Rabu, 05 Desember 2012

Potret Buram Kaum Difabel dalam Kebijakan Publik


Potret Buram Kaum Difabel dalam Kebijakan Publik
Saharuddin Daming ;  Mantan Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 04 Desember 2012


DALAM memaknai peringatan hari internasional penyandang disabilitas setiap 3 Desember, kita perlu menengok kebijakan dan pelayanan penyelenggaraan negara dan kemasyarakatan kepada warga negara dari kalangan difabel. Dengan sangat gamblang dan kasatmata, kita dapat menyaksikan bagaimana kebijakan dan pelayanan kepada kaum difabel sarat dengan perilaku yang kerap mereduksi, mengeliminasi, dan mendekonstruksi political space kaum difabel.
Kalangan otoritas seolaholah ingin memosisikan dunia formal dengan segala kehormatannya hanya milik orangorang yang `sehat jasmani dan/ atau rohani' sehingga kaum difabel hanya ditakdirkan menerima nasib sebagai kelompok yang tidak penting dan haram/tabu memasuki zona formal, terlebih untuk posisi terhormat di negeri ini.
Kebijakan yang cenderung bias disabilitas seperti itu jelas akan menimbulkan implikasi sosial-politik yang sangat buruk bagi kaum difabel. Publik, dalam level tertentu, akan cenderung mencemooh kaum difabel atau pihak lain yang memperjuangkannya terjun ke pentas formal sekalipun figur dimaksud eligible dari sudut kapasitas dan leadership. Akibatnya tingkat apresiasi publik terhadap disabilitas yang sudah mulai terbangun melalui perjuangan panjang yang sangat melelahkan selama ini akhirnya harus buyar dan terdistorsi oleh sikap stereotip dan prejudice yang kian melembaga. Itu kemudian berimbas kepada kaum difabel sendiri yang secara psikologis menimbulkan rasa frustrasi dan makin menjamurnya proses marginalisasi serta perasaan inferioritas kompleks (minder) di kalangan kaum difabel.
Pada bagian lain, kaum difabel kerap diberi apresiasi dan sanjungan yang kadangkadang berlebihan hanya pada saat mereka memiliki kemampuan eksklusif atau dalam suatu keadaan seremonial. Setiap tahun pemerintah, dan mungkin ada dari kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kepedulian sosial, bersedia menyuplai sejumlah fasilitas baik berupa dana maupun natura bagi upaya pembinaan mereka menuju taraf kehidupan yang lebih sejahtera dan mandiri. Sayang sekali, upaya seperti itu seluruhnya masih didominasi semangat charity based, padahal gerakan advokasi pemberdayaan kaum difabel kontemporer telah memasuki model rights based.
Berdasarkan hasil pengkajian yang mendalam baik dalam kerangka teoretis konseptual maupun fakta empiris tentang eksistensi kaum difabel di Indonesia, hingga kini sebagian besar mengalami marginalisasi karena beberapa hal, antara lain:
a. Masih suburnya sikap apriori dan sinisme di kalangan penyelenggara negara dan kemasyarakatan terhadap eksistensi kaum difabel. Hal tersebut selain disebabkan kurangnya informasi yang objektif, menyeluruh, dan transparan mengenai keberadaan penyandang disabilitas dengan segala masalahnya, juga disebabkan pembakuan berbagai terminologi yang berimplikasi pada terbentuknya opini dan citra masyarakat dengan paradigma pembinaan kaum difabel yang bersifat parsial, khusus, dan eksklusif. Secara psiko-sosiokultural, penyan dang disabilitas dan keluarganya kurang atau tidak memahami keberadaan disabilitas secara utuh dan objektif bahkan cenderung skeptis terhadap upaya pemberdayaan dan kemajuan kaum difabel.
b. Terbatasnya sarana dan prasarana serta buruknya manajemen dan kinerja operasional pengelola lembaga pendidikan khusus/panti rehabilitasi termasuk sistem pengawasannya. Sistem perencanaan dan evaluasi pelaksanaan program lembaga dimaksud sarat dengan pragmatisme birokrasi yang tidak efektif dan tidak efisien serta hanya mengejar target formal.
c. Masih rendahnya tingkat kesadaran publik dan individu khususnya kalangan dunia usaha, LSM domestik, atau asing dan pengambil keputusan untuk memberdayakan kaum difabel secara terprogram, sungguh-sungguh, dan berkesinambungan. Anehnya, kalangan elite lebih sering menghambur-hamburkan uang, baik yang bersifat hedonistis seperti pesta ulang tahun dan kepentingan politik maupun pemberian suap guna mempermulus berbagai urusan.
d. Masih kuatnya pengaruh model charity based di tingkat negara dan masyarakat ketika bicara tentang disabilitas. Tidak mengherankan jika substansi kebijakan yang mengapresiasi aspek kepentingan kaum difabel cenderung dibuat sekadarnya. Infrastruktur publik yang dibangun lebih banyak menonjolkan aspek artistik daripada penyediaan aksesibilitas dalam desain arsitekturnya.
e. Masih berlanjutnya sikap stereotip dan prejudice berbagai kalangan otoritas publik yang cenderung diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
Klausul Tidak Sehat
Sampai saat ini dunia medis masih memosisikan disabilitas sebagai kondisi yang tidak sehat sesuai dengan Peraturan Menkes No 143/Menkes/Per/ VII/1977. Ironisnya, meski sudah banyak peraturan perundang-undangan menegaskan bahwa disabilitas bukan dan tidak boleh diidentikkan dengan sakit, dalam penerimaan karyawan/pegawai pada semua sektor masih sering tampak klausul yang menegaskan bahwa disabilitas identik dengan `tidak sehat'.
Tidak mengherankan jika secara faktual, sebagian besar penyandang disabilitas dewasa ini hidup di bawah tekanan bayang-bayang ketidakpastian. Betapa tidak, hak kaum difabel sebagai warga negara yang merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia hingga kini tak diberikan atau setidak-tidaknya dibatasi sampai limit tertentu terutama akses di bidang pendidikan dan tenaga kerja yang masih sarat dengan isolasi, diskriminasi, dan ketidakadilan. Yang paling parah lagi, ada kecenderungan kebijakan publik yang masih memandang disabilitas identik dengan `tidak sehat jasmani dan rohani'.
Dengan alasan tersebut, penyandang disabilitas tidak memenuhi kualifikasi untuk menggeluti dunia formal. Singkatnya, orang begitu mudah menjustifikasi ketunaan dalam diri kaum difabel untuk menghilangkan kebisaan mereka. Buktinya, jika ada peraturan yang membolehkan penyandang disabilitas dapat berapresiasi dalam suatu hal dan hanya ada satu yang melarang, pihak otoritas cenderung mengambil yang terakhir sebagai pegangan.
Namun, kaum difabel Indonesia sedikit lega dengan kehadiran International Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang telah kita ratifi kasi melalui UU No 19 Tahun 2011. Berdasarkan pranata hukum tersebut, penyandang disabilitas Indonesia mempunyai kesempatan yang sangat terbuka untuk melakukan restorasi terhadap paradigma pemberdayaan dan struktur kebijakan yang masih mengandung anasir diskriminasi dan ketidakadilan. Tak hanya itu, penyandang disabilitas Indonesia justru ditantang konvensi untuk menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi subjek pembangunan, bahkan kalau perlu menjadi bagian dari penentu tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Hanya dengan mindset dan paradigma berpikir seperti itu, CRPD yang mengatur pelembagaan hak secara komprehensif bagi kaum difabel dapat sungguh-sungguh menjadi instrumen taktis dalam mengantarkan penyandang disabilitas memasuki pintu gerbang kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar