Selasa, 11 Desember 2012

Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember dan Terobosan Berantas Korupsi


Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember
dan Terobosan Berantas Korupsi
Todung Mulya Lubis ;  Aktivis antikorupsi; Tulisan disampaikan dalam seminar pembatasan transaksi tunai untuk memberantas korupsi, kerja sama Indonesia Legal Roundtable dan FH Unair, 3 Desember 2012
JAWA POS, 10 Desember 2012


TRANSAKSI tunai adalah biang dari segala persoalan korupsi yang masih sangat sistemik dan merajalela. Adalah tidak aneh orang membawa uang tunai sekopor dan menempatkannya di bagasi kendaraan, lalu memindahkannya ke bagasi kendaraan lain. Atau uang tunai yang sekopor itu dibawa ke showroom untuk membayar harga kendaraan mewah. Apa pun bisa dilakukan dengan tunai. 

Tidak semua transaksi tunai itu pertanda korupsi. Petani-petani cengkih atau kopi yang baru panen atau petani yang baru menjual sawah sering punya uang tunai dalam jumlah miliaran rupiah. Karena mereka tak memiliki rekening di bank, semua transaksi dilakukan dengan tunai. 

Yang menjadi persoalan kita sekarang adalah terjadinya transaksi tunai, terutama di kota-kota, yang dilakukan dengan sengaja karena tak mau terdeteksi, tak mau ada akuntabilitas, tak mau ada bukti. Inilah transaksi koruptif, bisa berupa suap, gratifikasi, atau pencucian uang. 

Kita tidak bicara tentang transaksi kecil seperti makan minum di restoran, naik taksi. Tetapi, yang disorot di sini adalah transaksi besar, miliaran atau puluhan miliar rupiah, untuk mendapat suatu "izin usaha pertambangan", memenangkan tender pembangunan jalan tol, membangun pelabuhan atau gedung perkantoran, dan sebagainya. Di sini ada suap (bribery), kickback, gratifikasi, dan berbagai bentuk "ucapan terima kasih". Dalam dunia hukum transaksi tunai juga terjadi untuk membeli putusan pengadilan, dakwaan jaksa, atau "surat perintah penghentian penyidikan (SP3)". 

Korupsi via transfer kian jarang dilakukan. Mata-mata KPK, PPATK, kepolisian, dan kejaksaan sudah sangat banyak memantau transaksi mencurigakan (suspicious transactions). Karena itu, peredaran uang tunai pasti sangat banyak dan dicurigai diboncengi peredaran uang palsu.

Belum pernah dalam sejarah republik sejak kita merdeka pada 1945 ada pemberantasan korupsi yang sangat serius seperti sekarang dengan adanya KPK. Tetapi, korupsi masih "systematic, endemic, and widespread", dan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia masih pada kisaran 3,0 dari nilai tertinggi 10.

Jawabnya sebetulnya sederhana. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika peluang korupsi itu dihilangkan atau disempitkan. Percayalah bahwa koruptor tak pernah takut dengan penjara kalau dia bisa juga mengorupsi penjara. 

Untuk memperkuat pelaksanaan good governance dan good corporate governance tersebut pemerintah mesti membuat kebijakan yang membatasi transaksi tunai (cash transaction). Di negara-negara maju masyarakat tak lagi melakukan transaksi tunai, kecuali yang kecil-kecil. 

Transaksi nontunai itu dilakukan melalui pembayaran berbasis warkat/kertas seperti cek, giro, nota debit, dan sebagainya dan pembayaran berbasis kartu (card based instruments) serta elektronik (electronic based instruments), seperti kartu kredit, kartu ATM, kartu debit, dan sebagainya. Kalau ini terjadi, semua transaksi bisa dilacak, dan koruptor tentu sangat sulit bertransaksi. Indonesia akan menjadi tempat yang nyaman buat politik dan bisnis.

Perlu juga dicatat bahwa peningkatan penerimaan pajak juga bisa dilakukan karena transaksi yang berbasis nontunai ini akan lebih mudah diakses oleh kantor pajak sehingga patgulipat juga akan semakin sukar. Pengisian SPT yang berbasis self-assesment mau tak mau harus dilakukan dengan lebih akurat karena mudah dilacak.

Sebetulnya, kita telah memiliki UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Uang yang telah memberikan kewajiban pelaporan transaksi tunai tidak hanya kepada penyedia jasa keuangan (PJK), seperti institusi perbankan, tetapi juga kepada penyedia barang dan jasa (PBJ) seperti perusahaan/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan antik, serta balai lelang. 

Dengan adanya kewajiban tersebut, PJK dan PBJ diwajibkan melaporkan transaksi tunai yang bernilai minimal Rp 500 juta atau dalam mata uang yang nilainya setara kepada PPATK untuk mencegah pencucian uang. Permasalahannya, UU itu sendiri belum cukup untuk dapat membatasi adanya penggunaan transaksi tunai. 

Tentu pemberlakuan pembatasan transaksi tunai tak bisa secara drastis. Harus bertahap. Tahun pertama transaksi tunai sampai Rp 50 juta masih boleh. Tahun kedua transaksi tunai maksimal Rp 25 juta. Tahun ketiga maksimal Rp 10 juta. Tahun ke empat dan seterusnya hanya Rp 5 juta. 

Semua ini akan membuat jumlah uang beredar semakin sedikit, dan semua transaksi nontunai akan lebih mudah dilacak. Di sini pemerintahan, bank, dan rakyat akan mendapat keuntungan, pajak akan naik, korupsi akan turun, dan seyogianya kesejahteraan sosial akan bisa ditingkatkan.

Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk membatasi transaksi tunai. Pertama, mengeluarkan produk jasa keuangan yang sejalan dengan pembatasan transaksi tunai. Misalnya, perbankan tidak perlu lagi menyediakan traveler cheque (TC) dengan nominal sampai dengan Rp 25 juta per lembar yang kadang digunakan transaksi koruptif. Kedua, BI dapat membuat peraturan mengenai pembatasan transaksi tunai. Hal ini tidak membatasi hak seseorang untuk bertransaksi, tapi hanya membatasi jumlah transaksi tunai.

Sistem harus dibarengi sistem identitas tunggal alias e-KTP. Dengan begitu, seorang koruptor tak bisa menyembunyikan hartanya dengan identitas palsu atau menitipkannya kepada anak, istri, atau orang tua. Identitas tunggal akan mempersempit gerak koruptor. 

Selain itu, pengadaan barang dan jasa dengan sistem elektronik (e-procurement) juga harus digalakkan untuk mencegah terjadinya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Akan lebih afdol jika kebijakan itu dituangkan dalam bentuk UU. Tetapi, mengegolkan UU di DPR bukanlah pekerjaan yang sederhana. Perlu dijelaskan bagaimana pembatasan transaksi nontunai ini tak dianggap menyisihkan rakyat yang tak terbiasa dengan bank.

Proyek ini proyek politik. Dibutuhkan keberanian politik pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia. Tentu akan banyak perlawanan dari para mafia yang akan semakin sulit beroperasi. Tetapi, apa pun ongkosnya, inilah pilihan kebijakan yang niscaya untuk memberantas korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar