Kamis, 20 Desember 2012

Penyelesaian Century dan HMP


Penyelesaian Century dan HMP
Ahmad Yani ;  Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
SINDO, 20 Desember 2012



Kendati belum memenuhi ekspektasi publik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membuat progres bagi proses hukum kasus Bank Century. Namun, penyelesaian hukum megaskandal ini harus berkeadilan. 

Status tersangka dua mantan deputi gubernur Bank Indonesia (BI) mestinya menjadi modal tambahan bagi KPK untuk memperdalam keterlibatan sejumlah nama, sebagaimana telah direkomendasikan oleh sidang paripurna DPR. Dengan menetapkan mantan Deputi IV Pengelolaan Moneter Devisa BI dan mantan Deputi V Bidang Pengawasan BI sebagai tersangka, KPK sesungguhnya sudah memasuki area sensitif dari skandal ini. 

Kedua tersangka ini adalah pembantu terdekat Gubernur BI. Bisa dimaklumi jika sejumlah kalangan merasa dahaga keadilan mereka belum terpuaskan. Dalam konteks peran BI pada skandal ini, KPK dinilai hanya berani menjerat pejabat setingkat deputi gubernur BI, sementara ekspektasi publik selama ini lebih dari itu. Akan tetapi, langkah KPK itu sangat layak untuk diapresiasi. Alasan utamanya adalah keberanian KPK masuk ke area penyelidikan yang sensitif tadi.

Kenapa sensitif? Karena pada akhirnya, penyelidikan dan penyidikan KPK harus juga menyentuh tugas, fungsi, dan wewenang gubernur BI saat itu. Secara tegas KPK menyatakan telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) dan terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. 

Mengurai peran gubernur BI dalam proses persetujuan dan pencairan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) untuk Bank Century adalah sebuah konsekuensi logis yang tak mungkin dihindari KPK. Sebab, semua keputusan strategis BI adalah keputusan kolektif kolegial yang dirumuskan dan ditetapkan dalam forum Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. 

Seperti diketahui, RDG BI yang khusus membahas FPJP untuk Bank Century diselenggarakan pada 5 November dan 13 November 2008. Dengan logika keputusan kolektif-kolegial tadi, tentu saja akan tampak tidak adil jika hanya dua deputi gubernur BI yang dikenai sangkaan penyalahgunaan kewenangan dalam proses persetujuan FPJP, serta penyalahgunaan wewenang dalam menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Kalau sangkaan penyalahgunaan wewenang itu hanya dilokalisasi pada dua deputi gubernur BI, sama artinya RDG BI tidak kolektif kolegial. Sebaliknya, tidak masuk akal juga jika FPJP sebesar Rp6,7 triliun itu hanya diputuskan dua deputi gubernur BI tanpa dianalisis oleh RDG BI dan kemudian disetujui begitu saja oleh gubernur BI.Artinya,kalau FPJP Rp6,7 triliun itu bermasalah, anggota dewan gubernur BI dan gubernur BI saat itu otomatis ikut bertanggung jawab atas masalah itu. 

Inilah area sensitif yang akan dieksplorasi KPK. Diyakini bahwa KPK akan memanfaatkan status tersangka dua mantan deputi gubernur BI itu untuk menggali dan mendalami peran semua anggota atau peserta dua RDG BI pada November 2008 yang membahas FPJP untuk Bank Century itu. Sudah barang tentu KPK pun akan mengacu pada rekomendasi sidang paripurna DPR yang diselenggarakan awal Maret 2010. 

Dalam rekomendasi itu, pihak atau figur yang diduga bertanggung jawab atas kasus ini sudah diidentifikasi dalam laporan Panitia Khusus Hak Angket DPR. Bahkan sejumlah fraksi DPR langsung menyebut nama. Tidak mudah bagi KPK untuk sampai pada tahapan yang sensitif ini. Ibarat pertarungan tinju yang ketat, KPK berhasil membongkar pertahanan lawan dengan upaya yang ekstra keras. 

Bahkan,boleh jadi, KPK sendiri harus mengatasi beda pandang di dalam tubuhnya sendiri. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa unsur pimpinan KPK tidak pernah bersuara bulat dalam menyikapi penanganan proses hukum skandal Bank Century. Ada yang konsisten dan progresif, sementara lainnya minimalis dan cenderung menghambat. 

Hak Menyatakan Pendapat 

Memang,di luar penetapan tersangka dua mantan deputi gubernur BI itu, proses hukum atas megaskandal ini terus berjalan.Polri,misalnya,sudah menetapkan 38 tersangka,dan masih memburu sejumlah tersangka yang diduga kabur ke luar negeri. KPK, sejak penyelidikan yang dimulai pada Desember 2009,telah meminta keterangan tidak kurang dari 200-an orang saksi.Termasuk saksi dari unsur BI berjumlah 31 orang, unsur eks manajemen Bank Century 39 saksi,unsur Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 11 saksi,unsur Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 2 saksi, dan unsur Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) 1 saksi. 

Namun, publik menerjemahkan semua perkembangan proses hukum itu sebagai upaya penegak hukum memuaskan dahaga keadilan masyarakat. Sayangnya, upaya itu gagal karena masyarakat di seantero negeri menuntut lebih. Masyarakat bahkan bisa melihat ada skenario untuk melokalisasi pertanggungjawaban skandal ini kepada para tersangka atau terdakwa yang secara politis lemah.

Dengan skenario seperti itu, dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat otoritas moneter dan otoritas fiskal bisa lolos dari jerat hukum. Padahal, masyarakat masih menyimpan catatan tentang bunyi Butir 4 dari Kesimpulan Opsi C yang diputuskan oleh rapat paripurna DPR. Kesimpulan itu menyebutkan, Kasus Bank Century merupakan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat otoritas moneter dan fiskal.

Penyalahgunaan wewenang itu dilakukan dengan modus operandi penyimpangan pada proses dan pelaksanaan pemberian FPJP dan penyertaan modal sementara (PMS), sehingga dapat dikualifikasikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi. Munculnya wacana hak menyatakan pendapat (HMP) di DPR tak dapat dihindari karena KPK menyatakan bahwa mantan gubernur BI, yang kini menjabat Wakil Presiden RI, tahu dan memahami FPJP untuk eks Bank Century. 

Apalagi, ditegaskan juga bahwa KPK tetap bisa memeriksa Wakil Presiden dalam kaitan dengan kasus Century, sekalipun masihtimbulsilangpendapat tentang kewenangan KPK memeriksa Wakil Presiden yang notabene bukanlah ’’warga negara biasa’’. Kalau pendirian KPK itu dihadap-dihadapkan dengan prinsip kolektif kolegial dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan di BI, pemanggilan dan pemeriksaan mantan gubernur BI serta pejabat BI lain yang mengikuti RDG BI November 2008 memang menjadi langkah yang logis. 

Sebenarnya, sejak rapat paripurna DPR memutuskan opsi C dalam kasus Bank Century, DPR sudah bisa langsung mengajukan HMP.Namun, pilihan politik DPR memutuskan untuk menyerahkan penyelidikan skandal Bank Century ke institusi penegak hukum. KPK bertugas menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat negara, sementara tersangka lainnya ditangani kepolisian dan kejaksaan. 

Sambil menunggu ketetapan resmi KPK atas status gubernur BI kala itu, mulai dimunculkan wacana HMP DPR. Mayoritas fraksi di DPR tentu saja belum menyatakan sikap atas wacana HMP itu. Bahwa wacana itu menimbulkan prokontra, itu wajar. Bukan pemakzulan Wakil Presiden yang menjadi target utama dari agenda HMP DPR, melainkan semangat menyelesaikan persoalan. Pastinya, HMP akan digunakan sebagai senjata pamungkas jika mantan gubernur BI yang juga Wakil Presiden, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. 

Saya sendiri berpendapat jika KPK telah menyatakan mantan gubernur BI sebagai tersangka, maka hak penuntutan harus dikembalikan ke DPR. Tujuannya, agar kasus ini bisa diselesaikan melalui mekanisme ketatanegaraan karena terkait statusnya sebagai wakil presiden. Dan, jika Mahkamah Konstitusi menyetujui HMP yang dilakukan DPR, pemakzulan bisa dilakukan. 

Usai pemakzulan, proses pidana terhadap mantan gubernur BI ini tetap bisa dilanjutkan. Bagaimanapun, kasus Century harus dituntaskan agar pemerintah tidak terus-menerus tersandera. Tidak layak menyebut Indonesia negara hukum jika tidak ada keberanian politik dan keberanian hukum menyelesaikan proses hukum skandal Bank Century hingga tuntas. Timwas Century yang telah diperpanjang masa tugasnya hingga 2013 akan terus mengawal ketat kasus ini. Jangan takut untuk mengoreksi perilaku menyimpang para elite. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar