Kamis, 13 Desember 2012

Robohnya Moral-Etis Kekuasaan


Robohnya Moral-Etis Kekuasaan
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SUARA KARYA, 12 Desember 2012


Penetapan Menpora (kini mantan Menpora) Andi Alifian Malarangeng sebagai tersangka ka-sus mega proyek Ham-balang, entah itu karena benar-benar menyalahgunakan kekuasaan atau hanya karena terjebak dalam pusaran arus birokrasi yang korup, sesungguhnya kian meniscayakan kredo Lord Acton. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sebuah sabda yang bersifat postulatik, karena sangat mudah kita merasa kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini. Banyak pemilik kekuasaan eksekutif yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Setidaknya, itulah yang tampak dari fenomena terjeratnya sejumlah mantan menteri dan pejabat negara belakangan ini. Fenomena yang paling mengerikan adalah korupsi yang menggerus perjalanan otonomi daerah, yang menjerat 173 orang dari 524 kepala daerah dalam korupsi terkait penggelembungan dana APBD dan munculnya 49 wali kota/wakil bupati yang diproses secara hukum di KPK sepanjang tahun 2004-2011. Juga, data terbaru KPK yang menyebutkan angka fenomenal jumlah pejabat, yakni dari 332 tersangka kasus korupsi selama 2004-2011, 106 orang di antaranya atau yang terbanyak adalah pejabat eselon I-III , disusul anggota DPR dan DPRD 65 tersangka serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota 31 tersangka.
Sebuah fenomena yang mencerminkan robohnya moral-etis kekuasaan di balik kuatnya hasrat korupsi elite-elite negeri yang meng-abaikan pentingnya kesejahteraaan rakyat dengan berbagai modus transaksi bisnis dan kepentingan dengan berbagai entitas kelompok penguasa. Kuatnya hasrat korupsi ini seolah mempertegas pandangan filsuf Thomas Hobbes bahwa setiap elite selalu memiliki hasrat untuk memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan semaksimal mungkin, termasuk dengan mengaburkan aspek kriminal dari harta-harta curiannya.
Karena kekuasaan itu cenderung korup, dan realitas sehari-hari kita juga benar-benar menunjukkan kecenderungan itu, maka banyak orang menjadi skeptik terhadap politik dan kekuasaan. Joseph Schumpeter (1957), salah satu pemikir politik yang disegani menolak adanya muatan moral dalam politik. Bahwa politik itu sungguh kotor dan menjijikkan. Tentang pemilu, misalnya, Schumpeter mempunyai keyakinan bahwa individu yang memilih para pemimpin atau para wakilnya, tidak didorong oleh kemauan yang tulus (genuine-will), tetapi oleh kehendak buatan (manufactured will) yang diciptakan oleh pertarungan kepentingan elite yang mengiklankan dirinya di ruang publik. Keyakinan kaum Schumpeterian ini tentu tidak bisa disangkal sepenuhnya. Karena, realitas politik seringkali membenarkan fenomena ini.
Kesucian politik atau idealisme luhur yang terkandung serta-merta gugur ketika kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi marak. Memang, praktik politik kekuasan kita cenderung mengabaikan keutamaan-keutamaan moral. Sehingga, kekuasaan yang hakikatnya hadir untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, seperti pendapat para pemikir kemanusiaan sepanjang sejarah manusia, yaitu Plato dan Aristoteles, gugur dan hilang tanpa bekas.
Dalam konteks ini pula, kegeraman Gaetano Mosca (1858-1941) ada benarnya bahwa tidak ada pemerin-tahan monarki, aristokrasi, ataupun demokrasi. Yang ada adalah oligarki, Karena, masyarakat terpolarisasi dalam dua dikotomi absolut, yaitu kelompok minoritas yang memerintah (the ruler) dan kelompok mayoritas yang diperintah (the ruled). Yang memerintah cenderung mengabikan kepentingan mayoritas yang diperintah. Korupsi yang menjadi tren di kelompok minoritas yang memerintah merupakan wujud telanjang dari pengabaian terhadap kepentingan mayoritas yang diperintah atau kepentingan rakyat seluruhnya.
Dalam realitas politik dan kekuasaan yang korup itu, skeptisisme dan resistensi terhadap kekuasaan seringkali muncul sebagai manifestasi dari sikap frustrasi terhadap proses politik dan implementasi kekuasaan yang pada gilirannya menyuburkan konflik vertikal atau yang sesekali meletup dalam aksi demonstrasi massa menantang sikap pemerintah yang kurang tegas terhadap pemberantasan korupsi. Sayangnya, pemerintah dan aparat penegak hukum menanggapi secara serius aksi demonstrasi massa dengan tidak lebih giat dan tegas lagi melakukan pemberantasan korupsi, tetapi malah hanya mengemukakan argumentasi politis bahwa semua itu tidak lain sebagai ekspresi demokrasi.
Jadi, demokrasi bukan lagi dijadikan sebagai sarana penciptaan kesejahteraan rakyat dan kelancaran dalam upaya pemberantasan korupsi karena peran kontrol publik dimaksimalkan dalam ruang demokrasi, tetapi malah la-gi-lagi dijadikan sarana untuk melanggengkan kekuasaan. Lalu, seperti dikata-kan dalam tesis Mosca, bahwa teleologi kekuasaan dimaknai secara dangkal sebagai oportunisme sempit dalam rangka maksimalisasi keuntungan pribadi/kelompok, sementara pada saat yang sama kepentingan umum tersisihkan, sambil korupsi jalan terus ibarat virus ganas yang menyebar dan menggerogoti seluruh sendi kehidupan masyarakat bangsa.
Saat ini, meski masih jauh dari harapan masyarakat soal pemberantasan korupsi, namun setidaknya sejumlah langkah KPK dalam menggalakkan aksi pemberantasan korupsi, sudah cukup menghibur masyarakat. Namun, kita sangat berharap agar langkah-langkah KPK itu bukan sekadar menaikkan citra lembaga ini di hadapan publik, tetapi lebih dari pada perjuangan untuk membenahi praktik politik kekuasaan yang sudah telanjur rusak parah.
Artinya, semangat pemberantasan korupsi mesti sungguh-sungguh berangkat dari kesadaran tulus dan niat suci untuk menegakkan nilai-nilai etis kekuasaan yang selama ini dikangkangi secara semena-mena. Dengan kata lain, etika politik harus ditegakkan kembali dalam rangka meluruskan fitrah politik sebagai perjuangan luhur nan suci untuk kebaikan umum (common good) atau kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar