Minggu, 09 Desember 2012

“Presiden KPK”


“Presiden KPK”
Budiarto Shambazy ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 08 Desember 2012


Telah terbukti perhatian kalangan elite terhadap proses menuju Pilpres 2014—bukan Pemilu 2014—makin intensif. Kalangan elite pemutar roda politik dan ekonomi sibuk dengan presidential politics dan pasti kurang peduli dengan denyut nadi kehidupan riil kita sehari-hari.

Kerja birokrasi agak terhenti—setidaknya melamban—karena pertarungan di antara pusat-pusat kekuasaan memperebutkan akses dan aset makin sengit. Beruntung kita biasa hidup tanpa pemerintah dan pertumbuhan masih di atas 6 persen.
Jangan salah paham, tidaklah keliru jika belakangan ini banyak tokoh yang nyapres secara terbuka atau diam-diam. Akan tetapi, mesti diakui, ada kekeliruan dari perspektif sejarah ataupun dari perspektif realitas politik mutakhir.

Dalam perumusan konstitusi menjelang kemerdekaan, bapak bangsa terpaku pada sistem presidensial kuat ala Amerika Serikat (AS). Pemahaman executive heavy ini wajar karena kemiripan filosofis dan aspirasi kedua negara.

Begitu pun, mereka tidak 100 persen menjiplak AS. Bung Karno tegas mengatakan demokrasi AS bergaya Barat dan kita punya demokrasi khas yang mengutamakan musyawarah dan mufakat.

Oleh sebab itu, kita menganggap penting eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memberikan mandat kepada presiden. Kita juga kenal utusan golongan dan utusan daerah sebagai wujud representasi kelompok minoritas.

Jika diperhatikan, lembaga kepresidenan tidak kuat sepanjang era sistem parlementer. Lembaga kepresidenan kuat setelah Bung Karno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 meski presiden tetap mandataris MPR.

Sebelum itu Bung Karno dipandang sebagai tokoh pemersatu yang sibuk ke daerah menggalang keindonesiaan. Waktu ditunjuk jadi presiden, ia makan sate di kaki lima Jalan Proklamasi—pertanda ia tak ”sok genting” dengan jabatan itu.

Sosok Bung Karno yang ”larger than life” makin memperkuat peranan lembaga kepresidenan. Ia punya gagasan-gagasan besar, jadi penaung yang berdiri di atas semua golongan, dan terperangkap dalam persaingan segitiga dengan TNI dan PKI.
Bung Karno terjebak dalam ”berhala politik” yang diciptakan kalangan tertentu yang menobatkannya sebagai ”presiden seumur hidup”. Ini awal dari kekeliruan yang menempatkan presiden ”manusia setengah dewa”.

Pak Harto lebih kurang melanjutkan kekeliruan ini, antara lain memosisikan dirinya sebagai Pancasila sebagai ideologi negara. Akibatnya, ia kebal hukum dan tidak pernah tersentuh dari pelanggaran-pelanggaran konstitusi.

Bung Karno disingkirkan lewat Sidang Istimewa MPR, Pak Harto dan Gus Dur lengser ing keprabon melalui krisis pelik. Ternyata, ”manusia setengah dewa” bisa juga dihina-hina.

Kita tentu bersyukur, pemilihan presiden langsung berhasil melakukan demistifikasi lembaga kepresidenan dengan pembatasan masa jabatan 2 x 5 tahun saja. Reformasi secara perlahan membuang mitos presiden pekerjaan one man show.

Apalagi realitas politik dewasa ini secara relatif memudahkan siapa saja nyapres tanpa memandang elektabilitas ataupun popularitas. Metodologi nyapres beraneka ragam, menghebohkan, dan gratis.

Ia aneka ragam karena siapa saja bisa menyiapkan karpet merah, promosi lewat surrogates (pengganti) sampai ke seluruh pelosok Nusantara, atau mengandalkan jajak pendapat. Media menyiapkan karpet merah untuk Rhoma Irama, yang disokong para habib sebagai surrogates.

Fenomena Rhoma menghebohkan, sampai-sampai PKB pun mencalonkan dia.
Selain PKB mencalonkan Rhoma, ada PAN yang mencalonkan Hatta Rajasa dan Golkar dengan Aburizal Bakrie.

Pekan lalu Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla makan semeja di acara pernikahan anak Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo. Acara yang diliput luas media massa ini melahirkan spekulasi mengenai kemungkinan pencapresan ”Mega-Kalla”.
Kita juga tahu Mahfud MD jadi juara capres terbaik pilihan elite. Meski terkesan cherry picking, LSI setidaknya mencoba metode baru yang lengkap dengan sistem skor seperti rapor yang menguantifikasikan kualitas 24 capres.

Prabowo Subianto salah satu capres yang menduduki peringkat atas sejumlah jajak pendapat. Ada pula nama-nama lain yang merebut perhatian melalui pencitraan di media, seperti Dahlan Iskan.

Apakah cara-cara ini bagus, terpulang kepada kita masing-masing untuk menilainya. Sebuah hal yang pasti, kita sekarang jadi ganjen berteori mengenai siapa saja yang layak nyapres.

Mungkin karena Bung Karno dan Pak Harto jadi presiden terlalu lama? Namun, kita tahu, mereka butuh puluhan tahun untuk bekerja demi membangun dan menyejahterakan bangsa.

Oleh sebab itu, buat kita sebagian, pencapresan Rhoma mengundang tanda tanya. Buat sebagian kalangan, ia alternatif yang layak dicoba.

Oleh sebagian kalangan, Mega-Kalla dianggap tua. Sebagian lagi menilai, usia pengalaman lebih penting dibandingkan usia lahiriah.

Ada yang berharap kemunculan tokoh-tokoh muda usia. Apa lacur, sebagian dari mereka terlibat korupsi dan keburu masuk penjara.

Sebuah hal yang pasti, zaman pencitraan sudah dianggap selesai. Pemilih menuntut ”pencitraan + rekam jejak” ala Gubernur DKI Joko Widodo yang doyan blusukan ke mana-mana.

Saya iba presiden menyandang beban kerja terlalu berat karena ia semestinya dibantu wakil presiden dan menteri-menteri pilihannya. Bebannya akan makin ringan berkat pengawasan dan kerja sama anggota-anggota DPR kita.

Sebaliknya, yang tertarik jadi presiden juga mesti sadar, mereka toh manusia biasa. Kita yang nanti memilih jangan terlalu berharap dari mereka.

Hal terpenting, kita tunggu saja siapa lagi yang bakal jadi tersangka. Lupakanlah pencapresan, toh yang kini berkuasa adalah ”presiden KPK”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar