Jumat, 07 Desember 2012

Narsisme Politik dan Candu Kekuasaan


Narsisme Politik dan Candu Kekuasaan
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 05 Desember 2012


Ada suatu penyakit yang secara sadar atau tidak telah menjangkiti publik dewasa ini, yakni apa yang disebut sebagai narsisme publik. Jean M Twenge dan W Keith Campbel dalam buku The Narcism Epidemic: Living in the Age of Enlitlement, menulis bahwa narsisme telah menjadi sebuah penyakit yang menjangkiti sejumlah besar individu di dunia.

Itu terlihat dari begitu banyaknya orang yang semakin tergoda untuk menonjolkan kekayaan mereka, penampilan fisik mereka, pengidolaan terhadap para selebritas, dan aneka kegiatan yang condong hanya untuk mencari perhatian.

Acara-acara televisi seperti reality show adalah salah satu bagian dari proses bagaimana banyak orang di belahan dunia terjangkiti epidemi narsisme.
Untuk konteks Amerika Serikat (AS), di mana kedua psikolog itu berasal, narsisme adalah penyakit yang sama seriusnya dengan penyakit obesitas (kegemukan).

Bahkan, untuk narsisme ini pun ada pengukuran scientific, yang disebut Narcisistik Personality Disorder (NPD) di mana satu dari empat mahasiswa memenuhi symptom NPD itu. Di AS, misalnya, lewat sebuah penelitian, satu dari 10 orang AS yang berusia 20-an tahun mengalami gejala itu, atau satu dari 16 orang AS dari segala usia juga mengalami gejala yang sama.

Narsisme adalah perilaku yang memuja atau memuji diri sendiri. Watak dan kepribadian orang-orang narsistik itu selalu berilusi dan memandang ke dalam dirinya sebagai orang-orang terhebat.

Mereka selalu berusaha untuk tampil berwibawa, trendi, dan elegan demi kemegahan atau keterhormatan diri agar terus menjadi pusat perhatian. Orang-orang narsis ingin selalu dipuji, karena dengan itu dirinya merasa senang dan terhormat, dan seorang yang narsis sangat percaya diri.

Narcis dan Kekuasaan

Jika merujuk pada asal kata narsis, kita bertemu dengan sosok Narcis, seorang pemuda tampan dari khazanah legenda Yunani kuno, dari prolog Paolo Coelho, The Alchemist. Di dalamnya dikisahkan seseorang bernama Narcis yang selalu menolak wanita-wanita cantik yang mendekatinya dan gemar mengagumi dirinya sendiri pada permukaan air danau yang tenang dan jernih.

Setiap hari ia pergi ke tepi danau dan mematut-matut bayangan wajahnya di sana. Berjam-jam ia berdiri di tepi danau itu. Ia menemukan wajah pemuda tampan dan memuja-muja wajah pemuda itu.

Narcis tidak sadar bahwa bayangan itu adalah dirinya sendiri, dan ia terus hidup dengan ketampanan atas bayangannya pada air danau itu, karena merasa dirinya lebih tampan dari orang-orang di sekelilingnya.

Alhasil, pada suatu hari Narcis meninggal maka danau itu kehilangan pengunjung tetapnya. Danau pun bersedih dan menangis. Seekor ikan yang hidup di danau itu kerap melihat danau itu sedih dan menangis lalu bertanya apakah dia menangisi kepergian Narcis. Sang danau menjawab, “Aku sama sekali tidak menangisi kepergiannya. Aku merasa sangat kehilangan, karena setiap kali ia datang memandangi wajahnya pada diriku, aku menyaksikan keindahanku pada bola matanya.”

Twenger dan Campbel menyebut ada empat fenomena sebagai akar yang menghasilkan epidemik narsisme; perilaku orang tua yang berlebihan pada anak, fenomena para selebritas, merebaknya dunia cyber, serta media-media yang mentransmisikan narsismenya dan kompetisi untuk mendapatkan perhatian publik dan memamerkan kekayaan.

Yang paling jelas terlihat betapa tampilan narsis dari berbagai pejabat yang memasang papan iklan besar-besar di pinggir jalan dengan wajahnya, serta aneka pesan “pembangunan”, terutama pada saat kampanye politik.

Seperti ditulis Achmad Tedyani Saifuddin, (2010) Guru Besar Antropologi FISIP UI, kisah Narcis adalah tragedi yang mencerminkan tentang bagaimana memandang dan menyikapi diri kita sendiri dan orang lain dalam kebudayaan kita, yang masih terkotak-kotak, saling curiga, dengki, dan menganggap diri dan kelompok sendiri lebih baik dan lebih hebat.

Artinya, kisah Narcis memang memiliki metafora tentang masyarakat dan kebudayaan kita dalam memandang kehidupan dan orang lain dus termasuk watak politik dan kekuasaan kita.

Kekuasaan dalam ranah narsis selalu ditempatkan di atas segala-galanya. Dengan demikian, segala macam cara dilakukan ala Machiaveli untuk meraih ilusi kekuasaan dan menyingkirkan setiap pesaingnya.

Penguasa yang terasuki gejala narsis, ia kerap merasakan kekuasaan sebagai candu. Seorang diktator yang ingin terus berkuasa, misalnya, akan terus-menerus memoles citra dirinya, sehingga menjadi candu kekuasaan.

Betapa mengerikan jika para penguasa kita dalam berbagai ranah sosial dan politik telah dirasuki penyakit narsisme dan kecanduan kekuasaan. Seorang penguasa yang narsistik dan kecanduan kekuasaan akan melahirkan kebijakan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan gemar berperilaku korup demi kenikmatan diri.

Persoalannya, seperti dikatakan seorang profesor dalam bidang psikologi di Makata Medical Center di Filipina, semua pemimpin (dan calon pemimpin) itu berkepribadian narsistik, meski tidak semua narsis itu menjadi pemimpin. Watak dan kepribadian orang-orang narsistik itu selalu berilusi dan memandang ke dalam dirinya sebagai orang-orang terhebat.

Kembali ke Jalur Moral

Karena itu, sangat dianjurkan, jika tidak ingin terperangkap ke dalam penyakit dan endemis narsisme, harus segera kembali ke jalur moral dalam menjalankan hidup. Perilaku narsis yang hanya menyenangkan diri sendiri harus dijauhkan.

Bagi penguasa atau pemimpin, segala praksis kekuasaan yang selama ini dilakukan dengan upaya menyingkirkan orang lain harus dihentikan, dan dimulai dengan membangun kemurnian dan keteguhan hati untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan/atau orang lain dengan lebih mengorbankan kepentingan diri.

Artinya, seorang pemimpin harus merasa terhormat dengan menjadikan kekuasaan sebagai areal pelayanan bagi rakyat, bukan sebagai areal untuk mempertontonkan kehebatan diri. Kekuasaan harus dipahami ulang sebagai katalis untuk memberi ruang aktualisasi diri sebagai pelayanan dan pengabdian terhadap kepentingan rakyat.

Praksis kekuasaan yang selama ini dilakukan dengan upaya menyingkirkan orang lain demi pemenuhan selera kepentingan diri yang narsistik harus dihentikan, dan harus dimulai dengan membangun keutuhan hati untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat.

Di situlah terpatri kemuliaan diri yang sesungguhnya menjadi keutamaan (virtue) dalam kehidupan politik, terutama dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Semoga kita belum terjangkiti epidemis narsisme yang menjauhkan kita dari keutamaan dan keagungan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar