Kamis, 20 Desember 2012

Pidanakan AM Seberat-beratnya


Pidanakan AM Seberat-beratnya
Reza Indragiri Amriel ;  Dosen Psikologi Forensik; 
Pekerja Kemanusiaan pada LSM di Bidang Anak
SINDO, 20 Desember 2012



AM, bekas vokalis Kangen Band,dikabarkan melakukan– maaf– persertubuhan dengan seorang remaja berinisial CC. Menolak disebut sebagai pencabulan, AM berdalih bahwa kelakuan mereka dilatari oleh kehendak sukarela antara dia dan CC. 
Berdasarkan info media, CC dikabarkan berumur enam belas tahun. Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), CC dapat dikategorikan masih berusia anak-anak. Atas dasar itu, dapat dinyatakan bahwa AM pada dasarnya telah melakukan hubungan seksual dengan individu kanak-kanak. Saya tidak akan serta-merta menilai AM sebagai lelaki dengan kelainan seksual pedofilia. Namun, ditinjau dari perspektif apa pun,termasuk dari sudut hukum (UUPA), tidak ada pembenaran yang bisa diberikan kepada individu yang meniduri anak-anak. 

Karena itu, memang sudah sepantasnya AM diganjar hukuman setimpal. Klaim AM bahwa hubungan seksual dilandasi oleh suka sama suka (consensual sex), sangat sulit untuk diterima. Consensual sex merupakan alasan yang sering diberikan dalam kasus-kasus semacam perkosaan dan pelecehan seksual lain. Dengan mendalihkan hubungan badan sebagai consensual sex, AM ingin agar peristiwa jahanam tersebut tidak dibingkai sebagai tindak kejahatan (kriminalitas, pidana). 

Sebutan ”pelaku” dan ”korban” pun kehilangan relevansinya, karena kedua pihak diposisikan sejajar. Tetapi karena dalam kasus yang menimpa CC, AM adalah individu dewasa, sedangkan CC adalah anak-anak, seharusnya AM tahu bahwa hubungan seksual dengan anak-anak merupakan tindakan terlarang. Apalagi, keinginan untuk bersetubuh juga bukan merupakan sesuatu yang natural dalam kehidupan anak-anak. 

Dengan usianya yang masih enam belas tahun, CC belum memenuhi kriteria untuk memberikan persetujuan (age of consent), termasuk dalam relasi seksual. Jadi, walaupun CC setuju untuk berhubungan seksual dengan AM, persetujuannya itu gugur dengan sendirinya. CC bisa saja berkata ”ya”, tetapi hukum positif menganggapnya ”tidak” untuk melakukan kontak seksual. Motif tersebut harus dibuang dari perbendaharaan mental anak-anak, termasuk CC. 

Publik dan penegak hukum pun sudah sepatutnya menutup ruang bagi penerapan asumsi ”mau sama mau” saat membahas kejadian AM dan CC ini. Karena asumsi consensual sex tertolak, maka persetubuhan antara AM dan CC dipandang terjadi semata-mata sebagai manifestasi betapa AM telah secara sengaja dan terencana melalaikan kewajibannya selaku orang dewasa untuk tidak berhubungan seksual dengan anak-anak. 

Bahkan andaikan—sekali lagi,andaikan—CC pada dasarnya juga berkeinginan melakukan hubungan badan tersebut, dalam konteks perlindungan anak, saya memilih untuk curiga bahwa keinginan CC tersebut muncul sebagai akibat dari manipulasi psikologis yang AM lakukan. Grooming behavior semisal bujuk rayu, menjanjikan iming-iming, dan menjadikan pesona diri sebagai senjata untuk mengendalikan psikologi pihak lain, bisa saja terjadi sebelum CC dibawa AM ke penginapan.

Grooming behavior sesungguhnya merupakan kekerasan psikologis. Jadi, meskipun tidak meninggalkan luka fisik, namun si pelaku grooming sesungguhnya telah melakukan pencideraan terhadap psikologi korbannya. Apabila grooming behavior disetarakan dengan kekerasan, maka AM dapat dipidana penjara antara 3 hingga 15 tahun serta denda antara Rp60 juta-300 juta. 

Atau, jika grooming behavior dianggap sebagai tipu muslihat yang mendahului persetubuhannya dengan anak-anak (CC), AM tetap bisa dikenai sanksi yang sama pula berdasarkan Pasal 81 ayat 2 UUPA. Alih-alih membuka ruang bagi kemungkinan terjadinya consensual sex, saya ingin menunjukkan betapa kejinya individu yang telah menyetubuhi anak-anak.

Dia—individu dewasa tersebut—tidak hanya telah memangsa anak-anak secara seksual, tetapi juga berupaya mendistorsi persepsi korban, masyarakat, dan penegak hukum. Dari situ terlihat bahwa, kendati persidangan atas dirinya sendiri belum dimulai, namun kenyataannya— seperti diwartakan banyak media—AM telah melakukan pemutarbalikan fakta yang atas dasar itu dia pantas dijatuhi hukuman yang diperberat. 

AM Menikahi CC? 

Belakangan, tersiar kabar bahwa keluarga CC meminta AM agar menikahi anak yang telah dinodainya itu. Hemat saya, keluarga CC perlu menimbang ulang permintaan tersebut. Sekali lagi, sesuai argumentasi di atas, CC adalah korban dan AM adalah (tersangka) pelaku kejahatan seksual. Dengan pemahaman seperti itu, menjadikan pernikahan sebagai ”jalan tengah” antara korban kejahatan seksual dan pelaku kejahatan seksual merupakan bentuk reviktimisasi dahsyat atas diri CC. Pernikahan tersebut seolah menjadi bentuk solusi atau pemaafan terhadap aksi AM.

Dengan menikahi CC, AM seakan telah tuntas menunjukkan pertanggungjawabannya. Padahal, hemat saya, sanksi pidana semestinya menjadi satu-satunya bentuk penindakan terhadap segala bentuk kejahatan seksual, apalagi ketika korbannya adalah anak-anak. Alternative dispute resolution tidak pantas diberlakukan bagi kejahatan berat ini. 

Lebih mendasar lagi, kembali merujuk UUPA, pada Pasal 26 undang-undang tersebut tercantum bahwa keluarga dan orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Itu berarti, terlepas apa pun iktikad keluarga CC di balik rencana pernikahan tersebut, keinginan keluarga CC menikahkan anak mereka dengan AM nyata-nyata tidak selaras dengan kewajiban yang UUPA tetapkan. 

Berdasarkan UUPA pula, negara memiliki kewenangan mencegah terjadinya pernikahan antara AM dan CC. Otoritas terkait perlu mengedukasi CC dan keluarganya agar dapat mempunyai skema mental yang lebih jernih atas situasi yang mereka hadapi. Jika orang tua CC tetap bersikeras menikahkannya dengan AM, kuasa asuh mereka selaku orang tua dapat dicabut atau kepada mereka dikenakan pengawasan dengan alasan melanggar Pasal 26 UUPA. 

Seiring dengan langkah tersebut, karena apa yang CC alami merupakan bentuk serangan seksual bahkan perkosaan terhadap anak-anak, dan itu bukan delik aduan, maka solusi-solusi privat yang coba keluarga CC inisiatifkan pun tetap tidak dapat menghalangi otoritas hukum untuk memidana AM. Allahu a’lam. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar