Masyarakat
yang Diabaikan Waktu
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Desember 2012
MENGAPA masih ada yang menolak keputusan Majelis Umum PBB memberikan
status negara nonanggota kepada Palestina? Jumlah itu kecil, hanya sembilan
negara, bila dibandingkan dengan yang setuju (138) dan abstain (41). Itu
tentu atas dasar pertimbangan politik. Namun, hal itu tetap saja mengganggu
karena ada kemunafikan dalam wacana kita tentang hak asasi manusia (HAM).
Bagaimana menjelaskannya?
Kebebasan individu asal mulanya diproklamasikan dalam
Magna Carta (1215): ‘Piagam Besar’ yang ditandatangani raja Inggris dalam
kaitan hakhak raja dan perlindungan terhadap hak-hak gereja. Konsep itu masuk
ke Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776), lalu Konstitusi Amerika (1789), dan
amendemen-amendemen pertama Hak-Hak Asasi (1791); sampai akhirnya berkembang
ke pengertian tentang tanggung jawab masyarakat internasional terhadap perlindungan
Hak-Hak Asasi (1945) dan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Universal (1948).
Voting positif untuk Palestina, Kamis (29/11), tentu
sejalan dengan konsep tersebut sekalipun diperlukan waktu lama untuk
mendapatkannya-65 tahun setelah resolusi PBB membagi wilayah Palestina pada
1947. Negara Republik Palestina, dengan penduduk 3,7 juta jiwa, mulai
memasuki babak baru dalam sejarah mereka.
Selanjutnya, mereka pastinya akan
memperjuangkan kemerdekaan penuh dan membangun rekonsiliasi penduduk. Swiss
yang juga pernah menjadi negara nonanggota selama setengah abad akhirnya
menjadi negara anggota tetap PBB 2002. Bergulirnya peradaban ada kalanya
memang mengabaikan perkembangan sosial-politik sebagian masyarakat dunia.
Tertinggal dari Laju Peradaban
Ada buku menarik The
People Time Forgot (1981), memoar Alice Gibbons, istri misionaris yang
pernah tinggal beberapa tahun dengan keluarganya di Papua. Buku itu
menggambarkan kehidupan suku Damal di Papua yang terabaikan oleh waktu.
Memoar itu membuat pembaca sadar, banyak kantong penduduk dunia yang kita
abaikan sekalipun kita ramai berwacana tentang demokrasi dan hak asasi. Nasib
suku Damal di Papua itu jauh lebih sengsara daripada penduduk Palestina.
Setelah ratusan tahun menjalani rutinitas kehidupan berupa kelahiran dan
kematian, perang dan pemujaan pada roh, dengan menjaga kelangsungan hidup apa
adanya sesuai dengan budaya zaman batu, baru sekitar setengah abad yang lalu
suku Damal mulai mengenal peradaban modern.
Bentuk kehidupan suatu masyarakat merupakan paduan
lingkungan teritorialnya dan bagaimana masyarakat itu mengorganisasi diri.
Ekologi sosial menjelaskan, sekalipun lingkungan memang penting untuk
mengubah perilaku manusia, pada akhirnya perilaku manusia sendirilah yang
menentukan perubahan.
Dalam masyarakat maju, berbagai lembaga dibentuk sebagai
sarana memajukan diri agar sesuai dengan perkembangan peradaban modern. Namun
bagi masyarakat terbelakang, kesederhanaan lembaga-lembaga hanya memungkinkan
mereka beradaptasi dengan lingkungan. Kriteria untuk mengidentifikasi
kebudayaan primitif ialah bila budaya itu tidak mampu mengadakan perubahan
berarti terhadap lingkungan biologis dan geofisikanya. Penduduk harus mencari
makan dari alam sekitar dan berpindah tempat kalau lingkungan tidak bisa lagi
memberi makanan.
Kisah-kisah menarik mengenai perjuangan hidup penduduk
Palestina dan suku Damal di Papua--baik di medan laga maupun
diplomasi--mengetuk nurani kemanusiaan yang membuat kita mempertanyakan
bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dalam menjalankan peradaban. Haruskah
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya akan kita pertahankan seperti
yang ada sekarang?
Setelah Trikora
Pengalaman hidup rakyat Palestina tak pelak mengingatkan
kita pada nasib penduduk Provinsi Papua yang sampai sekarang tidak henti
dirundung kericuhan. Mungkin dunia luar pun mengamati bagaimana rakyat
Indonesia memperlakukan sesama warganya di Papua selama ini. Bukan
perkembangan yang membanggakan, sebab sikap kita terhadap Papua belum sesuai
dengan norma-norma yang kita idamkan sebagai bangsa berfalsafah Pancasila.
Operasi Trikora, atau Pembebasan Papua, ialah konfl ik dua
tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua ke wilayah
Indonesia. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan
Trikora dan pembentukan Komando Mandala di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal
Soeharto sebagai panglima.
Kisah-kisah menarik di medan perang dan diplomasi cukup
menggugah peminat sejarah mengenai kejayaan Indonesia sekitar masa itu,
antara lain tentang bagaimana tentara kita mendaratkan pasukan di Papua dan
bagaimana Amerika Serikat akhirnya mendesak Belanda untuk keluar dari wilayah
tersebut--sikap yang didesak kecenderungan Indonesia untuk bertumpu harapan
pada Soviet saat itu.
Namun, seperempat abad kemudian, ketika diadakan seminar
memperingati Trikora, para peserta dari Papua, yang jumlahnya sekitar
sepertiga yang hadir, secara beruntun mempertanyakan apa arti semua kejayaan
itu dan berapa besar efeknya bagi penduduk Papua? Padahal, mereka pun punya
andil dalam membebaskan Papua dari Belanda. Tentu mereka kecewa. Maka, wajar
bila ada unsur-unsur yang goyah dalam rasa kebangsaan mereka.
Terbukti, setengah abad kemudian, nadanya masih serupa.
Papua memang seharusnya menjadi pekerjaan rumah yang menantang untuk segera
kita selesaikan. Dunia menyaksikan Palestina berhasil menghapus pengalaman
pahit mereka. Papua pun tentunya bisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar