Potret Buram
Kaum Difabel dalam Kebijakan Publik
Saharuddin Daming ; Mantan Komisioner Komnas HAM
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Desember 2012
DALAM memaknai peringatan hari internasional
penyandang disabilitas setiap 3 Desember, kita perlu menengok kebijakan dan
pelayanan penyelenggaraan negara dan kemasyarakatan kepada warga negara dari
kalangan difabel. Dengan sangat gamblang dan kasatmata, kita dapat
menyaksikan bagaimana kebijakan dan pelayanan kepada kaum difabel sarat
dengan perilaku yang kerap mereduksi, mengeliminasi, dan mendekonstruksi
political space kaum difabel.
Kalangan otoritas seolaholah ingin memosisikan
dunia formal dengan segala kehormatannya hanya milik orangorang yang `sehat
jasmani dan/ atau rohani' sehingga kaum difabel hanya ditakdirkan menerima
nasib sebagai kelompok yang tidak penting dan haram/tabu memasuki zona
formal, terlebih untuk posisi terhormat di negeri ini.
Kebijakan yang cenderung bias disabilitas
seperti itu jelas akan menimbulkan implikasi sosial-politik yang sangat buruk
bagi kaum difabel. Publik, dalam level tertentu, akan cenderung mencemooh
kaum difabel atau pihak lain yang memperjuangkannya terjun ke pentas formal
sekalipun figur dimaksud eligible
dari sudut kapasitas dan leadership. Akibatnya tingkat apresiasi publik
terhadap disabilitas yang sudah mulai terbangun melalui perjuangan panjang
yang sangat melelahkan selama ini akhirnya harus buyar dan terdistorsi oleh
sikap stereotip dan prejudice yang
kian melembaga. Itu kemudian berimbas kepada kaum difabel sendiri yang secara
psikologis menimbulkan rasa frustrasi dan makin menjamurnya proses
marginalisasi serta perasaan inferioritas kompleks (minder) di kalangan kaum
difabel.
Pada bagian lain, kaum difabel kerap diberi
apresiasi dan sanjungan yang kadangkadang berlebihan hanya pada saat mereka
memiliki kemampuan eksklusif atau dalam suatu keadaan seremonial. Setiap
tahun pemerintah, dan mungkin ada dari kelompok masyarakat tertentu yang
memiliki kepedulian sosial, bersedia menyuplai sejumlah fasilitas baik berupa
dana maupun natura bagi upaya pembinaan mereka menuju taraf kehidupan yang
lebih sejahtera dan mandiri. Sayang sekali, upaya seperti itu seluruhnya
masih didominasi semangat charity based, padahal gerakan advokasi
pemberdayaan kaum difabel kontemporer telah memasuki model rights based.
Berdasarkan hasil pengkajian yang mendalam
baik dalam kerangka teoretis konseptual maupun fakta empiris tentang
eksistensi kaum difabel di Indonesia, hingga kini sebagian besar mengalami
marginalisasi karena beberapa hal, antara lain:
a. Masih suburnya sikap apriori dan sinisme di
kalangan penyelenggara negara dan kemasyarakatan terhadap eksistensi kaum
difabel. Hal tersebut selain disebabkan kurangnya informasi yang objektif,
menyeluruh, dan transparan mengenai keberadaan penyandang disabilitas dengan segala
masalahnya, juga disebabkan pembakuan berbagai terminologi yang berimplikasi
pada terbentuknya opini dan citra masyarakat dengan paradigma pembinaan kaum
difabel yang bersifat parsial, khusus, dan eksklusif. Secara
psiko-sosiokultural, penyan dang disabilitas dan keluarganya kurang atau
tidak memahami keberadaan disabilitas secara utuh dan objektif bahkan
cenderung skeptis terhadap upaya pemberdayaan dan kemajuan kaum difabel.
b. Terbatasnya sarana dan prasarana serta
buruknya manajemen dan kinerja operasional pengelola lembaga pendidikan
khusus/panti rehabilitasi termasuk sistem pengawasannya. Sistem perencanaan
dan evaluasi pelaksanaan program lembaga dimaksud sarat dengan pragmatisme
birokrasi yang tidak efektif dan tidak efisien serta hanya mengejar target
formal.
c. Masih rendahnya tingkat kesadaran publik
dan individu khususnya kalangan dunia usaha, LSM domestik, atau asing dan
pengambil keputusan untuk memberdayakan kaum difabel secara terprogram,
sungguh-sungguh, dan berkesinambungan. Anehnya, kalangan elite lebih sering
menghambur-hamburkan uang, baik yang bersifat hedonistis seperti pesta ulang
tahun dan kepentingan politik maupun pemberian suap guna mempermulus berbagai
urusan.
d. Masih kuatnya pengaruh model charity based
di tingkat negara dan masyarakat ketika bicara tentang disabilitas. Tidak
mengherankan jika substansi kebijakan yang mengapresiasi aspek kepentingan
kaum difabel cenderung dibuat sekadarnya. Infrastruktur publik yang dibangun
lebih banyak menonjolkan aspek artistik daripada penyediaan aksesibilitas
dalam desain arsitekturnya.
e. Masih berlanjutnya sikap stereotip dan
prejudice berbagai kalangan otoritas publik yang cenderung diskriminatif
terhadap penyandang disabilitas.
Klausul Tidak Sehat
Sampai saat ini dunia medis masih memosisikan
disabilitas sebagai kondisi yang tidak sehat sesuai dengan Peraturan Menkes
No 143/Menkes/Per/ VII/1977. Ironisnya, meski sudah banyak peraturan perundang-undangan
menegaskan bahwa disabilitas bukan dan tidak boleh diidentikkan dengan sakit,
dalam penerimaan karyawan/pegawai pada semua sektor masih sering tampak
klausul yang menegaskan bahwa disabilitas identik dengan `tidak sehat'.
Tidak mengherankan jika secara faktual,
sebagian besar penyandang disabilitas dewasa ini hidup di bawah tekanan
bayang-bayang ketidakpastian. Betapa tidak, hak kaum difabel sebagai warga
negara yang merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia hingga kini
tak diberikan atau setidak-tidaknya dibatasi sampai limit tertentu terutama
akses di bidang pendidikan dan tenaga kerja yang masih sarat dengan isolasi,
diskriminasi, dan ketidakadilan. Yang paling parah lagi, ada kecenderungan
kebijakan publik yang masih memandang disabilitas identik dengan `tidak sehat
jasmani dan rohani'.
Dengan alasan tersebut, penyandang disabilitas
tidak memenuhi kualifikasi untuk menggeluti dunia formal. Singkatnya, orang
begitu mudah menjustifikasi ketunaan dalam diri kaum difabel untuk menghilangkan
kebisaan mereka. Buktinya, jika ada peraturan yang membolehkan penyandang
disabilitas dapat berapresiasi dalam suatu hal dan hanya ada satu yang
melarang, pihak otoritas cenderung mengambil yang terakhir sebagai pegangan.
Namun, kaum difabel Indonesia sedikit lega
dengan kehadiran International
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang telah
kita ratifi kasi melalui UU No 19 Tahun 2011. Berdasarkan pranata hukum
tersebut, penyandang disabilitas Indonesia mempunyai kesempatan yang sangat
terbuka untuk melakukan restorasi terhadap paradigma pemberdayaan dan
struktur kebijakan yang masih mengandung anasir diskriminasi dan
ketidakadilan. Tak hanya itu, penyandang disabilitas Indonesia justru
ditantang konvensi untuk menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi subjek
pembangunan, bahkan kalau perlu menjadi bagian dari penentu tata kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Hanya dengan mindset dan paradigma
berpikir seperti itu, CRPD yang mengatur pelembagaan hak secara komprehensif
bagi kaum difabel dapat sungguh-sungguh menjadi instrumen taktis dalam
mengantarkan penyandang disabilitas memasuki pintu gerbang kehidupan yang
sejahtera, mandiri, dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar