Darurat Moral
di MA
Achmad Cholil ; Kandidat LLM di Melbourne Law School, the
University of Melbourne, Australia, hakim Pengadilan Agama Bekasi
|
SUARA
KARYA, 12 Desember 2012
Mahkamah Agung (MA)
saat ini sedang menghadapi ujian berat. Belum hilang dari ingatan soal
terungkapnya skandal suap beberapa hakim, kabar tak sedap justru datang dari
institusi yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara itu. Seorang hakim
agung, Achmad Yamanie yang idealnya memberikan teladan baik bagi seluruh
hakim di Indonesia justru melakukan perbuatan tercela memalsukan putusan
Peninjauan Kembali (PK) terpidana narkotika, Hangky Gunawan.
Berdasarkan
pemeriksaan tim di MA ditemukan tulisan tangan Yamanie tentang vonis yang
tidak sesuai dengan kesepakatan majelis. Ia terbukti mengubah dan memalsukan
putusan vonis penjara atas bandar narkoba Hangky dari 15 tahun menjadi 12
tahun tanpa sepengetahuan dua hakim anggota lainnya. Akibat tindakan tidak
profesional itu merunyamkan aura kepastian hukum putusan PK Hanky yang sejak
awal penuh gonjang-ganjing publik.
Di sinilah proses
merebut kepercayaan publik kerap kontraproduktif dengan performa aparat
peradilan yang tidak menjangkarkan moral sebagai kekuatan utama dalam
bertugas. Yamanie didesak lengser dari jabatannya supaya tidak merusak citra
MA yang belakangan ini susah payah dibangun atas prinsip transparansi dan
akuntabilitas. Namun ada pula kalangan mendesak agar ia diberhentikan tidak
dengan hormat dengan alasan cacat moral. Hakim agung adalah puncak kearifan
dan karier seorang hakim, sehingga tak layak diisi oleh orang-orang yang
cacat integritas.
Sejak awal Sebastiaan
Pompe dalam The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse
(2005) telah mengemukakan tesis mengejutkan perihal ambruknya pilar penegakan
hukum di institusi MA. Tesis itu seolah-olah lambat laun menemukan
kebenarannya. Orang boleh mengatakan Pompe salah bicara dan tidak memahami
peta penegakan hukum di Indonesia. Namun sialnya, sebagian atau beberapa
bagian yang dikemukakan kini telah benar-benar terjadi.
Pilar lembaga
peradilan tertinggi di Indonesia itu kini sedang habis-habisan dalam
pertaruhan, untuk tidak mengatakan terancam roboh. Analisis Pompe mungkin
terlalu digeneralisir, tetapi kasus seputar cacat integritas Achmad Yamanie
dapat menunjukkan ke arah itu. Celakanya, dalam temuannya MA hanya
menyimpulkan Yamanie tidak profesional dalam menjalankan tugas yudisial (unprofessio-nal conduct). MA berdalih
tidak menemukan bukti pe-langgaran kode etik berupa unsur penyuapan dan
mengklaim yang dilakukan Yamanie hanya kesalahan teknis yudisial dan masih
berada dalam koridor inde-pendensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara.
Kesimpulan MA itu
terlihat janggal, kontradiktif dan inkonsisten. Dengan tetap menjunjung
tinggi asas presumption of innocence, ada sejumlah pertanyaan yang harus
dijawab terkait hasil temuan MA tersebut. Benarkah Yamanie bertindak
sendirian? Jika dikatakan bertindak secara unprofessional conduct, kenapa kesimpulan
itu tidak melalui jalur Majelis Kehormatan Hakim (MKH)?
Kesimpulan unprofessional conduct semestinya
dila-kukan melalui sidang MKH seperti yang selama ini di-praktikkan. Sebagian
besar hakim yang dipecat melalu jalur MKH karena mereka dicap tidak
profesional. Itu sangat mengagetkan dan hampir membuat banyak hakim yunior
tidak bisa mempercayainya. Itu peristiwa menyedihkan dan mengecewakan karena
hakim agung seharusnya menunjukkan keagungannya baik dalam bersikap maupun
memutus perkara. Hakim agung adalah panutan bagi hakim-hakim yunior di
pengadilan tingkat pertama dan banding. Tidak hanya putusannya yang bisa
menjadi yurisprudensi dan rujukan hakim lainnya, tetapi juga integritas dan
profesionalitasnya dijadikan acuan.
Benar, hakim agung
juga manusia biasa. Tetapi, melakukan kesalahan tekhnis dengan mengubah
putusan tanpa persetujuan anggota majelis lainnya, adalah hal yang tidak bisa
ditolerir untuk ukuran seorang hakim agung. Di tengah rendahnya kepercayaan
publik dan rasa hausnya hakim muda akan tokoh hukum/hakim agung yang bisa
dijadikan model, kasus ini seakan menghancurkan harapan para hakim muda itu.
Hal itu sekaligus memperburuk citra MA di mata masyarakat domestik maupun
internasional.
Karena itu, MA
selayaknya mengambil tindakan cepat dan tepat agar kasus seperti Yamanie ini
tidak terulang di masa yang akan datang. Pertama, evaluasi mekanisme
pengambilan dan pembacaan putusan, meski menyebut putusan dijatuhkan dalam
sidang terbuka untuk umum, namun dalam praktiknya selama ini putusan MA itu
dibacakan tanpa dihadiri para pihak. Kebiasaan ini harus diubah untuk
transparansi. Kedua, peningkatan kualitas pertimbangan dalam putusan, yang
dikatakan miskin pertimbangan hukum, kualitas pertimbangan hukum yang rendah,
dan kurang transparan dan akuntabel. Prof Tim Lindsey (2012) misalnya,
menyebut putusan MA berisi pertimbangan hukum yang paling singkat dan most
poorly reasoned dibanding putusan pengadilan di ba-wahnya.
Ketiga, peningkatan
manajemen administrasi perkara. Perbedaan putusan antara yang dipublikasikan
di website dengan putusan yang dikirim ke pengadilan pertama mengindikasikan
sistem administrasi perkara di MA belum mapan, terlebih untuk mencegah
penyimpangan. Manajemen sistem administrasi perkara ini mendesak dibenahi.
Keempat, pengetatan
pengawasan internal, pisau pengawasan MA dianggap tajam ke bawah tumpul ke
atas. Pengawasan harus sama di semua tingkatan tanpa memandang jabatan.
Terakhir, perbaikan sistem dan metode pemilihan calon hakim agung. Achmad
Yamanie berhasil menjadi hakim agung setelah sukses melalui seleksi ketat
proses pemilihan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) dan DPR. Tetapi
mekanisme itu belum bisa menjamin integritas dan profesionalitas seorang
hakim agung.
Atas peristiwa tidak
terpuji ini, harus menjadi momentum untuk membersihkan institusi peradilan
yang agung dari berbagai penyimpangan, dan merebut segera merebut kembali
kepercayaan publik yang hampir sirna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar