“Presiden KPK”
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
08 Desember 2012
Telah terbukti perhatian kalangan elite
terhadap proses menuju Pilpres 2014—bukan Pemilu 2014—makin intensif.
Kalangan elite pemutar roda politik dan ekonomi sibuk dengan presidential
Kerja birokrasi agak
terhenti—setidaknya melamban—karena pertarungan di antara pusat-pusat
kekuasaan memperebutkan akses dan aset makin sengit. Beruntung kita biasa
hidup tanpa pemerintah dan pertumbuhan masih di atas 6 persen.
Jangan salah paham,
tidaklah keliru jika belakangan ini banyak tokoh yang nyapres secara terbuka
atau diam-diam. Akan tetapi, mesti diakui, ada kekeliruan dari perspektif
sejarah ataupun dari perspektif realitas politik mutakhir.
Dalam perumusan konstitusi
menjelang kemerdekaan, bapak bangsa terpaku pada sistem presidensial kuat ala
Amerika Serikat (AS). Pemahaman executive heavy ini wajar karena kemiripan
filosofis dan aspirasi kedua negara.
Begitu pun, mereka tidak
100 persen menjiplak AS. Bung Karno tegas mengatakan demokrasi AS bergaya
Barat dan kita punya demokrasi khas yang mengutamakan musyawarah dan mufakat.
Oleh sebab itu, kita
menganggap penting eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
memberikan mandat kepada presiden. Kita juga kenal utusan golongan dan utusan
daerah sebagai wujud representasi kelompok minoritas.
Jika diperhatikan, lembaga
kepresidenan tidak kuat sepanjang era sistem parlementer. Lembaga
kepresidenan kuat setelah Bung Karno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 meski presiden tetap mandataris MPR.
Sebelum itu Bung Karno
dipandang sebagai tokoh pemersatu yang sibuk ke daerah menggalang
keindonesiaan. Waktu ditunjuk jadi presiden, ia makan sate di kaki lima Jalan
Proklamasi—pertanda ia tak ”sok genting” dengan jabatan itu.
Sosok Bung Karno yang ”larger than life” makin memperkuat
peranan lembaga kepresidenan. Ia punya gagasan-gagasan besar, jadi penaung
yang berdiri di atas semua golongan, dan terperangkap dalam persaingan
segitiga dengan TNI dan PKI.
Bung Karno terjebak dalam
”berhala politik” yang diciptakan kalangan tertentu yang menobatkannya
sebagai ”presiden seumur hidup”. Ini awal dari kekeliruan yang menempatkan
presiden ”manusia setengah dewa”.
Pak Harto lebih kurang
melanjutkan kekeliruan ini, antara lain memosisikan dirinya sebagai Pancasila
sebagai ideologi negara. Akibatnya, ia kebal hukum dan tidak pernah tersentuh
dari pelanggaran-pelanggaran konstitusi.
Bung Karno disingkirkan
lewat Sidang Istimewa MPR, Pak Harto dan Gus Dur lengser ing keprabon melalui krisis pelik. Ternyata, ”manusia
setengah dewa” bisa juga dihina-hina.
Kita tentu bersyukur,
pemilihan presiden langsung berhasil melakukan demistifikasi lembaga
kepresidenan dengan pembatasan masa jabatan 2 x 5 tahun saja. Reformasi
secara perlahan membuang mitos presiden pekerjaan one man show.
Apalagi realitas politik
dewasa ini secara relatif memudahkan siapa saja nyapres tanpa memandang
elektabilitas ataupun popularitas. Metodologi nyapres beraneka ragam,
menghebohkan, dan gratis.
Ia aneka ragam karena
siapa saja bisa menyiapkan karpet merah, promosi lewat surrogates (pengganti)
sampai ke seluruh pelosok Nusantara, atau mengandalkan jajak pendapat. Media
menyiapkan karpet merah untuk Rhoma Irama, yang disokong para habib sebagai
surrogates.
Fenomena Rhoma menghebohkan,
sampai-sampai PKB pun mencalonkan dia.
Selain PKB mencalonkan
Rhoma, ada PAN yang mencalonkan Hatta Rajasa dan Golkar dengan Aburizal
Bakrie.
Pekan lalu Megawati
Soekarnoputri dan Jusuf Kalla makan semeja di acara pernikahan anak Sekjen
PDI-P Tjahjo Kumolo. Acara yang diliput luas media massa ini melahirkan
spekulasi mengenai kemungkinan pencapresan ”Mega-Kalla”.
Kita juga tahu Mahfud MD
jadi juara capres terbaik pilihan elite. Meski terkesan cherry picking, LSI
setidaknya mencoba metode baru yang lengkap dengan sistem skor seperti rapor
yang menguantifikasikan kualitas 24 capres.
Prabowo Subianto salah
satu capres yang menduduki peringkat atas sejumlah jajak pendapat. Ada pula
nama-nama lain yang merebut perhatian melalui pencitraan di media, seperti
Dahlan Iskan.
Apakah cara-cara ini
bagus, terpulang kepada kita masing-masing untuk menilainya. Sebuah hal yang
pasti, kita sekarang jadi ganjen berteori mengenai siapa saja yang layak
nyapres.
Mungkin karena Bung Karno
dan Pak Harto jadi presiden terlalu lama? Namun, kita tahu, mereka butuh
puluhan tahun untuk bekerja demi membangun dan menyejahterakan bangsa.
Oleh sebab itu, buat kita
sebagian, pencapresan Rhoma mengundang tanda tanya. Buat sebagian kalangan,
ia alternatif yang layak dicoba.
Oleh sebagian kalangan,
Mega-Kalla dianggap tua. Sebagian lagi menilai, usia pengalaman lebih penting
dibandingkan usia lahiriah.
Ada yang berharap
kemunculan tokoh-tokoh muda usia. Apa lacur, sebagian dari mereka terlibat
korupsi dan keburu masuk penjara.
Sebuah hal yang pasti,
zaman pencitraan sudah dianggap selesai. Pemilih menuntut ”pencitraan + rekam
jejak” ala Gubernur DKI Joko Widodo yang doyan blusukan ke mana-mana.
Saya iba presiden
menyandang beban kerja terlalu berat karena ia semestinya dibantu wakil presiden
dan menteri-menteri pilihannya. Bebannya akan makin ringan berkat pengawasan
dan kerja sama anggota-anggota DPR kita.
Sebaliknya, yang tertarik
jadi presiden juga mesti sadar, mereka toh manusia biasa. Kita yang nanti
memilih jangan terlalu berharap dari mereka.
Hal terpenting, kita
tunggu saja siapa lagi yang bakal jadi tersangka. Lupakanlah pencapresan, toh
yang kini berkuasa adalah ”presiden
KPK”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar