Jumat, 21 Desember 2012

Bom Waktu di Udara, Darat, dan Laut


Laporan Akhir Tahun 2012 Nusantara
Bom Waktu di Udara, Darat, dan Laut
KOMPAS, 21 Desember 2012


Di jalur udara tersendat, di darat merayap, di laut merana. Begitulah gambaran mobilitas orang dan barang di Tanah Air akibat buruknya infrastruktur bidang transportasi.

Hal ini bertolak belakang dengan konektivitas antarwilayah yang digaungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator Perekonomian M Hatta Rajasa. Antusiasme soal Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (M3PEI) ada baiknya diimbangi dengan mencermati realitas empirik.

Kacau-balaunya puluhan penerbangan dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, akibat kerusakan radar pada Minggu (16/12) adalah fakta mutakhir dari rentetan kejadian serupa sepanjang 2012. Padatnya penerbangan domestik dan internasional di bandara yang dibangun tahun 1985 itu membuat publik akrab dengan cerita penundaan penerbangan. Waktu pendaratan pesawat pun lazim terulur karena padatnya pesawat yang hendak mendarat dalam waktu bersamaan. 
Mengingat Bandara Soekarno-Hatta menjadi sumbu utama dari rute-rute penerbangan dalam negeri, penundaan jadwal di sini merembet ke bandara-bandara lainnya di Tanah Air.

Tentu konteksnya tak sekadar penghamburan biaya dan waktu. Tak kalah pentingnya ialah menyangkut keselamatan. Matinya aliran listrik di bandara yang mengakibatkan radar tidak berfungsi tidaklah sesederhana matinya listrik di rumah.

Bagaimana dengan transportasi darat? Patut diapresiasi gencarnya pembangunan jalan baru, termasuk jalan tol, yang dibangun pemerintah dan swasta di Jawa ataupun luar Jawa. Namun, laju pembangunan jalan baru tak sebanding dengan tingkat kerusakan jalan akibat minimnya anggaran perawatan. Buruknya kondisi jalan raya dan jembatan tentu tidak hanya soal inefisiensi, tetapi juga soal keselamatan.

Selanjutnya, coba kita tilik transportasi laut. Tak usah jauh- jauh. Angkutan penyeberangan di Merak-Bakauheni yang terletak kurang dari 200 kilometer dari pusat kekuasaan (Jakarta) kerap diwarnai keterbatasan feri dan dermaga.

Kapal atau feri yang tersedia tak sanggup menyeberangkan ratusan truk dan bus yang mengangkut barang dan manusia dari Jawa dan Sumatera. Antrean truk dan bus pada akhirnya juga bermuara inefisiensi.

Ekonomi Biaya Tinggi

Ekonomi berbiaya tinggi juga ditemukan pada angkutan barang antarpulau skala domestik ataupun untuk antarpulau skala mancanegara. Minimnya kapal dan buruknya manajemen logistik membuat ongkos jadi mahal.
Sebagai contoh, ongkos pengapalan peti kemas dari Padang ke Jakarta mencapai 600 dollar AS. Sementara ongkos pengapalan serupa dari Singapura ke Jakarta hanya 185 dollar AS.

Setiap ada forum pertemuan antara para gubernur atau bupati/wali kota se-Indonesia dan kalangan dunia usaha, aspek paling mudah dikritik ialah penganggaran. Terlebih adanya inkonsistensi dari pemerintah.

Awal Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan 2012 sebagai tahun pembangunan infrastruktur. Kala itu Presiden berjanji tancap gas dalam membangun infrastruktur. Namun, dalam pidato pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 di depan DPR dan DPD, 16 Agustus 2012, janji itu meleset. Dari Rp 1.657,9 triliun volume RAPBN 2013, nyaris 80 persen teralokasi untuk belanja rutin, seperti gaji PNS dan subsidi energi. Hanya sekitar 20 persen alokasi untuk belanja tak rutin, mencakup infrastruktur.

Agak sulit memahami logika pemerintah. Infrastruktur yang sejatinya mendapat perhatian lebih—sebagai bagian pelayanan kepada publik yang lebih luas—justru kalah dibanding subsidi energi. Bukankah investasi infrastruktur membuka lapangan kerja? Sementara subsidi energi rawan dinikmati orang mampu atau rawan disalahgunakan.

Pemerintah daerah juga punya andil dalam kasus ini. Ekonom Bank Dunia di Indonesia, Vivi Alatas, mengungkapkan bahwa empat perlima dari seluruh jalan di Indonesia berada di bawah tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Sekitar 60 persen di antaranya buruk.

Para pihak terkait mungkin lupa bahwa transportasi tak sekadar soal pergerakan manusia (baca: warga negara) antarruang dan waktu. Transportasi juga menyangkut kerekatan dan interaksi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Bagaimana dengan infrastruktur vital lainnya, seperti listrik? Di sejumlah daerah, pemadaman listrik dalam seminggu pasti sudah terjadwal, termasuk di Kalimantan yang kaya akan batubara. Fakta ini juga berisiko menambah bom waktu. Biasanya pergerakan dan kenyamanan yang tersendat menimbulkan disharmoni.

Melihat kedewasaan masyarakat disertai tren pertumbuhan ekonomi yang memadai, kita berharap tahun 2013 bom waktu itu bisa diatasi bersama. (NASRULLAH NARA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar