Narsisme
Politik dan Candu Kekuasaan
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 05 Desember 2012
Ada suatu penyakit yang secara sadar atau tidak telah
menjangkiti publik dewasa ini, yakni apa yang disebut sebagai narsisme
publik. Jean M Twenge dan W Keith Campbel dalam buku The Narcism Epidemic: Living in the Age of Enlitlement, menulis
bahwa narsisme telah menjadi sebuah penyakit yang menjangkiti sejumlah besar
individu di dunia.
Itu terlihat dari begitu banyaknya orang yang semakin tergoda
untuk menonjolkan kekayaan mereka, penampilan fisik mereka, pengidolaan
terhadap para selebritas, dan aneka kegiatan yang condong hanya untuk mencari
perhatian.
Acara-acara televisi seperti reality
show adalah salah satu bagian dari proses bagaimana banyak orang di
belahan dunia terjangkiti epidemi narsisme.
Untuk konteks Amerika Serikat (AS), di mana kedua psikolog itu
berasal, narsisme adalah penyakit yang sama seriusnya dengan penyakit
obesitas (kegemukan).
Bahkan, untuk narsisme ini pun ada pengukuran scientific, yang
disebut Narcisistik Personality
Disorder (NPD) di mana satu dari empat mahasiswa memenuhi symptom NPD
itu. Di AS, misalnya, lewat sebuah penelitian, satu dari 10 orang AS yang
berusia 20-an tahun mengalami gejala itu, atau satu dari 16 orang AS dari
segala usia juga mengalami gejala yang sama.
Narsisme adalah perilaku yang memuja atau memuji diri sendiri.
Watak dan kepribadian orang-orang narsistik itu selalu berilusi dan memandang
ke dalam dirinya sebagai orang-orang terhebat.
Mereka selalu berusaha untuk tampil berwibawa, trendi, dan
elegan demi kemegahan atau keterhormatan diri agar terus menjadi pusat
perhatian. Orang-orang narsis ingin selalu dipuji, karena dengan itu dirinya
merasa senang dan terhormat, dan seorang yang narsis sangat percaya diri.
Narcis dan Kekuasaan
Jika merujuk pada asal kata narsis, kita bertemu dengan sosok
Narcis, seorang pemuda tampan dari khazanah legenda Yunani kuno, dari prolog
Paolo Coelho, The Alchemist. Di dalamnya dikisahkan seseorang bernama Narcis
yang selalu menolak wanita-wanita cantik yang mendekatinya dan gemar
mengagumi dirinya sendiri pada permukaan air danau yang tenang dan jernih.
Setiap hari ia pergi ke tepi danau dan mematut-matut bayangan
wajahnya di sana. Berjam-jam ia berdiri di tepi danau itu. Ia menemukan wajah
pemuda tampan dan memuja-muja wajah pemuda itu.
Narcis tidak sadar bahwa bayangan itu adalah dirinya sendiri,
dan ia terus hidup dengan ketampanan atas bayangannya pada air danau itu,
karena merasa dirinya lebih tampan dari orang-orang di sekelilingnya.
Alhasil, pada suatu hari Narcis meninggal maka danau itu
kehilangan pengunjung tetapnya. Danau pun bersedih dan menangis. Seekor ikan
yang hidup di danau itu kerap melihat danau itu sedih dan menangis lalu
bertanya apakah dia menangisi kepergian Narcis. Sang danau menjawab, “Aku
sama sekali tidak menangisi kepergiannya. Aku merasa sangat kehilangan,
karena setiap kali ia datang memandangi wajahnya pada diriku, aku menyaksikan
keindahanku pada bola matanya.”
Twenger dan Campbel menyebut ada empat fenomena sebagai akar
yang menghasilkan epidemik narsisme; perilaku orang tua yang berlebihan pada
anak, fenomena para selebritas, merebaknya dunia cyber, serta media-media
yang mentransmisikan narsismenya dan kompetisi untuk mendapatkan perhatian
publik dan memamerkan kekayaan.
Yang paling jelas terlihat betapa tampilan narsis dari berbagai
pejabat yang memasang papan iklan besar-besar di pinggir jalan dengan
wajahnya, serta aneka pesan “pembangunan”, terutama pada saat kampanye
politik.
Seperti ditulis Achmad Tedyani Saifuddin, (2010) Guru Besar
Antropologi FISIP UI, kisah Narcis adalah tragedi yang mencerminkan tentang
bagaimana memandang dan menyikapi diri kita sendiri dan orang lain dalam
kebudayaan kita, yang masih terkotak-kotak, saling curiga, dengki, dan
menganggap diri dan kelompok sendiri lebih baik dan lebih hebat.
Artinya, kisah Narcis memang memiliki metafora tentang
masyarakat dan kebudayaan kita dalam memandang kehidupan dan orang lain dus
termasuk watak politik dan kekuasaan kita.
Kekuasaan dalam ranah narsis selalu ditempatkan di atas
segala-galanya. Dengan demikian, segala macam cara dilakukan ala Machiaveli
untuk meraih ilusi kekuasaan dan menyingkirkan setiap pesaingnya.
Penguasa yang terasuki gejala narsis, ia kerap merasakan
kekuasaan sebagai candu. Seorang diktator yang ingin terus berkuasa,
misalnya, akan terus-menerus memoles citra dirinya, sehingga menjadi candu
kekuasaan.
Betapa mengerikan jika para penguasa kita dalam berbagai ranah
sosial dan politik telah dirasuki penyakit narsisme dan kecanduan kekuasaan.
Seorang penguasa yang narsistik dan kecanduan kekuasaan akan melahirkan kebijakan
yang hanya menguntungkan diri sendiri dan gemar berperilaku korup demi
kenikmatan diri.
Persoalannya, seperti dikatakan seorang profesor dalam bidang
psikologi di Makata Medical Center di Filipina, semua pemimpin (dan calon
pemimpin) itu berkepribadian narsistik, meski tidak semua narsis itu menjadi
pemimpin. Watak dan kepribadian orang-orang narsistik itu selalu berilusi dan
memandang ke dalam dirinya sebagai orang-orang terhebat.
Kembali ke Jalur Moral
Karena itu, sangat dianjurkan, jika tidak ingin terperangkap ke
dalam penyakit dan endemis narsisme, harus segera kembali ke jalur moral
dalam menjalankan hidup. Perilaku narsis yang hanya menyenangkan diri sendiri
harus dijauhkan.
Bagi penguasa atau pemimpin, segala praksis kekuasaan yang
selama ini dilakukan dengan upaya menyingkirkan orang lain harus dihentikan,
dan dimulai dengan membangun kemurnian dan keteguhan hati untuk mengabdi
kepada kepentingan rakyat dan/atau orang lain dengan lebih mengorbankan
kepentingan diri.
Artinya, seorang pemimpin harus merasa terhormat dengan
menjadikan kekuasaan sebagai areal pelayanan bagi rakyat, bukan sebagai areal
untuk mempertontonkan kehebatan diri. Kekuasaan harus dipahami ulang sebagai
katalis untuk memberi ruang aktualisasi diri sebagai pelayanan dan pengabdian
terhadap kepentingan rakyat.
Praksis kekuasaan yang selama ini dilakukan dengan upaya
menyingkirkan orang lain demi pemenuhan selera kepentingan diri yang
narsistik harus dihentikan, dan harus dimulai dengan membangun keutuhan hati
untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat.
Di situlah terpatri kemuliaan diri yang sesungguhnya menjadi
keutamaan (virtue) dalam kehidupan
politik, terutama dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Semoga
kita belum terjangkiti epidemis narsisme yang menjauhkan kita dari keutamaan
dan keagungan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar