Kamis, 13 Desember 2012

Makna Hukum Mundurnya Andi Mallarangeng


Makna Hukum Mundurnya Andi Mallarangeng
Sudjito ;  Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SINDO, 12 Desember 2012


Andi Mallarangeng mundur dari jabatan menpora sehari setelah dicegah tangkal ke luar negeri karena telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek gedung olahraga Hambalang. 
Dia diduga menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan proyek sehingga menyebabkan kerugian negara dan/atau memperkaya seseorang. Terhadap peristiwa langka itu, Ketua KPK Abraham Samad memuji tindakan mantan juru bicara Presiden tersebut. “Itu menandakan dia seorang kesatria. Itulah kesatria Bugis Makassar,” katanya di sela pemasangan banner “Berani Jujur Hebat” di Kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (9/12). 

Tulisan ini tidak dalam bingkai dan semangat “nimbrung” memuji atau membenci sikap Andi, tetapi tergerak untuk memaknakan kejadian langka itu sekaligus mengambil hikmah pelajaran agar kehidupan bernegara hukum Indonesia menjadi semakin dewasa dan pemberantasan korupsi pun semakin berhasil. Pertama, segelap gulita apa pun kondisi negara hukum kita dewasa ini, pasti selalu ada secercah sinar terang (petunjuk Illahi) yang dapat menerangi bangsa ini untuk keluar dari kegelapan.

Sebagai bagian dari keimanan, saya yakin, mundurnya Andi tidak lepas dari skenario agung Sang Pencipta dalam mencurahkan rahmat, kasih dan sayang-Nya kepada bangsa Indonesia. Permasalahannya, seberapa kuat kepekaan dan komitmen bangsa ini dalam memahami petunjuk yang bersifat transendental itu? Sejujurnya, kita perlu kerja keras untuk urusan ini. Tidak cukup dengan akal, melainkan perlu kecerdasan spiritual. 

Kedua, untuk mewujudkan negara hukum bernurani (Satjipto Rahardjo, 2009), negara perlu memiliki kedirian sebagai organ yang mampu berpikir, berencana, dan bertindak sesuai dengan pilihan nuraninya. Hal tersebut berarti semua komponen dari negara berdiri di atas landasan atau platform yang sama, yaitu kepedulian untuk ”membahagiakan rakyat”. Dalam konteks demikian, pemberantasan korupsi bukan sesempit aktivitas KPK menyelamatkan uang negara, melainkan bagian dari gerakan nasional untuk membahagiakan rakyat.

Oleh karenanya, target pemberantasan korupsi mesti diperluas, selain korupsi konvensional mencakup pula korupsi kekuasaan, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan publik. Ia adalah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (willekeur), ceroboh, melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar, bekerja asal-asalan, tidak peduli perasaan rakyat, dan sebagainya. 

Kasus dugaan korupsi proyek Hambalang sangat mungkin terjadi karena korupsi konvensional berkelindan dengan korupsi kekuasaan. Ketiga,terkait dengan kasus Andi, derivasi konsep negara hukum bernurani dapat dilihat pada kesungguhan KPK dalam mengusut dugaan korupsi proyek Hambalang. Terlepas dari cepat atau lambat, kini telah terbukti bahwa KPK bekerja secara profesional.Tanpa pandang bulu, seorang menteri yang masih aktif dan berasal dari partai politik besar yang tengah berkuasa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. 

Saya kira, hal demikian bukan untuk kepentingan KPK agar bisa menepuk dada sebagai lembaga penegak hukum profesional, melainkan karena kecintaan kepada bangsa dan demi kebahagiaan rakyat. Keempat, semestinya selain Andi, siapa pun yang diduga terlibat dalam kasus korupsi (untuk proyek yang mana pun) segera mengikuti sikap dan jejak-langkah Andi, yakni mengundurkan diri dari jabatan formal dan segera menyerahkan diri kepada yang pihak berwajib. 

Sikap kesatria Andi hendaknya direfleksikan sebagai karakter bangsa yang jelas (distinct), yakni bangsa yang punya rasa malu ketika negerinya dirundung malang akibat korupsi merajalela. Benar bahwa mundurnya Andi merupakan pendidikan politik dan pendidikan hukum yang berharga. Kelima, rakyat bahagia dan angkat topi terhadap “kedewasaan” sikap dan perilaku KPK maupun Andi.

Terbayangkan betapa indahnya apabila lembaga penegak hukum lain (kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun para pengacara) dan para pejabat tinggi lain yang diduga terlibat kasus korupsi memiliki pola pikir, sikap, dan perilaku serupa.Pastilah rakyat akan bahagia dan bangga bernegara hukum Indonesia. Sesuai dengan namanya sebagai “negara hukum bernurani”, sekalian warga negara dan penyelenggara negara (eksekutif, legislatif maupun yudikatif) mesti memiliki empati, integritas moral, dan keberanian mengakui kesalahan serta keberanian menegakan hukum secara profesional demi terwujudnya negara hukum sebagai rumah nyaman bagi penduduknya. 

Disadari, mimpi indah di atas tidak mudah menjadi kenyataan. Mengapa? Karena struktur dan komponen beserta fungsi-fungsi pemerintahan masih terus bekerja berdasarkan konsep liberal. Proyek Hambalang dan proyek-proyek bermasalah lainnya menjadi rumit dan potensial melahirkan koruptor karena berada dalam bingkai konsep liberal, individual, dan kapitalistik. Para politikus dan pebisnis bertarung ataupun berkongkalikong memperebutkan kekuasaan dan keuntungan finansial. 

Dengan jargon- jargon politik dan ekonomi seperti efektivitas, efisiensi, hak asasi maupun demokrasi, penyelenggara negara terlibat dalam proses dan interaksi tawar-menawar tanpa mempertimbangkan aspek moralitas. Mereka tersesat ke dalam pola pikir seolah kapasitas (kekuatan politik) yang dimilikinya mampu mewujudkan angan-angan hidup mewah sepanjang masa. Kembalinya Andi di jalan yang benar kiranya dapat dijadikan momentum untuk menyegarkan pemahaman tentang urgensi moralitas hukum. 

Jangan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi, jabatan, dan kekuasaan. Sebab, hal ini akan mengakibatkan kerusakan moral dan kehancuran negara. Sebagai tebusan dosa, “nyanyian Andi” sangat diharapkan agar KPK dapat menuntaskan tugasnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar