Selasa, 18 Desember 2012

Presiden Pilihan Rakyat


Presiden Pilihan Rakyat
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 18 Desember 2012


Majalah bulanan terbaru, Indonesia 2014, merilis 36 nama calon presiden (capres) yang bermunculan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Dari sekian banyak nama tersebut, tentu tidak akan semuanya menjadi calon peserta Pilpres 2014. 

Saya menduga, dengan syarat ambang batas menjadi capres yang tidak akan berubah, peserta pilpres tidak akan lebih dari empat calon. UUD 1945 dengan jelas mensyaratkan capres harus dicalonkan oleh partai politik (parpol) atau koalisi parpol. Perihal konstitusionalitas capres independen, di luar calon partai politik, pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, MK memutuskan, berdasarkan UUD 1945, capres independen belum dimungkinkan. 

Dengan rentang waktu kurang dari dua tahun, tanpa adanya kejutan yang luar biasa, kemungkinan untuk mengubah syarat pencapresan oleh parpol berdasarkan UUD 1945 saya duga tidak akan terjadi. Partai-partai besar di DPR dan MPR, yang akan menjadi penentu utama perubahan UUD 1945, saya yakini sudah nyaman dengan syarat pencapresan minus calon independen demikian. 

Dengan demikian, problem utama Pilpres 2014 adalah bagaimana agar capres pilihan parpol sejalan dengan capres pilihan rakyat. Kita semua memahami, saat ini kepercayaan publik kepada parpol bukan pada taraf yang menggembirakan. Sejauh ini ada jarak antara capres yang digadang-gadang parpol dengan tingkat popularitas capres serta pandangan kelas menengah tentang siapa yang layak menjadi presiden 2014. 

Dari sisi parpol, sebutlah lima partai besar, Partai Golkar sudah mencalonkan Aburizal Bakrie, PDI Perjuangan masih menonjolkan figur Megawati Soekarnoputri, Gerindra memunculkan nama Prabowo Subianto, PAN mengusung Hatta Rajasa, sedangkan Partai Demokrat sejauh ini belum memunculkan kandidat capres yang akan diusungnya. 

Dalam Silatnas Partai Demokrat yang baru saja berlangsung, Presiden SBY hanya menyebutkan tiga kriteria capres Demokrat, yaitu integritas, kapasitas, dan elektabilitas (pilihan rakyat). Terlihat jelas, Presiden SBY masih menyimpan siapa kandidat presiden yang akan diusung partainya. Selasa hingga Kamis minggu lalu saya berkesempatan mendampingi Presiden SBY dalam kunjungan kerja di Jawa Timur dan Bali. Salah satu yang menjadi diskusi hangat tentunya adalah Pilpres 2014. 

Dalam kesempatan makan siang bersama di Denpasar, seorang menteri mengatakan, “Bapak Presiden, saat ini banyak yang menunggu capres Partai Demokrat.” Presiden tersenyum, lalu berbagi pandangannya tentang Pilpres 2014. Sayangnya, saya tidak bisa menulis diskusi yang berjalan hangat itu secara utuh. Yang pasti, masih ada jarak antara calon yang dimunculkan parpol dengan calon yang menjadi harapan publik.

Survei Lembaga Survei Indonesia terakhir, misalnya, menyatakan lima tokoh yang paling dikenal masyarakat sebagai capres adalah Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo, Wiranto dan Aburizal Bakrie. Tapi, jika ditanyakan kepada opinion leaders, lima nama yang paling diunggulkan adalah Moh Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Hidayat Nur Wahid. 

Tergambar jelas, tidak ada satu pun dari lima nama yang diunggulkan opinion leaders yang menjadi capres unggulan parpol. Hanya nama Jusuf Kalla yang menjadi capres unggulan kedua opinion leaders dan menjadi tokoh kedua yang paling dikenal luas oleh pemilih. Namun, jejak langkah Jusuf Kalla masih terkendala dengan belum adanya partai kuat yang mengusung namanya. 

Yang kelihatan berminat adalah Partai NasDem, salah satu parpol calon peserta Pemilu 2014. Dengan jaringan Grup Metro dan MNC, Partai NasDem bisa menjadi kuda hitam, tentu dengan syarat dapat membangun koalisi yang cukup untuk memenuhi syarat presidential threshold. Terlepas dari calon parpol, salah satu yang paling banyak dinantikan banyak kalangan adalah kepada siapa Presiden SBY akan memberikan dukungannya. 

Bagaimanapun, Presiden SBY adalah tokoh nasional yang masih sangat berpengaruh. Di tengah kritikan tajam yang tidak ada hentinya, elektabilitas dan dukungan kepada Presiden SBY masih berkisar di antara 50–60%. Maka, dukungan tokoh sekaliber Presiden SBY masih sangat dinantikan banyak capres yang akan bertarung di Pilpres 2014. Saya berpendapat, yang perlu kita dorong adalah bagaimana Pilpres 2014 mendekati Pilgub DKI Jakarta 2012, bukan Pilgub DKI Jakarta 2007. 

Pada Pilgub yang lebih awal, pemilih di Jakarta mempunyai pilihan yang sangat terbatas. Parpol dan koalisi parpol hanya mengusulkan dua calon gubernur DKI. Pemilih terpasung dan tidak punya alternatif yang memadai. Di Pilgub DKI, parpol lebih bijak dan menghadirkan tiga pasangan calon gubernur yang berkualitas lebih baik, ditambah dua pasangan calon gubernur independen. 

Akhirnya, pemilih DKI mempunyai keleluasaan lebih dalam menentukan pilihannya. Pilgub DKI Jakarta pun berujung dengan manis. Pada putaran kedua, pasangan cagub Fauzi Bowo (Foke) menerima dengan lapang dada kekalahannya atas pasangan cagub Joko Widodo. Foke tidak mengajukan sengketa hasil pilkada kepada MK. Akhir yang manis itu merupakan lompatan pendidikan politik yang patut kita syukuri. Saya berdoa, agar di tahun 2014 kualitas pilpres kita juga dapat lebih baik.

Untuk itu, parpol dan koalisi parpol sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mencalonkan presiden, harus didorong agar mendukung capres yang berkualitas, yaitu perpaduan antara kapasitas, integritas, serta elektabilitas, yaitu dukungan parpol dan rakyat. Alangkah manisnya jika capres yang diusung parpol adalah juga capres yang diharapkan masyarakat pemilih. 

Masih ada waktu kurang dari dua tahun sebelum kita memiliki presiden baru yang akan diambil sumpahnya pada 20 Oktober 2014. Tidak ada jalan lain, demi Indonesia, demi Presiden yang akan menjadi pemimpin kita bersama, parpol perlu kita dorong agar mengusung calon yang tepat. Sebaiknya, ukuran yang dikedepankan berdasarkan rekam jejak yang tak akan bisa direkayasa. 

Untuk menjadi pemimpin yang baik di masa depan seseorang harus mempunyai masa lalu yang juga dapat dipertanggungjawabkan. Rekam jejak itulah sebaiknya yang menjadi ukuran parpol dan koalisi parpol sebelum menjatuhkan pilihan capresnya. Sang kandidat harus mempunyai rekam jejak antikorupsi, rekam jejak antipelanggaran HAM, rekam jejak antipelanggaran lingkungan, rekam jejak taat pembayaran pajak, rekam jejak antikekerasan rumah tangga, dan rekam jejak penting lainnya. 

Yang pasti, memimpin Indonesia yang demokratis tantangannya tidaklah mudah. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dengan pengaruh ekonomi nomor 15 di dunia, Indonesia adalah negara dengan potensi dan tantangan yang juga besar. Maka kita membutuhkan pemimpin yang juga besar jiwanya, besar visinya, besar keindonesiaannya. 

Presiden SBY telah merasakan betul bagaimana tidak mudahnya memimpin negara besar di era yang demokratis. Beliau tidak jarang menahan perasaan dan ego pribadinya demi menjaga keindonesiaan. Bagi kelompok kritis hal itu mungkin pernyataan yang berlebihan. Saya pasti dianggap subjektif. Tapi itulah ungkapan jujur yang ingin saya paparkan, apa pun risikonya, apalagi hanya dituduh ABS, bagi saya tidak mengapa. 

Saya menduga, setelah masa kepemimpinannya, Presiden SBY baru akan dirindukan dan dihargai kepemimpinannya. Demi Indonesia yang lebih baik, mari kita pastikan pilihan presiden 2014 bukan hanya pilihan parpol, tetapi juga pilihan rakyat Indonesia. Keep onfighting for the better Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar