Kamis, 20 Desember 2012

Kunjungan SBY dan Nasib TKI


Kunjungan SBY dan Nasib TKI
Humphrey Djemat ;  Advokat Senior; Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia
SUARA KARYA, 19 Desember 2012
  

Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua hari ke Malaysia, selain bertemu dengan Perdana Menteri Najib Tun Razak, juga menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari salah satu universitas di Malaysia. Tidak terdengar informasi bahwa pertemuan tersebut akan membahas masalah perlindungan terhadap para WNI/TKI di Malaysia yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2,5 juta orang.
Dibandingkan dengan jumlah penduduk Malaysia yang tidak lebih 30 juta orang, maka masalah perlindungan WNI/TKI di Malaysia sepatutnya mendapat prioritas utama dalam kunjungan Presiden SBY tersebut. Apalagi dalam beberapa minggu lalu, rakyat Indonesia tengah marah atas perbuatan bejat tiga polisi Malaysia yang memperkosa seorang TKI di Kantor Polisi Bukit Mertajam, Penang, Malaysia. Kejadian seperti itu bukan pertama kali menimpa TKI di Malaysia.
Ironisnya, pemerkosaan itu dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum Malaysia. Dalam negara yang beradab, tegaknya hukum merupakan jaminan tingginya peradaban sebuah bangsa. Tapi, di Malaysia justru penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum terhadap warga Indonesia.
Penyiksaan terhadap TKI kerap juga dilakukan oleh majikan di Malaysia. Sebagai anggota Satuan Tugas Penanganan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), beberapa waktu lalu, saya menerima laporan bahwa banyak TKI di Malaysia mengalami perlakuan tidak manusiawi, termasuk korban penembakan mati dengan tuduhan merampok. Hal ini tidak dilakukan terhadap warga Malaysia, sehingga jelas terjadi perlakuan diskriminasi.
Ketika berkunjung ke penjara di Malaysia, saya mendapati dua WNI dihukum 21 tahun dan 28 tahun penjara, karena dituduh melakukan pemerkosaan. Padahal, menurut pengakuan mereka, hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Tapi, karena orangtua keluarga wanita tidak senang anaknya kawin dengan orang Indonesia, lalu melaporkannya ke polisi, sehingga kedua WNI tersebut dipenjara.
Pengadilan tingkat pertama menghukum mereka selama 21 tahun dan 28 tahun penjara. Mengapa 21 tahun? Karena yang bersangkutan dituduh memerkosa 3 kali. Sekali melakukan pemerkosaan, hukumannya 7 tahun penjara. Nah, apakah begitu sistem hukum di negara yang beradab? Saya yakin terhadap warga Malaysia yang melakukan pemerkosaan tidak akan dijatuhkan hukuman seberat itu.
Masih segar dalam ingatan kita kejadian yang menimpa TKI asal Pontianak, Frans dan Darry Hiu yang divonis mati. Sejatinya, mereka membela diri. Tapi, orang Malaysia yang ada pada saat kejadian tersebut dibebaskan dari hukuman. Tindakan ini jelas sangat diskriminatif.
Ketika mewawancarai lawyer-lawyer Malaysia yang akan ditunjuk mendampingi TKI bermasalah, saya bertanya apakah polisi di negara tersebut masih sering melakukan kekerasan dalam pemeriksaan? Mereka menjawab bahwa hal seperti itu biasa.
Memang, hal itu bukan mengada-ada. Malaysia mempertontonkan pada publik internasional kala mantan Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengalami pemukulan di penjara oleh Kepala Polisi Malaysia. Akibatnya, Anwar harus menjalani operasi di Jerman, karena tulang belakangnya retak. Dapat dibayangkan, pejabat tinggi pun masih mendapat tindakan kekerasan oleh polisi Malaysia. Bagaimana dengan TKI.
Lalu, apa yang bisa kita perbuat untuk melindungi TKI di Malaysia? Disayangkan, jika terjadi kasus yang menimpa warga Indonesia di Malaysia, para pejabat kementerian terkait di Indonesia hanya bersikap reaktif dan parsial, namun tidak menyelesaikan masalahnya secara komprehensif. Nota protes sudah puluhan kali dikirim kepada pemerintah Malaysia, tapi apa hasilnyanya? Justru nota protes itu dianggap Malaysia seperti kafilah berlalu saja.
Selama pihak Malaysia masih memberikan toleransi dan sikap permisif serta kurang memberikan sanksi berat maka sulit untuk meminimalisasi perlakuan yang merendahkan para TKI. Kita meyakini apabila 3 polisi yang melakukan pemerkosaan tersebut dihukum penjara 10-20 tahun maka hal tersebut akan membawa efek jera bagi berbagai pihak di Malaysia. Pertanyaanya, apakah Malaysia mau mengubah kondisi yang terjadi selama ini?
Bagi TKI sangat tidak ada jaminan untuk mendapat hukuman yang adil di Malaysia. Oleh karena itu, Indonesia harus bisa menekan Malaysia agar berlaku adil dalam melaksanakan hukum di negara itu. Selain itu, Indonesia perlu melakukan moratorium secara total untuk tenaga kerja di sektor domestik/PRT, konstruksi, perkebunan, jasa dan industri. Jika hal itu dilakukan ekonomi Malaysia akan goyang.
Sebab, ekonomi Malaysia sangat tergantung pada sektor perkebunan. Malaysia sangat bergantung pada suplai tenaga kerja dari Indonesia. Sudah terbukti hanya TKI yang dapat bekerja secara apik di perkebunan. Jika TKI ditarik secara total, Malaysia pasti mengalami kesulitan untuk mencari penggantinya mengingat tenaga kerja asal negara lain, seperti Bangladesh dan Filipina tidak memiliki keahlian dan kekuatan untuk bekerja di perkebunan. Beda halnya jika kita melakukan moratorium untuk sektor domestik, karena TKI bisa digantikan dengan pekerja dari negara lain.
Presiden SBY dalam kunjungannya sebaiknya mengingatkan bahwa moratorium secara total khususnya di sektor perkebunan setiap saat bisa dilakukan Indonesia apabila terus terjadi pembiaran dan perlakuan semena-mena terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Sikap tegas Presiden SBY bisa menjadi posisi tawar bagi Pemerintah Indonesia kepada Malaysia agar Malaysia memberikan perlindungan hukum yang lebih konkrit terhadap TKI.
Kunjungan Presiden SBY ke Malaysia seharusnya menghasilkan komitmen jelas bahwa Pemerintah Malaysia akan memperbaiki sistem hukumnya, memberikan perlindungan dan tidak berlaku diskriminatif terhadap warga Indonesia. Sangat disayangkan apabila momentum kunjungan ini tidak dimanfaatkan Presiden SBY untuk membela rakyatnya di Malaysia. Apalagi, kalau kunjungan itu hanya sekadar pertemuan dan menerima gelar Doktor Honoris Causa. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar