Selasa, 11 Desember 2012

Bertumpu pada Nasib Baik


Bertumpu pada Nasib Baik
A Prasetyantoko ;  Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM), Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 10 Desember 2012


Setelah rilis McKinsey Global Institute mengenai proyeksi Indonesia pada 2030 sebagai kekuatan terbesar ketujuh dunia, kini pertanyaannya: bagaimana cara mencapainya? Posisi itu jelas tidak bisa terjadi begitu saja, tetapi harus dengan usaha sistematis, termasuk mengantisipasi beberapa kerawanan ekonomi.
Salah satu sinyal kerawanan muncul dari neraca perdagangan. Sementara lalu lintas barang dalam neraca transaksi berjalan (current account) terus tergerus, lalu lintas modal (financial account) terus meningkat. Artinya, kemampuan kita memproduksi barang terus menurun, di sisi lain kita makin bergantung pada likuiditas global.
Neraca perdagangan Oktober 2012 mencatat defisit terbesar dalam sejarah senilai 1,55 miliar dollar AS. Kedatangan empat pesawat pesanan maskapai penerbangan Lion Air disebut-sebut sebagai pendorong defisit. Perlu diketahui, maskapai penerbangan ini memesan 230 pesawat yang akan datang bertahap pada 2017-2025. Maskapai penerbangan lain juga memiliki kontrak pembelian dalam jumlah signifikan.
Dengan demikian, tekanan pada impor dipastikan terus terjadi atau bersifat struktural, sementara ekspor berisiko terus menurun karena alasan struktural juga. Dibandingkan dengan tahun lalu, ekspor Oktober turun 7,6 persen, sementara impor melonjak 11 persen. Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, ekspor turun 1,5 persen, sedangkan impor naik 12 persen.
Situasi ini menimbulkan satu pertanyaan penting: benarkah Indonesia akan menjadi bangsa besar? Negara-negara maju, sebelum krisis, menikmati masa kejayaan cukup lama atau disebut the great moderation. Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke menyebutkan tiga hal pokok pendorong kejayaan ekonomi, yaitu keberhasilan melakukan perubahan struktural, kebijakan ekonomi yang matang, dan adanya faktor keberuntungan (good luck).
Perubahan struktural ditandai dengan peningkatan produktivitas dan daya saing di berbagai bidang, termasuk perbaikan kualitas institusi, inovasi, dan sumber daya manusia. Kebijakan ekonomi makro, terutama moneter, memungkinkan terjadinya pembangunan dengan dukungan pendanaan yang memadai. Salah satunya ditandai dengan pendalaman sektor finansial (financial deepening). Sementara faktor keberuntungan adalah prakondisi yang terjadi tanpa upaya berarti.
Bagaimana dengan Indonesia? Benarkah kesuksesan yang tengah dinikmati disebabkan oleh perubahan struktural dan kebijakan ekonomi yang solid? Atau sebenarnya hanya soal nasib baik saja?
Becermin dari indeks daya saing global sebagaimana dilaporkan dalam survei tahunan World Competitiveness Report, faktor-faktor terkait dengan institusi dan birokrasi, kualitas tenaga kerja, kesehatan masyarakat, tingkat pendidikan, serta infrastruktur masih menjadi persoalan besar. Sementara kebijakan ekonomi juga masih membentur beberapa persoalan pokok, seperti dilema kenaikan upah minimum provinsi dan besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada fiskal kita.
Secara umum, perekonomian Indonesia minim dalam hal perubahan struktural. Oleh karena itu, meski stabilitas makro dan prospek ekonomi tetap bagus, pekerjaan rumah kita masih begitu banyak. Sinyal dari neraca perdagangan perlu mendapat perhatian khusus. Dua komponen yang membebani neraca perdagangan kita adalah tingginya impor bahan baku dan BBM.
Tingginya impor bahan baku terkait dengan peningkatan industri guna melayani tingginya konsumsi domestik. Produksi mobil yang diproyeksikan mencapai 1 juta unit dan sepeda motor 8 juta unit pada 2012 tentu menyedot bahan baku impor. Selain itu, hal tersebut juga akan meningkatkan konsumsi BBM.
Sektor pengangkutan dan telekomunikasi selama lima tahun terakhir menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya, dengan rata-rata sekitar 14 persen. Bahkan, pertumbuhannya sempat mencapai 16,6 persen pada 2008. Banyaknya pesanan pesawat terbang juga terkait dengan tingginya prospek bisnis penerbangan.
Bank Indonesia berupaya menekan impor dengan cara membiarkan nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dollar AS sehingga barang impor lebih mahal. Selain itu, Bank Indonesia juga menaikkan uang muka kredit kendaraan bermotor sebesar 30 persen atau dikenal dengan kebijakanloan to value untuk perbankan umum dan fair to value untuk perbankan syariah. Tujuannya, mengendalikan pertumbuhan sektor tersebut.
Semestinya, kerangka kebijakan makroprudensial ini dilanjutkan dengan kebijakan fiskal dan di sektor riil. Misalnya, menaikkan harga BBM serta mengalihkan anggaran subsidi untuk pembangunan infrastruktur guna meningkatkan produktivitas dan daya saing produksi domestik. Selain itu, ada pula kebijakan industri yang berorientasi mengembangkan basis produksi domestik.
Khusus soal impor pesawat, kita harus belajar dari China. Guna memenuhi kebutuhan pesawat di pasar domestik, China melobi Airbus membangun pabrik perakitan di Provinsi Tianjin melalui skema usaha patungan (joint venture). Selain meningkatkan arus investasi asing langsung (foreign direct investment/
FDI) ke China, kebijakan tersebut juga mendorong penyerapan tenaga kerja dan mengurangi beban impor.
Bagi negara-negara maju, situasi terakhir ini memaksa mereka menempatkan perdagangan sebagai bagian dari diplomasi tingkat tinggi. Negara berkembang yang tidak memiliki platform kebijakan perdagangan luar negeri akan terdesak oleh produk negara maju. Dalam hal ini, China memberi pelajaran bagaimana negara berkembang juga bisa memanfaatkan posisi tawar dengan besarnya pasar domestik. China tidak membiarkan negaranya menjadi target pasar semata, tetapi juga sebagai basis produksi.
Kita tidak boleh tinggal diam dan hanya bersandar pada nasib baik belaka. Ada dua pilar kebijakan utama yang harus dibangun. Pertama, pada sisi eksternal, perdagangan dan investasi harus menjadi bagian dari kebijakan politik tingkat tinggi. Kedua, di sisi domestik, perubahan struktural harus terus dijalankan untuk mendorong produktivitas dan daya saing yang mengandalkan efisiensi dan inovasi.
Intinya, untuk menjadi bangsa yang besar, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan faktor good luck saja, tetapi juga harus melakukan transformasi struktural dengan kebijakan ekonomi yang solid. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar