Bertumpu pada
Nasib Baik
A Prasetyantoko ; Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat
(LPPM),
Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
10 Desember 2012
Setelah rilis McKinsey Global Institute mengenai
proyeksi Indonesia pada 2030 sebagai kekuatan terbesar ketujuh dunia, kini
pertanyaannya: bagaimana cara mencapainya? Posisi itu jelas tidak bisa
terjadi begitu saja, tetapi harus dengan usaha sistematis, termasuk
mengantisipasi beberapa kerawanan ekonomi.
Salah satu sinyal
kerawanan muncul dari neraca perdagangan. Sementara lalu lintas barang dalam
neraca transaksi berjalan (current
account) terus tergerus, lalu lintas modal (financial account) terus meningkat. Artinya, kemampuan kita memproduksi
barang terus menurun, di sisi lain kita makin bergantung pada likuiditas
global.
Neraca perdagangan Oktober
2012 mencatat defisit terbesar dalam sejarah senilai 1,55 miliar dollar AS.
Kedatangan empat pesawat pesanan maskapai penerbangan Lion Air disebut-sebut
sebagai pendorong defisit. Perlu diketahui, maskapai penerbangan ini memesan
230 pesawat yang akan datang bertahap pada 2017-2025. Maskapai penerbangan
lain juga memiliki kontrak pembelian dalam jumlah signifikan.
Dengan demikian, tekanan
pada impor dipastikan terus terjadi atau bersifat struktural, sementara
ekspor berisiko terus menurun karena alasan struktural juga. Dibandingkan
dengan tahun lalu, ekspor Oktober turun 7,6 persen, sementara impor melonjak
11 persen. Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, ekspor turun 1,5
persen, sedangkan impor naik 12 persen.
Situasi ini menimbulkan
satu pertanyaan penting: benarkah Indonesia akan menjadi bangsa besar?
Negara-negara maju, sebelum krisis, menikmati masa kejayaan cukup lama atau
disebut the great moderation. Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Ben
Bernanke menyebutkan tiga hal pokok pendorong kejayaan ekonomi, yaitu
keberhasilan melakukan perubahan struktural, kebijakan ekonomi yang matang,
dan adanya faktor keberuntungan (good
luck).
Perubahan struktural
ditandai dengan peningkatan produktivitas dan daya saing di berbagai bidang,
termasuk perbaikan kualitas institusi, inovasi, dan sumber daya manusia.
Kebijakan ekonomi makro, terutama moneter, memungkinkan terjadinya
pembangunan dengan dukungan pendanaan yang memadai. Salah satunya ditandai
dengan pendalaman sektor finansial (financial deepening). Sementara faktor
keberuntungan adalah prakondisi yang terjadi tanpa upaya berarti.
Bagaimana dengan
Indonesia? Benarkah kesuksesan yang tengah dinikmati disebabkan oleh
perubahan struktural dan kebijakan ekonomi yang solid? Atau sebenarnya hanya
soal nasib baik saja?
Becermin dari indeks daya
saing global sebagaimana dilaporkan dalam survei tahunan World Competitiveness Report, faktor-faktor terkait dengan
institusi dan birokrasi, kualitas tenaga kerja, kesehatan masyarakat, tingkat
pendidikan, serta infrastruktur masih menjadi persoalan besar. Sementara
kebijakan ekonomi juga masih membentur beberapa persoalan pokok, seperti
dilema kenaikan upah minimum provinsi dan besarnya subsidi bahan bakar minyak
(BBM) pada fiskal kita.
Secara umum, perekonomian
Indonesia minim dalam hal perubahan struktural. Oleh karena itu, meski
stabilitas makro dan prospek ekonomi tetap bagus, pekerjaan rumah kita masih begitu
banyak. Sinyal dari neraca perdagangan perlu mendapat perhatian khusus. Dua
komponen yang membebani neraca perdagangan kita adalah tingginya impor bahan
baku dan BBM.
Tingginya impor bahan baku
terkait dengan peningkatan industri guna melayani tingginya konsumsi
domestik. Produksi mobil yang diproyeksikan mencapai 1 juta unit dan sepeda
motor 8 juta unit pada 2012 tentu menyedot bahan baku impor. Selain itu, hal
tersebut juga akan meningkatkan konsumsi BBM.
Sektor pengangkutan dan
telekomunikasi selama lima tahun terakhir menjadi sektor paling tinggi
pertumbuhannya, dengan rata-rata sekitar 14 persen. Bahkan, pertumbuhannya
sempat mencapai 16,6 persen pada 2008. Banyaknya pesanan pesawat terbang juga
terkait dengan tingginya prospek bisnis penerbangan.
Bank Indonesia berupaya
menekan impor dengan cara membiarkan nilai tukar rupiah cenderung melemah
terhadap dollar AS sehingga barang impor lebih mahal. Selain itu, Bank
Indonesia juga menaikkan uang muka kredit kendaraan bermotor sebesar 30
persen atau dikenal dengan kebijakanloan to value untuk perbankan umum dan fair
to value untuk perbankan syariah. Tujuannya, mengendalikan pertumbuhan
sektor tersebut.
Semestinya, kerangka
kebijakan makroprudensial ini dilanjutkan dengan kebijakan fiskal dan di
sektor riil. Misalnya, menaikkan harga BBM serta mengalihkan anggaran subsidi
untuk pembangunan infrastruktur guna meningkatkan produktivitas dan daya
saing produksi domestik. Selain itu, ada pula kebijakan industri yang
berorientasi mengembangkan basis produksi domestik.
Khusus soal impor pesawat,
kita harus belajar dari China. Guna memenuhi kebutuhan pesawat di pasar
domestik, China melobi Airbus membangun pabrik perakitan di Provinsi Tianjin
melalui skema usaha patungan (joint
venture). Selain meningkatkan arus investasi asing langsung (foreign direct investment/
FDI) ke China, kebijakan
tersebut juga mendorong penyerapan tenaga kerja dan mengurangi beban impor.
Bagi negara-negara maju,
situasi terakhir ini memaksa mereka menempatkan perdagangan sebagai bagian dari
diplomasi tingkat tinggi. Negara berkembang yang tidak memiliki platform
kebijakan perdagangan luar negeri akan terdesak oleh produk negara maju.
Dalam hal ini, China memberi pelajaran bagaimana negara berkembang juga bisa
memanfaatkan posisi tawar dengan besarnya pasar domestik. China tidak
membiarkan negaranya menjadi target pasar semata, tetapi juga sebagai basis
produksi.
Kita tidak boleh tinggal
diam dan hanya bersandar pada nasib baik belaka. Ada dua pilar kebijakan
utama yang harus dibangun. Pertama, pada sisi eksternal, perdagangan dan
investasi harus menjadi bagian dari kebijakan politik tingkat tinggi. Kedua,
di sisi domestik, perubahan struktural harus terus dijalankan untuk mendorong
produktivitas dan daya saing yang mengandalkan efisiensi dan inovasi.
Intinya, untuk menjadi
bangsa yang besar, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan faktor good
luck saja, tetapi juga harus melakukan transformasi struktural dengan
kebijakan ekonomi yang solid. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar