Selasa, 11 Desember 2012

Pentingnya Membui sang Jenderal


Pentingnya Membui sang Jenderal
Prija Djatmika ;  Ketua Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
FH Universitas Brawijaya 
JAWA POS, 10 Desember 2012


JENDERAL yang korupsi dan masuk bui, tentu bagus untuk upaya pemberantasan korupsi. Sejarah sudah membuktikan hal itu. Keberhasilan Independent Comission Against Corruption (ICAC) yang didirikan pemerintah Hongkong pada 1974, bermula dari keberhasilannya memenjarakan Peter Fitzroy Gobdber, perwira tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari mana uang USD 600 ribu di rekening banknya.

Seperti yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita, tentu saja tindakan ICAC itu bukan tanpa perlawanan dari institusi kepolisian Hongkong (HKPF). Bukan saja Godber dibantu rekan-rekannya melarikan diri ke Inggris. Bahkan, karena merasa terancam atas tindakan ICAC, pada 28 Oktober 1977 beberapa puluh anggota polisi menyerbu kantor ICAC. Ketegangan terjadi. Repotnya, pemerintah Hongkong yang waktu itu disebut "Governor" (sebelum kembali ke pemerintahan Tiongkok), memutuskan untuk memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup, yang kejahatannya dilakukan sebelum 1977.

Tindakan ini menyebabkan wibawa ICAC terguncang. Namun, ICAC tetap gigih. Dengan berbagai upaya ICAC berhasil mengekstradisi Godber, sang perwira tinggi polisi yang korup itu, ke dalam penjara di Hongkong. Hikmahnya ternyata banyak. HKPF, angkatan kepolisian Hongkong, juga berbenah setelah mendapatkan amnesti dari pemerintah. 

Bahkan, HKPF merelakan di institusinya dilakukan pembersihan besar-besaran oleh ICAC pada 2008. ICAC alhasil menjadi contoh dunia sebagai lembaga antirasuah (korupsi) yang berhasil, dan KPK kita adalah produk yang mencontoh ICAC itu. Sejarah awalnya hampir sama. Bedanya, presiden kita membela KPK.

Oleh sebab itu, penahanan Irjen Pol Djoko Susilo adalah bagus untuk pemberantasan korupsi di negeri ini. Juga bagi tubuh kepolisian kita sendiri. Menyusul kemudian mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji juga akan masuk bui 3,5 tahun. Kasasinya dalam kasus korupsi ditolak MA. Yang mengusut Susno adalah Polri sendiri, bukan KPK. 

Kasus Susno mengulangi nasib Kabareskrim Komjen Suyitno Landung dan anak buahnya, Brigjen Samuel Ismoko, yang dipenjarakan 1,5 tahun dan 20 bulan di zaman Kapolri Sutanto.

Berbenahlah, Please! 

Semoga, seperti HKPF, setelah jenderalnya masuk bui, institusi kepolisian (Polri) kian gencar membersihkan sendiri oknum-oknum anggotanya yang korup. Memang, tidak semua dugaan korupsi itu ditindaklanjuti dengan proses hukum yang transparan. Isu santer tentang "rekening gendut para jenderal", sampai sekarang tidak ada ketuntasan penyelesaiannya, secara hukum. Sebelumnya, juga beredar isu daftar kekayaan para petinggi kejaksaan yang jumlahnya miliaran rupiah. Ketidakseriusan di kepolisian dan kejaksaan seperti inilah yang menyebabkan KPK makin dibutuhkan.

Kiprah KPK itu diharapkan membawa efek penjeraan (deterent) bagi kita semua, untuk tidak melakukan korupsi atau berusaha menyuap para pejabat. Karena itu, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999 yang diperbarui dengan UU No 20/2001), tidak hanya menghukum pejabat yang menerima gratifikasi atau suap, tetapi juga menghukum rakyat yang menyuap.

Kelak, setelah lembaga-lembaga penegak hukum, lembaga pemerintahan, para politisi, dan rakyat sadar untuk tidak melakukan praktik-praktik korupsi, lembaga super-body seperti KPK tidak diperlukan kembali. Sistem peradilan pidana akan berjalan seperti lazimnya. Karena korupsi saat ini tak hanya melanda institusi kejaksaan dan kepolisian, tapi juga kehakiman, kita bangun pula hakim tindak pidana korupsi, yang sifatnya ad-hoc. KPK pun ikut membersihkan hakim-hakim yang korup.

Oleh sebab itu, kiprah KPK yang menangkapi dan menahan para aparat hukum, petinggi pemerintahan (termasuk Menteri Andi Mallarangeng), politisi yang korup dan rakyat yang menyuap, secara simultan harus dibarengi dengan kemauan institusi-institusi penegak hukum dan pemerintahan untuk bersih-bersih lembaganya sendiri, serta pembangunan kesadaran rakyat untuk tak menyuap pejabat. 

Apabila hal ini tidak dilakukan, kita akan terus berharap kepada KPK. Keberadaan KPK, alhasil, tak cukup hanya ad-hoc, mungkin harus permanen seperti lembaga antirasuah di Malaysia. Dan, hal itu tidak sehat untuk sistem peradilan pidana, karena kita tidak percaya pada sub-subsistem di dalamnya, yakni kepolisian dan kejaksaan. Maka, memasukkan para jenderal yang korup ke bui itu penting dan perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar