Minggu, 09 Desember 2012

Masyarakat yang Diabaikan Waktu


Masyarakat yang Diabaikan Waktu
Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 07 Desember 2012


MENGAPA masih ada yang menolak keputusan Majelis Umum PBB memberikan status negara nonanggota kepada Palestina? Jumlah itu kecil, hanya sembilan negara, bila dibandingkan dengan yang setuju (138) dan abstain (41). Itu tentu atas dasar pertimbangan politik. Namun, hal itu tetap saja mengganggu karena ada kemunafikan dalam wacana kita tentang hak asasi manusia (HAM). Bagaimana menjelaskannya?

Kebebasan individu asal mulanya diproklamasikan dalam Magna Carta (1215): ‘Piagam Besar’ yang ditandatangani raja Inggris dalam kaitan hakhak raja dan perlindungan terhadap hak-hak gereja. Konsep itu masuk ke Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776), lalu Konstitusi Amerika (1789), dan amendemen-amendemen pertama Hak-Hak Asasi (1791); sampai akhirnya berkembang ke pengertian tentang tanggung jawab masyarakat internasional terhadap perlindungan Hak-Hak Asasi (1945) dan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Universal (1948).

Voting positif untuk Palestina, Kamis (29/11), tentu sejalan dengan konsep tersebut sekalipun diperlukan waktu lama untuk mendapatkannya-65 tahun setelah resolusi PBB membagi wilayah Palestina pada 1947. Negara Republik Palestina, dengan penduduk 3,7 juta jiwa, mulai memasuki babak baru dalam sejarah mereka. 

Selanjutnya, mereka pastinya akan memperjuangkan kemerdekaan penuh dan membangun rekonsiliasi penduduk. Swiss yang juga pernah menjadi negara nonanggota selama setengah abad akhirnya menjadi negara anggota tetap PBB 2002. Bergulirnya peradaban ada kalanya memang mengabaikan perkembangan sosial-politik sebagian masyarakat dunia.

Tertinggal dari Laju Peradaban

Ada buku menarik The People Time Forgot (1981), memoar Alice Gibbons, istri misionaris yang pernah tinggal beberapa tahun dengan keluarganya di Papua. Buku itu menggambarkan kehidupan suku Damal di Papua yang terabaikan oleh waktu. Memoar itu membuat pembaca sadar, banyak kantong penduduk dunia yang kita abaikan sekalipun kita ramai berwacana tentang demokrasi dan hak asasi. Nasib suku Damal di Papua itu jauh lebih sengsara daripada penduduk Palestina. Setelah ratusan tahun menjalani rutinitas kehidupan berupa kelahiran dan kematian, perang dan pemujaan pada roh, dengan menjaga kelangsungan hidup apa adanya sesuai dengan budaya zaman batu, baru sekitar setengah abad yang lalu suku Damal mulai mengenal peradaban modern.

Bentuk kehidupan suatu masyarakat merupakan paduan lingkungan teritorialnya dan bagaimana masyarakat itu mengorganisasi diri. Ekologi sosial menjelaskan, sekalipun lingkungan memang penting untuk mengubah perilaku manusia, pada akhirnya perilaku manusia sendirilah yang menentukan perubahan.

Dalam masyarakat maju, berbagai lembaga dibentuk sebagai sarana memajukan diri agar sesuai dengan perkembangan peradaban modern. Namun bagi masyarakat terbelakang, kesederhanaan lembaga-lembaga hanya memungkinkan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Kriteria untuk mengidentifikasi kebudayaan primitif ialah bila budaya itu tidak mampu mengadakan perubahan berarti terhadap lingkungan biologis dan geofisikanya. Penduduk harus mencari makan dari alam sekitar dan berpindah tempat kalau lingkungan tidak bisa lagi memberi makanan.

Kisah-kisah menarik mengenai perjuangan hidup penduduk Palestina dan suku Damal di Papua--baik di medan laga maupun diplomasi--mengetuk nurani kemanusiaan yang membuat kita mempertanyakan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dalam menjalankan peradaban. Haruskah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya akan kita pertahankan seperti yang ada sekarang?

Setelah Trikora

Pengalaman hidup rakyat Palestina tak pelak mengingatkan kita pada nasib penduduk Provinsi Papua yang sampai sekarang tidak henti dirundung kericuhan. Mungkin dunia luar pun mengamati bagaimana rakyat Indonesia memperlakukan sesama warganya di Papua selama ini. Bukan perkembangan yang membanggakan, sebab sikap kita terhadap Papua belum sesuai dengan norma-norma yang kita idamkan sebagai bangsa berfalsafah Pancasila.

Operasi Trikora, atau Pembebasan Papua, ialah konfl ik dua tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua ke wilayah Indonesia. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora dan pembentukan Komando Mandala di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima.

Kisah-kisah menarik di medan perang dan diplomasi cukup menggugah peminat sejarah mengenai kejayaan Indonesia sekitar masa itu, antara lain tentang bagaimana tentara kita mendaratkan pasukan di Papua dan bagaimana Amerika Serikat akhirnya mendesak Belanda untuk keluar dari wilayah tersebut--sikap yang didesak kecenderungan Indonesia untuk bertumpu harapan pada Soviet saat itu.

Namun, seperempat abad kemudian, ketika diadakan seminar memperingati Trikora, para peserta dari Papua, yang jumlahnya sekitar sepertiga yang hadir, secara beruntun mempertanyakan apa arti semua kejayaan itu dan berapa besar efeknya bagi penduduk Papua? Padahal, mereka pun punya andil dalam membebaskan Papua dari Belanda. Tentu mereka kecewa. Maka, wajar bila ada unsur-unsur yang goyah dalam rasa kebangsaan mereka.

Terbukti, setengah abad kemudian, nadanya masih serupa. Papua memang seharusnya menjadi pekerjaan rumah yang menantang untuk segera kita selesaikan. Dunia menyaksikan Palestina berhasil menghapus pengalaman pahit mereka. Papua pun tentunya bisa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar