Kamis, 13 Desember 2012

Darurat Moral di MA


Darurat Moral di MA
Achmad Cholil ;  Kandidat LLM di Melbourne Law School, the University of Melbourne, Australia, hakim Pengadilan Agama Bekasi
SUARA KARYA, 12 Desember 2012



Mahkamah Agung (MA) saat ini sedang menghadapi ujian berat. Belum hilang dari ingatan soal terungkapnya skandal suap beberapa hakim, kabar tak sedap justru datang dari institusi yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara itu. Seorang hakim agung, Achmad Yamanie yang idealnya memberikan teladan baik bagi seluruh hakim di Indonesia justru melakukan perbuatan tercela memalsukan putusan Peninjauan Kembali (PK) terpidana narkotika, Hangky Gunawan.
Berdasarkan pemeriksaan tim di MA ditemukan tulisan tangan Yamanie tentang vonis yang tidak sesuai dengan kesepakatan majelis. Ia terbukti mengubah dan memalsukan putusan vonis penjara atas bandar narkoba Hangky dari 15 tahun menjadi 12 tahun tanpa sepengetahuan dua hakim anggota lainnya. Akibat tindakan tidak profesional itu merunyamkan aura kepastian hukum putusan PK Hanky yang sejak awal penuh gonjang-ganjing publik.
Di sinilah proses merebut kepercayaan publik kerap kontraproduktif dengan performa aparat peradilan yang tidak menjangkarkan moral sebagai kekuatan utama dalam bertugas. Yamanie didesak lengser dari jabatannya supaya tidak merusak citra MA yang belakangan ini susah payah dibangun atas prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun ada pula kalangan mendesak agar ia diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan cacat moral. Hakim agung adalah puncak kearifan dan karier seorang hakim, sehingga tak layak diisi oleh orang-orang yang cacat integritas.
Sejak awal Sebastiaan Pompe dalam The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (2005) telah mengemukakan tesis mengejutkan perihal ambruknya pilar penegakan hukum di institusi MA. Tesis itu seolah-olah lambat laun menemukan kebenarannya. Orang boleh mengatakan Pompe salah bicara dan tidak memahami peta penegakan hukum di Indonesia. Namun sialnya, sebagian atau beberapa bagian yang dikemukakan kini telah benar-benar terjadi.
Pilar lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu kini sedang habis-habisan dalam pertaruhan, untuk tidak mengatakan terancam roboh. Analisis Pompe mungkin terlalu digeneralisir, tetapi kasus seputar cacat integritas Achmad Yamanie dapat menunjukkan ke arah itu. Celakanya, dalam temuannya MA hanya menyimpulkan Yamanie tidak profesional dalam menjalankan tugas yudisial (unprofessio-nal conduct). MA berdalih tidak menemukan bukti pe-langgaran kode etik berupa unsur penyuapan dan mengklaim yang dilakukan Yamanie hanya kesalahan teknis yudisial dan masih berada dalam koridor inde-pendensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara.
Kesimpulan MA itu terlihat janggal, kontradiktif dan inkonsisten. Dengan tetap menjunjung tinggi asas presumption of innocence, ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab terkait hasil temuan MA tersebut. Benarkah Yamanie bertindak sendirian? Jika dikatakan bertindak secara unprofessional conduct, kenapa kesimpulan itu tidak melalui jalur Majelis Kehormatan Hakim (MKH)?
Kesimpulan unprofessional conduct semestinya dila-kukan melalui sidang MKH seperti yang selama ini di-praktikkan. Sebagian besar hakim yang dipecat melalu jalur MKH karena mereka dicap tidak profesional. Itu sangat mengagetkan dan hampir membuat banyak hakim yunior tidak bisa mempercayainya. Itu peristiwa menyedihkan dan mengecewakan karena hakim agung seharusnya menunjukkan keagungannya baik dalam bersikap maupun memutus perkara. Hakim agung adalah panutan bagi hakim-hakim yunior di pengadilan tingkat pertama dan banding. Tidak hanya putusannya yang bisa menjadi yurisprudensi dan rujukan hakim lainnya, tetapi juga integritas dan profesionalitasnya dijadikan acuan.
Benar, hakim agung juga manusia biasa. Tetapi, melakukan kesalahan tekhnis dengan mengubah putusan tanpa persetujuan anggota majelis lainnya, adalah hal yang tidak bisa ditolerir untuk ukuran seorang hakim agung. Di tengah rendahnya kepercayaan publik dan rasa hausnya hakim muda akan tokoh hukum/hakim agung yang bisa dijadikan model, kasus ini seakan menghancurkan harapan para hakim muda itu. Hal itu sekaligus memperburuk citra MA di mata masyarakat domestik maupun internasional.
Karena itu, MA selayaknya mengambil tindakan cepat dan tepat agar kasus seperti Yamanie ini tidak terulang di masa yang akan datang. Pertama, evaluasi mekanisme pengambilan dan pembacaan putusan, meski menyebut putusan dijatuhkan dalam sidang terbuka untuk umum, namun dalam praktiknya selama ini putusan MA itu dibacakan tanpa dihadiri para pihak. Kebiasaan ini harus diubah untuk transparansi. Kedua, peningkatan kualitas pertimbangan dalam putusan, yang dikatakan miskin pertimbangan hukum, kualitas pertimbangan hukum yang rendah, dan kurang transparan dan akuntabel. Prof Tim Lindsey (2012) misalnya, menyebut putusan MA berisi pertimbangan hukum yang paling singkat dan most poorly reasoned dibanding putusan pengadilan di ba-wahnya.
Ketiga, peningkatan manajemen administrasi perkara. Perbedaan putusan antara yang dipublikasikan di website dengan putusan yang dikirim ke pengadilan pertama mengindikasikan sistem administrasi perkara di MA belum mapan, terlebih untuk mencegah penyimpangan. Manajemen sistem administrasi perkara ini mendesak dibenahi.
Keempat, pengetatan pengawasan internal, pisau pengawasan MA dianggap tajam ke bawah tumpul ke atas. Pengawasan harus sama di semua tingkatan tanpa memandang jabatan. Terakhir, perbaikan sistem dan metode pemilihan calon hakim agung. Achmad Yamanie berhasil menjadi hakim agung setelah sukses melalui seleksi ketat proses pemilihan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) dan DPR. Tetapi mekanisme itu belum bisa menjamin integritas dan profesionalitas seorang hakim agung.
Atas peristiwa tidak terpuji ini, harus menjadi momentum untuk membersihkan institusi peradilan yang agung dari berbagai penyimpangan, dan merebut segera merebut kembali kepercayaan publik yang hampir sirna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar