Kunjungan SBY
dan Nasib TKI
Humphrey Djemat ; Advokat Senior; Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia
|
SUARA
KARYA, 19 Desember 2012
Kunjungan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selama dua hari ke Malaysia, selain bertemu dengan Perdana
Menteri Najib Tun Razak, juga menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari
salah satu universitas di Malaysia. Tidak terdengar informasi bahwa pertemuan
tersebut akan membahas masalah perlindungan terhadap para WNI/TKI di Malaysia
yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2,5 juta orang.
Dibandingkan dengan jumlah
penduduk Malaysia yang tidak lebih 30 juta orang, maka masalah perlindungan
WNI/TKI di Malaysia sepatutnya mendapat prioritas utama dalam kunjungan
Presiden SBY tersebut. Apalagi dalam beberapa minggu lalu, rakyat Indonesia
tengah marah atas perbuatan bejat tiga polisi Malaysia yang memperkosa
seorang TKI di Kantor Polisi Bukit Mertajam, Penang, Malaysia. Kejadian
seperti itu bukan pertama kali menimpa TKI di Malaysia.
Ironisnya, pemerkosaan itu
dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum Malaysia. Dalam negara yang
beradab, tegaknya hukum merupakan jaminan tingginya peradaban sebuah bangsa.
Tapi, di Malaysia justru penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum
terhadap warga Indonesia.
Penyiksaan terhadap TKI kerap juga
dilakukan oleh majikan di Malaysia. Sebagai anggota Satuan Tugas Penanganan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI), beberapa waktu lalu, saya menerima laporan
bahwa banyak TKI di Malaysia mengalami perlakuan tidak manusiawi, termasuk
korban penembakan mati dengan tuduhan merampok. Hal ini tidak dilakukan
terhadap warga Malaysia, sehingga jelas terjadi perlakuan diskriminasi.
Ketika berkunjung ke penjara di
Malaysia, saya mendapati dua WNI dihukum 21 tahun dan 28 tahun penjara,
karena dituduh melakukan pemerkosaan. Padahal, menurut pengakuan mereka, hal
itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Tapi, karena orangtua keluarga
wanita tidak senang anaknya kawin dengan orang Indonesia, lalu melaporkannya
ke polisi, sehingga kedua WNI tersebut dipenjara.
Pengadilan tingkat pertama menghukum
mereka selama 21 tahun dan 28 tahun penjara. Mengapa 21 tahun? Karena yang
bersangkutan dituduh memerkosa 3 kali. Sekali melakukan pemerkosaan,
hukumannya 7 tahun penjara. Nah, apakah begitu sistem hukum di negara yang
beradab? Saya yakin terhadap warga Malaysia yang melakukan pemerkosaan tidak
akan dijatuhkan hukuman seberat itu.
Masih segar dalam ingatan kita
kejadian yang menimpa TKI asal Pontianak, Frans dan Darry Hiu yang divonis
mati. Sejatinya, mereka membela diri. Tapi, orang Malaysia yang ada pada saat
kejadian tersebut dibebaskan dari hukuman. Tindakan ini jelas sangat
diskriminatif.
Ketika mewawancarai lawyer-lawyer
Malaysia yang akan ditunjuk mendampingi TKI bermasalah, saya bertanya apakah
polisi di negara tersebut masih sering melakukan kekerasan dalam pemeriksaan?
Mereka menjawab bahwa hal seperti itu biasa.
Memang, hal itu bukan mengada-ada.
Malaysia mempertontonkan pada publik internasional kala mantan Deputi Perdana
Menteri Anwar Ibrahim mengalami pemukulan di penjara oleh Kepala Polisi
Malaysia. Akibatnya, Anwar harus menjalani operasi di Jerman, karena tulang
belakangnya retak. Dapat dibayangkan, pejabat tinggi pun masih mendapat
tindakan kekerasan oleh polisi Malaysia. Bagaimana dengan TKI.
Lalu, apa yang bisa kita perbuat
untuk melindungi TKI di Malaysia? Disayangkan, jika terjadi kasus yang
menimpa warga Indonesia di Malaysia, para pejabat kementerian terkait di
Indonesia hanya bersikap reaktif dan parsial, namun tidak menyelesaikan
masalahnya secara komprehensif. Nota protes sudah puluhan kali dikirim kepada
pemerintah Malaysia, tapi apa hasilnyanya? Justru nota protes itu dianggap
Malaysia seperti kafilah berlalu saja.
Selama pihak Malaysia masih
memberikan toleransi dan sikap permisif serta kurang memberikan sanksi berat
maka sulit untuk meminimalisasi perlakuan yang merendahkan para TKI. Kita
meyakini apabila 3 polisi yang melakukan pemerkosaan tersebut dihukum penjara
10-20 tahun maka hal tersebut akan membawa efek jera bagi berbagai pihak di
Malaysia. Pertanyaanya, apakah Malaysia mau mengubah kondisi yang terjadi
selama ini?
Bagi TKI sangat tidak ada jaminan
untuk mendapat hukuman yang adil di Malaysia. Oleh karena itu, Indonesia
harus bisa menekan Malaysia agar berlaku adil dalam melaksanakan hukum di
negara itu. Selain itu, Indonesia perlu melakukan moratorium secara total
untuk tenaga kerja di sektor domestik/PRT, konstruksi, perkebunan, jasa dan
industri. Jika hal itu dilakukan ekonomi Malaysia akan goyang.
Sebab, ekonomi Malaysia sangat
tergantung pada sektor perkebunan. Malaysia sangat bergantung pada suplai
tenaga kerja dari Indonesia. Sudah terbukti hanya TKI yang dapat bekerja
secara apik di perkebunan. Jika TKI ditarik secara total, Malaysia pasti
mengalami kesulitan untuk mencari penggantinya mengingat tenaga kerja asal
negara lain, seperti Bangladesh dan Filipina tidak memiliki keahlian dan
kekuatan untuk bekerja di perkebunan. Beda halnya jika kita melakukan
moratorium untuk sektor domestik, karena TKI bisa digantikan dengan pekerja
dari negara lain.
Presiden SBY dalam kunjungannya
sebaiknya mengingatkan bahwa moratorium secara total khususnya di sektor
perkebunan setiap saat bisa dilakukan Indonesia apabila terus terjadi
pembiaran dan perlakuan semena-mena terhadap tenaga kerja Indonesia di
Malaysia. Sikap tegas Presiden SBY bisa menjadi posisi tawar bagi Pemerintah
Indonesia kepada Malaysia agar Malaysia memberikan perlindungan hukum yang
lebih konkrit terhadap TKI.
Kunjungan Presiden SBY ke Malaysia
seharusnya menghasilkan komitmen jelas bahwa Pemerintah Malaysia akan
memperbaiki sistem hukumnya, memberikan perlindungan dan tidak berlaku
diskriminatif terhadap warga Indonesia. Sangat disayangkan apabila momentum
kunjungan ini tidak dimanfaatkan Presiden SBY untuk membela rakyatnya di
Malaysia. Apalagi, kalau kunjungan itu hanya sekadar pertemuan dan menerima
gelar Doktor Honoris Causa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar