Selasa, 11 Desember 2012

Berbagi Buku


Berbagi Buku
Agus M Irkham ;  Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan
Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
KORAN TEMPO, 08 Desember 2012


Festival Taman Bacaan Masyarakat (TBM), yang berlangsung awal November 2012, menyemai banyak benih kemajuan bagi masa depan gerakan budaya membaca di Indonesia. Benih tersebut dua di antaranya adalah memilih "kamu" (you, Anda), para pegiat literasi dan pengelola Taman Bacaan Masyarakat, sebagai peraih penghargaan (TBM Award 2012), dan menjadikan tanggal 1 November sebagai Hari Berbagi Buku Nasional. TBM Award diberikan kepada sosok yang dinilai memiliki jasa dan peran penting dalam gerakan budaya membaca di Indonesia. 
Mengapa keduanya saya sebut sebagai benih kemajuan bagi upaya percepatan literasi budaya di Indonesia? Ketika mendengar kata sejarah, sering kali yang lekat di benak kita adalah peristiwa besar, perang, darah, orang-orang besar, sehingga hampir-hampir sebagian besar dari kita yang bukan orang besar ini tidak memiliki harapan untuk membuat sejarah. 
Namun masa terus bergulir. Zaman senantiasa berubah. Kini cerita yang menyejarah, berlangsungnya perubahan sosial, bukan lagi layaknya kita sedang membaca kisah biografi satu-dua orang besar atau keluarga saja. Sebaliknya, kini tiap diri dan komunitas bisa "menuliskan" sejarahnya sendiri, bisa membuat perubahan di lingkungan masing-masing. Terlebih di tengah zaman yang kini tidak lagi selebar daun kelor, melainkan sudah sesidik jari jempol.
Dalam konteks pengelolaan TBM dan kampanye budaya baca, tampilnya para pegiat literasi di publik luas dengan publikasi di media massa dapat dijadikan penanda betapa di dunia literasi di Indonesia memang benar-benar telah banyak "you" (kamu, Anda) yang menatah sejarah dan melakukan perubahan sosial. 
Dijadikannya "kamu" sebagai peraih TBM Award pada Festival TBM merupakan langkah afirmasi serta dukungan terhadap fakta-fakta yang telah, tengah, dan akan terus berlangsung tersebut. Betapa mendirikan dan mengelola Taman Bacaan Masyarakat, serta menyediakan beragam bacaan inspiratif kepada masyarakat, itu merupakan tindakan mulia. Ia bukan hanya pilihan hidup yang bersifat ideologis, tapi juga politis. Soft politics. Ini merupakan siasat perubahan sosial melalui jalan kebudayaan. 
Jika ada yang menanyakan mana sertifikat penghargaannya, maka pulang ke rumah masing-masing lantas mengembangkan TBM yang dipunyai, memperlebar manfaat sosialnya, membuka diri bagi terjalinnya kerja sama dengan komunitas lain, adalah sertifikat paling substansial yang dapat diberikan Pengurus Pusat Forum TBM kepada peraih TBM Award 2012 ini. 
Hari Buku
Sekarang kita beranjak ke benih kemajuan budaya baca kedua yang dilahirkan saat Festival TBM, yaitu menjadikan tanggal 1 November sebagai Hari Berbagi Buku Nasional (HB2N). HB2N menjadi satu di antara sepuluh rekomendasi yang dihasilkan oleh peserta Festival TBM, bertalian dengan peran Forum TBM dalam gerakan membaca di Indonesia. 
Dasar filosofis dan sosiologis HB2N adalah adanya kenyataan bahwa selama ini yang sering dikeluhkan banyak pihak berkaitan dengan budaya baca adalah tentang sulitnya akses masyarakat kepada buku. Baik karena faktor lokasi atau tempat maupun jumlah buku yang masih di bawah angka yang dibutuhkan. Belum lagi soal keragaman jenis bacaan. Dan kondisi demikian terjadi di sebagian besar TBM. 
Situasinya menjadi kiat sulit jika upaya penambahan jumlah bacaan harus selalu diartikan membeli. Sebab, selain persoalan ketiadaan dana untuk membeli, hal ini bertalian pula dengan ongkos pengiriman yang menyebabkan harga buku tiap eksemplar yang menjadi lebih tinggi. Maka, perlu dicari terobosan baru model pengadaan dan penambahan buku yang tidak hanya low cost-budget, bahkan kalau bisa nol rupiah, serta bisa melibatkan lebih banyak pihak. Salah satunya adalah hibah buku atau wakaf buku.
Secara substansi, HB2N bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, program berbagi buku telah dilakukan oleh beberapa komunitas. Mulai dari Komunitas 1.001 Buku, Forum Indonesia Membaca, Kaskus, Komunitas Banten Membaca, serta Komunitas Padang Membaca. Bahkan, dalam catatan saya, ada juga beberapa perusahaan yang salah satu bentuk kegiatan CSR-nya adalah hibah buku. Hanya, semua itu dilakukan secara insidental. Biasanya berkaitan dengan aksi peduli sosial peristiwa bencana alam. Seperti saat tsunami di Aceh, gempa di Yogya dan Padang, serta letusan Merapi di Magelang. 
Selain itu, semua program berbagi buku yang telah dilakukan masih terkesan jalan sendiri-sendiri. Program berbagi buku belum menjadi sebuah aksi yang bersifat kontinu, berskala nasional, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, terutama penerbit sebagai stakeholder inti budaya baca, secara bersamaan. Padahal sekarang ini ada tak kurang dari 200 penerbit di Indonesia. Taruhlah tiap tahun menerbitkan 30 ribu judul buku, maka, dengan asumsi paling pahit satu judul satu eksemplar yang dihibahkan, akan terkumpul 30 ribu eksemplar. Jumlah "sebesar" itu baru dari penerbit. 
Penetapan rekomendasi 1 November sebagai HB2N dapat dimaknai sebagai undangan para pegiat literasi dan pengelola TBM kepada publik luas untuk ambil bagian dalam proses perubahan sosial melalui siasat jalan kebudayaan. Minimal dalam setahun kita diingatkan untuk membeli satu buku dan membagikannya kepada orang lain. Andai dari jumlah penduduk Indonesia, yang sudah menembus angka 240 juta jiwa, 50 persennya mau berbagi satu buku saja, maka di HB2N akan terkumpul 120 juta eksemplar buku! Artinya, tiap TBM yang jumlahnya mencapai 6.000 akan mendapat tambahan buku baru 20 ribu eksemplar.
Lagi, berbeda dengan kata "hibah" yang berkesan ada pihak donor dan penerima donor, atau "wakaf" yang berkesan eksklusif karena merujuk pada satu keyakinan agama tertentu, penggunaan kata "berbagi" juga untuk menguatkan kesan empatif, pastisipatif, inklusif, dan kesejajaran. Hari Berbagi Buku Nasional adalah wujud nyata empati literasi, sekaligus ijtihad moral dan penekanan sosial bahwa membaca itu penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar