengan kata lain, etika politik harus
ditegakkan kembali dalam rangka meluruskan fitrah politik sebagai perjuangan
luhur nan suci untuk kebaikan umum (common
good) atau kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar